Bab 10: Pangeran yang Tercela
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, dan Bab 9.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Hari-hari setelah kembalinya Tirta dari Pelabuhan Ratu yang hancur luluh diselimuti awan kelabu di Gua Langit. Perdebatan sengit mengenai tindakan Tirta meninggalkan retakan dalam hubungan di antara keempat anak muda itu dan juga dengan Pangeran Wirasakti. Tirta semakin menarik diri, kemarahannya membeku menjadi tatapan dingin dan tekad yang kelam. Api, meski secara terbuka mendukung aksi balas dendam Tirta, merasakan ada sesuatu yang hilang dari semangat pemberontakan mereka -- kini terasa lebih pahit, lebih personal. Tanah berusaha menjadi penengah, namun kata-katanya seolah hilang ditelan ketegangan.
Angin, atau Putri Gayatri, merasakan beban yang paling berat. Ia terjepit di antara loyalitas pada ayahnya yang baru ditemukannya dan ikatan yang mulai tumbuh dengan teman-teman seperjuangannya. Ia melihat bagaimana Wirasakti semakin sering menyendiri, wajahnya kian menampakkan gurat-gurat keputusasaan dan obsesi yang tersembunyi. Kecurigaan akan adanya pengkhianat setelah misi ke Benteng Cimahi yang gagal total masih menghantui, menambah lapisan ketidakpercayaan dalam persembunyian mereka.
Suatu malam, Angin tak bisa tidur. Suara angin yang berdesir di mulut gua biasanya menenangkannya, namun malam itu bisikannya terasa penuh kegelisahan. Ia bangkit dari alas tidurnya yang sederhana, memutuskan untuk berjalan-jalan di lorong-lorong gua yang lebih dalam, mencari ketenangan atau mungkin sekadar mengusir bayangan buruk. Kakinya yang ringan membawanya tanpa sadar ke bagian gua yang jarang dikunjungi, sebuah ceruk tersembunyi di balik formasi stalagmit yang menjulang tinggi.
Dari celah sempit di antara bebatuan, secercah cahaya kemerahan yang berkedip-kedip menarik perhatiannya. Diiringi aroma aneh yang campuran antara dupa, darah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan, Angin mendekat dengan hati-hati. Rasa ingin tahu bercampur dengan firasat buruk mendorongnya untuk mengintip.
Apa yang dilihatnya membuat darahnya serasa membeku. Di tengah ceruk itu, Pangeran Wirasakti sedang melakukan sebuah ritual. Lingkaran simbol-simbol aneh tergores di tanah, diterangi oleh beberapa pelita kecil yang apinya berwarna ganjil. Di tengah lingkaran, terbaring bangkai seekor kambing hitam, dadanya terbelah. Dan yang paling mengerikan, Wirasakti memegang jantung hewan itu di tangannya, bibirnya menggumamkan mantra-mantra kuno dalam bahasa yang tak Angin pahami. Ini adalah ritual ngaos, sebuah praktik mistis terlarang yang melibatkan pengorbanan hewan untuk memanggil arwah.
Angin menutup mulutnya, menahan pekikan ngeri. Ia melihat ayahnya memakan sebagian kecil dari jantung hewan kurban itu. Seketika, udara di sekitar Wirasakti bergolak. Bayangan-bayangan tipis mulai terbentuk, berputar-putar di sekelilingnya. Dua sosok transparan perlahan menjadi lebih jelas -- seorang wanita anggun berparas ayu dan seorang anak laki-laki kecil. Ratu Sekar dan putra sulungnya, kakak Angin. Arwah istri dan anaknya yang telah tiada.
"Sekar... anakku..." suara Wirasakti terdengar serak, penuh kerinduan dan kepedihan yang menyayat. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh bayangan-bayangan itu, namun tangannya hanya menembus kehampaan.
Angin, yang baru saja mengetahui bahwa Ratu Sekar adalah ibu kandungnya, merasakan hatinya tercabik-cabik. Melihat ibunya dalam wujud arwah, dipanggil dengan cara yang begitu mengerikan, adalah sebuah siksaan.