Beberapa hari kemudian, dengan susah payah, Tirta kembali ke Gua Langit. Penampilannya mengerikan: pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus, matanya cekung namun menyiratkan kekerasan baru. Ia membawa kabar tentang kehancuran Pelabuhan Ratu dan kematian ibunya.
Namun, reaksi yang ia terima dari Pangeran Wirasakti bukanlah simpati yang ia harapkan. Sang Pangeran, setelah mendengar bagaimana Tirta menenggelamkan tiga kapal VOC sendirian, justru murka. "Apa yang telah kau lakukan, Tirta?!" bentak Wirasakti, suaranya menggema di seluruh gua. "Tindakanmu itu gegabah dan membahayakan kita semua! Kau pikir Kompeni akan diam saja setelah kehilangan tiga kapalnya begitu saja? Mereka akan meningkatkan patroli, mereka akan menyisir setiap jengkal wilayah ini! Kau telah membahayakan persembunyian kita!"
"Mereka membakar desaku! Mereka membunuh ibuku!" balas Tirta, suaranya serak namun tak kalah keras. "Apakah aku harus diam saja, Pangeran? Apakah tugas suci itu hanya berarti bersembunyi dan merencanakan tanpa pernah benar-benar membalas?"
Perdebatan sengit pun tak terhindarkan, memecah belah tim yang baru saja terbentuk itu. "Aku setuju dengan Tirta!" seru Api, matanya berkilat. "Mata ganti mata, darah ganti darah! Itu satu-satunya bahasa yang dimengerti Kompeni!" "Tapi kita tidak boleh bertindak membabi buta, Api!" sanggah Tanah, mencoba menengahi. "Jika kita hanya dikuasai amarah, apa bedanya kita dengan mereka? Kita bisa membahayakan lebih banyak orang yang tidak bersalah." Angin, yang kini mengerti beban seorang pemimpin dari ayahnya, tampak bingung. "Aku mengerti kemarahan Tirta, sungguh. Tapi... Ayah benar, kita harus berhati-hati. Ada pengkhianat di antara kita. Tindakan gegabah bisa menjadi bumerang."
Tirta menatap mereka semua dengan pandangan terluka dan marah. "Kalian tidak mengerti," desisnya. "Kalian tidak merasakan apa yang aku rasakan." Ia berbalik, menjauh dari mereka, menuju sudut gua yang gelap. Duka di Pelabuhan Ratu telah mengubahnya. Laut yang murka telah bangkit dalam dirinya, dan kini, sang penjaga keseimbangan itu sendiri terancam hilang dalam pusaran dendamnya. Benih perpecahan telah ditabur, dan jalan di depan terasa semakin suram.
-- BERSAMBUNG ke Bab 10 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori
https://www.wattpad.com/user/labhistori
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI