Bab 9: Duka di Pelabuhan Ratu
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, dan Bab 8.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Kegagalan misi di Benteng Cimahi meninggalkan luka yang dalam, bukan hanya fisik berupa goresan dan memar akibat usaha melarikan diri yang kacau balau, tetapi juga luka psikologis akibat pengkhianatan yang nyata. Tanah dan Api berhasil lolos dari kepungan gudang mesiu berkat campur tangan Angin yang nekat menciptakan badai debu dan angin kencang di halaman benteng, serta Tirta yang dari bawah tanah berhasil meruntuhkan sebagian kecil dinding saluran air, menyebabkan banjir lokal yang mengalihkan perhatian serdadu VOC. Namun, mereka kembali ke Gua Langit dengan tangan hampa, semangat yang compang-camping, dan bayangan pengkhianat yang terus menghantui setiap sudut persembunyian mereka.
Pangeran Wirasakti berusaha tegar, namun kekecewaan dan kemarahan atas adanya mata-mata di lingkarannya sendiri jelas terlihat. Kepercayaan menjadi barang langka. Diskusi-diskusi strategi kini dilakukan dengan lebih hati-hati, penuh bisik-bisik dan tatapan curiga.
Di tengah suasana muram itu, Tirta merasa semakin terasing. Kegagalan misi dan aroma pengkhianatan membuatnya teringat akan pengucilan yang pernah ia alami. Sebuah firasat buruk mulai merayapi hatinya, firasat yang terhubung dengan Pelabuhan Ratu, desa kelahirannya, dan ibunya. Meski telah diusir, ikatan batinnya dengan sang ibu dan laut tempatnya dibesarkan tak pernah benar-benar putus. Laut seolah memanggilnya pulang, dengan bisikan ombak yang membawa kabar duka.
Tanpa banyak bicara, suatu malam, Tirta meninggalkan Gua Langit. Ia tak meminta izin, hanya secarik pesan singkat untuk Wirasakti bahwa ia harus memastikan sesuatu. Perjalanannya kembali ke Pelabuhan Ratu ditemani oleh kesunyian malam dan gemuruh ombak di kejauhan yang semakin lama semakin jelas terdengar. Ia bergerak menyusuri pantai, kakinya yang telanjang merasakan dinginnya pasir malam, hatinya berdebar tak menentu.
Fajar baru saja menyingsing ketika ia tiba di bibir bukit yang menghadap ke teluk Pelabuhan Ratu. Namun, pemandangan yang menyambutnya bukanlah desa nelayan yang damai dengan perahu-perahu bersandar dan asap dapur mengepul. Yang ia lihat adalah kehancuran. Asap hitam masih membubung dari beberapa puing bangunan yang hangus. Sebagian besar rumah panggung kayu telah rata dengan tanah, hanya menyisakan tiang-tiang hangus yang mencuat ke langit seperti jari-jari kerangka. Bau sangit kayu terbakar dan kematian menusuk hidungnya. VOC telah datang.
Jantung Tirta serasa diremas. Ia berlari menuruni bukit, tak lagi peduli pada keselamatannya sendiri. Desa itu sunyi senyap, tak ada lagi suara tawa anak-anak, tak ada lagi teriakan para penjual ikan. Hanya angin laut yang menghembuskan debu dan abu. Ia melewati rumah-rumah yang dikenalnya, kini hanya tinggal kenangan pahit.
"Ibu!" teriaknya panik, suaranya serak. "Ibu, di mana kau?!"
Ia mencari ke reruntuhan gubuk kecil mereka di tepi pantai. Kosong. Hanya sisa-sisa perabotan sederhana yang ikut hangus. Kepanikan mulai mencekiknya. Ia berlari ke sana kemari, memanggil-manggil nama ibunya di antara puing-puing, namun hanya gema suaranya sendiri yang menjawab.