Kemudian, matanya tertuju pada sebuah tempat di ujung pantai, di dekat batu karang besar tempat para nelayan biasa memberikan sesaji untuk Dewi Laut. Di sana, di antara serpihan perahu yang hancur dan jala yang robek, ia melihat sesuatu. Sebuah sosok.
Dengan langkah gontai, ia mendekat. Dan dunianya pun runtuh.
Ibunya tergeletak tak bernyawa di atas pasir, tubuhnya kaku dan dingin. Wajahnya pucat, namun ada seulas senyum tipis yang damai terukir di bibirnya. Kedua tangannya mendekap erat sebuah patung kecil Dewi Laut yang terbuat dari kayu, patung yang selalu disimpannya di altar sederhana di rumah mereka. Seolah dalam pelukan terakhirnya, ia mencari perlindungan pada sang penguasa samudra. Beberapa luka bakar terlihat di lengan dan kakinya.
Tirta berlutut, tubuhnya gemetar hebat. Ia tak bisa menangis, rasa sakitnya terlalu dalam untuk diungkapkan dengan air mata. Ia hanya bisa menatap jasad ibunya, wanita yang telah membesarkannya seorang diri, wanita yang selalu percaya padanya meski seluruh desa menuduhnya pembawa sial. Dan kini, wanita itu telah pergi, menjadi korban kekejaman VOC yang sama yang telah merenggut ketenangan hidupnya.
Kemarahan. Kemarahan yang begitu pekat, begitu murni, begitu dahsyat, mulai membara dari relung jiwanya yang paling dalam. Laut di hadapannya seolah merasakan gejolak itu. Air yang tadinya tenang mulai bergolak, ombak-ombak kecil mulai terbentuk dengan ritme yang tak biasa.
Tirta mengangkat kepalanya. Matanya, yang biasanya memancarkan ketenangan seorang filsuf, kini menyala merah oleh amarah dan duka. Di kejauhan, ia melihat tiga kapal patroli VOC sedang berlayar dengan angkuh, mungkin baru saja kembali setelah melakukan "pembersihan" di desanya. Merekalah penyebab semua ini.
"TIDAAAAKKK!!!"
Jeritan Tirta bukan lagi jeritan manusia biasa. Itu adalah raungan dari jiwa yang terluka parah, sebuah pekikan yang menyatu dengan deru samudra. Ia bangkit berdiri, kedua tangannya terangkat ke langit, seolah hendak mencengkeram cakrawala. Angin kencang tiba-tiba bertiup, memutar pasir dan debu. Langit yang tadinya cerah mulai meredup, tertutup awan hitam yang berkumpul dengan cepat.
Laut di depan matanya bergolak semakin hebat. Airnya terangkat, membentuk dinding raksasa yang menjulang tinggi -- sebuah tsunami mini, namun cukup besar untuk melumat apa saja yang ada di jalurnya. Dengan satu gerakan tangan Tirta yang diarahkan ke kapal-kapal VOC itu, gelombang raksasa itu melesat maju dengan kecepatan mengerikan.
Para serdadu di atas kapal-kapal itu tak sempat bereaksi. Mereka hanya bisa menatap ngeri saat dinding air itu menerjang mereka. Suara kayu patah, teriakan ketakutan, dan dentuman keras terdengar silih berganti sebelum ketiga kapal itu lenyap ditelan amukan laut, hancur berkeping-keping, tak menyisakan apa pun selain buih putih dan serpihan kayu yang mengapung.
Setelah itu, Tirta rubuh terduduk di pasir, tenaganya terkuras habis, amarahnya sedikit mereda, menyisakan kehampaan yang tak terperi. Ia telah membalaskan dendam ibunya, namun rasa sakit itu tak kunjung hilang.