Bab 14: Pertempuran di Gunung Halimun
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, dan Bab 13.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Setelah tindakan nekat Tirta di Desa Ciharasas, kemarahan Kapten Willem van der Kraan mencapai puncaknya. Perburuan terhadap keempat Pendharaka kini dilakukan dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka tak lagi hanya buronan biasa; mereka adalah simbol perlawanan yang berbahaya, yang kekuatannya mulai menebar ketakutan di hati Kompeni. Merasa semakin terdesak, dan dengan Angin yang memiliki intuisi kuat terhadap alam, kelompok itu memutuskan untuk masuk lebih dalam ke jantung Gunung Halimun, hutan paling mistis di tanah Pasundan, berharap kerimbunan dan energi gaibnya bisa memberikan perlindungan sementara.
Namun, Willem van der Kraan bukanlah lawan yang mudah diremehkan. Ia telah menyiapkan senjata baru yang mengerikan:Â makhluk kabut hitam. Mereka adalah manusia-manusia malang, tawanan perang atau budak lokal, yang tubuh dan pikirannya telah dimutasi secara mengerikan oleh paparan batu meteor yang dimiliki Willem. Tubuh mereka menghitam dan membengkak dengan urat-urat aneh menonjol, mata mereka menyala kosong dengan cahaya hijau redup, dan mereka bergerak dengan kekuatan brutal serta ketidakpedulian terhadap rasa sakit.
Di sebuah lembah tersembunyi di Gunung Halimun, yang dikelilingi tebing-tebing curam dan pepohonan purba, keempat Pendharaka akhirnya terkepung. Pasukan gabungan VOC, yang terdiri dari serdadu-serdadu reguler bersenjata lengkap, kavaleri, dan kini diperkuat oleh puluhan makhluk kabut hitam yang bergerak dengan geraman rendah, menutup semua jalur pelarian.
"Sepertinya ini akan menjadi pesta yang meriah," ujar Api sinis, namun ada ketegangan dalam suaranya saat melihat wujud mengerikan para makhluk kabut hitam. "Kita hadapi bersama," sahut Tanah, berdiri kokoh di sampingnya, tangannya sudah merasakan getaran bumi di bawah kakinya. Tirta tak berkata apa-apa, namun matanya yang dingin mengawasi setiap gerakan musuh, air di sungai kecil di dekat lembah itu mulai beriak tak wajar. Angin, meski masih berduka, tahu ia harus kuat. Ia terbang rendah, mengamati formasi musuh.
Pertempuran pun meletus bagai badai. Para serdadu VOC melepaskan tembakan salvo, namun Tanah dengan cepat mengangkat dinding batu tebal, menahan sebagian besar peluru. Makhluk kabut hitam menyerbu maju tanpa rasa takut, kekuatan fisik mereka luar biasa. Beberapa dari mereka bahkan mampu melompati dinding batu Tanah.
Api segera bertindak, menyemburkan api birunya yang khas, membakar beberapa makhluk kabut hitam yang berhasil menerobos. Namun, makhluk-makhluk itu seolah tak merasakan sakit, terus merangsek maju meski tubuh mereka terbakar, baru berhenti ketika benar-benar hangus menjadi abu.
Di udara, Angin menghadapi tantangan baru. Bukan hanya elang-elang terlatih, tapi juga beberapa makhluk kabut hitam yang memiliki kemampuan melompat sangat tinggi, atau bahkan yang tampaknya bisa meluncur di udara menggunakan selaput aneh di antara lengan mereka. Pertempuran di langit menjadi semakin berbahaya. Ia teringat sesuatu yang pernah ia lihat dalam sebuah ukiran kuno di salah satu reruntuhan candi yang mereka lewati -- sebuah angklung raksasa yang konon bisa menciptakan gelombang suara dahsyat jika dimainkan oleh seseorang yang memiliki ikatan dengan angin. Di lembah itu, tumbuh rumpun-rumpun bambu raksasa. Dengan putus asa namun juga inspirasi, Angin menggunakan kekuatan anginnya untuk mencabut beberapa bambu terbesar, mengaturnya di udara dengan cepat, menyerupai bentuk angklung raksasa yang digantung di langit. Kemudian, ia mulai "menari" di udara di antara bambu-bambu itu, tubuhnya yang ringan disentuh oleh hembusan angin yang ia ciptakan sendiri, membuat bambu-bambu itu saling beradu dan bergetar.
Suara yang dihasilkan bukan lagi alunan musik yang merdu, melainkan gelombang suara frekuensi rendah yang memekakkan telinga dan menghancurkan. Gelombang itu menghantam para serdadu VOC, membuat mereka limbung, beberapa bahkan jatuh dengan darah mengalir dari telinga. Makhluk kabut hitam pun tampak terganggu, gerakan mereka melambat.