Bab 26: Perangkap di Kuburan Kapal
Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, Bab 21, Bab 22, Bab 23, Bab 24, dan Bab 25.
Menuruni perbukitan kapur selatan ibarat memasuki dunia yang berbeda. Udara yang tadinya kering dan panas kini mulai terasa lebih sejuk, diresapi oleh aroma garam yang tajam dan kuat yang dibawa oleh angin samudra. Suara yang mendominasi bukan lagi desau angin di antara pepohonan, melainkan gemuruh yang konstan dan dalam, seperti napas seekor naga raksasa yang tertidur. Itu adalah suara ombak Samudra Hindia yang menghantam tebing-tebing karang di bawah.
Pemandangan yang menyambut mereka begitu liar dan megah. Berbeda dengan Laut Jawa di utara yang cenderung tenang dan berwarna kecoklatan, Laut Selatan adalah sebuah kanvas biru tua yang bergejolak, ombaknya yang putih dan bergulung-gulung datang dengan kekuatan purba. Mereka melihat tebing-tebing curam yang menjulang langsung dari laut, dan pantai-pantai berpasir hitam vulkanik yang tampak tak ramah.
Desa nelayan yang mereka temukan di sebuah teluk terpencil, yang terlindung oleh dua tanjung karang besar, sangat berbeda dari desa-desa di Pantura. Di sini, rumah-rumah panggungnya tampak lebih kokoh, dibangun untuk menahan angin yang lebih ganas. Orang-orangnya pun lebih pendiam, wajah mereka menyimpan kewaspadaan yang dalam. Di sudut-sudut pantai, terdapat sajen-sajen kecil berisi bunga dan dupa, persembahan yang jelas ditujukan bukan untuk dewa biasa. Di sini, Kanjeng Ratu Kidul bukanlah sekadar mitos pengantar tidur; Ia adalah penguasa yang nyata, tetangga yang kuat, dan kekuatan yang harus dihormati dengan rasa takut.
Mendapatkan perahu terbukti lebih sulit dari yang mereka duga. Tidak ada uang yang bisa membujuk para nelayan untuk membawa mereka ke perairan terbuka, apalagi setelah mendengar tujuan mereka yang samar-samar. "Orang asing tidak mengerti," kata seorang kepala desa dengan tatapan tajam. "Laut ini punya aturan. Ada tempat-tempat di mana hanya ombak yang boleh berbicara."
Harapan mereka nyaris pupus sampai Gayatri, dengan intuisinya yang tajam, melihat seorang lelaki tua yang duduk sendirian di ujung pantai, memperbaiki jaringnya yang sudah usang dengan tangan-tangan yang gemetar karena usia. Ia tidak bergabung dengan nelayan lain yang menolak mereka. Ada sorot mata yang berbeda padanya---bukan hanya takut, tetapi juga duka yang mengakar.
Mereka mendekatinya. Namanya Pak Wirya. Setelah basa-basi yang canggung, Tanah, dengan caranya yang langsung namun penuh empati, bertanya mengapa ia tidak takut seperti yang lain.
Pak Wirya berhenti bekerja, matanya menatap kosong ke lautan. "Rasa takut itu sudah lama mati," desisnya, suaranya serak seperti pasir yang terseret ombak. "Mati bersama putraku satu-satunya, sepuluh tahun yang lalu. Ditelan oleh ombak hantu yang datang di hari yang cerah, di tempat yang mereka sebut Karang Setan." Ia menatap mereka berempat. "Kalian mencari sesuatu di sana, bukan? Aku bisa melihatnya di mata kalian. Kalian tidak seperti orang biasa."
Gayatri mengangguk. "Kami memburu sumber dari 'ombak hantu' itu, Pak."
Mata tua Pak Wirya berkilat untuk pertama kalinya. "Kalau begitu, aku akan membawa kalian," katanya tegas. "Bukan demi uang. Tapi demi melihat wajah dari iblis yang mengambil anakku. Siapkan diri kalian. Besok subuh kita berangkat. Dan jangan berdoa pada dewa-dewa daratan. Mereka tidak punya kuasa di sini."