Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PHENDARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 12

11 Juni 2025   15:43 Diperbarui: 20 Juni 2025   09:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 12: Pengakuan Api

Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, dan Bab 11.

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Hutan lebat di lereng Gunung Halimun menjadi saksi bisu pelarian keempat Pendharaka. Mereka telah meninggalkan Gua Langit beberapa hari yang lalu, namun bayangan pengkhianatan Pangeran Wirasakti dan pengorbanan heroik Nyai Ratna masih membekas begitu pekat. Angin, atau Gayatri, tenggelam dalam duka yang tak terperi. Ia lebih banyak diam, air matanya seolah tak pernah kering, kalung melati kuncup peninggalan ibunya dan Nyai Ratna digenggamnya erat seolah mencari kekuatan. Tirta, dengan caranya yang pendiam, selalu berada tak jauh darinya, memberikan dukungan tanpa kata yang mungkin justru lebih Angin butuhkan saat itu. Tanah, dengan sifatnya yang penyabar, mengambil alih tugas mencari makanan dan memastikan keamanan persembunyian sementara mereka -- sebuah ceruk batu yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan dan ditutupi oleh sulur-sulur liar.

Api, di sisi lain, tampak paling gelisah. Kehilangan Nyai Ratna juga merupakan pukulan baginya; wanita itu, meski kadang berselisih paham dengannya, adalah salah satu dari sedikit figur dewasa yang ia hormati. Pengkhianatan Wirasakti membangkitkan kembali semua amarah dan ketidakpercayaannya pada para bangsawan dan pemegang kuasa. Namun, di balik sikapnya yang meledak-ledak dan sarkasmenya yang tajam, ada kerapuhan yang jarang ia perlihatkan.

Suatu sore, ketika hujan gerimis mulai turun membasahi dedaunan, menciptakan melodi alam yang sendu, Api tak tahan lagi dengan kebisuan dan kesesakan di dalam ceruk batu. Ia berjalan keluar, tak peduli pada tetesan air hujan yang mulai membasahi rambut dan pakaiannya. Ia butuh ruang, butuh meluapkan sesuatu yang mengganjal di dadanya. Langkahnya membawanya menyusuri setapak kecil menuju suara gemericik air yang semakin jelas -- sebuah air terjun kecil yang tersembunyi, airnya jatuh dari tebing batu ke sebuah kolam jernih di bawahnya.

Tanah, yang sedang mengumpulkan kayu bakar tak jauh dari sana, melihat Api berjalan sendirian menuju air terjun. Ada sesuatu dalam gerak-gerik gadis itu yang membuatnya khawatir. Dengan diam-diam, ia mengikuti dari kejauhan.

Api berdiri di tepi kolam, membiarkan air hujan bercampur dengan sesuatu yang mungkin adalah air mata di pipinya. Ia menatap air terjun itu dengan pandangan kosong. Tanah mendekat perlahan, tak ingin mengejutkannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Tanah pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara deru air terjun.

Api tersentak, sedikit kaget. Ia menoleh, melihat Tanah berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Untuk sesaat, Api ingin menghardiknya, menyuruhnya pergi. Tapi ia terlalu lelah untuk berpura-pura kuat.

"Menurutmu?" jawabnya ketus, namun ada getar dalam suaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun