Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 19

20 Juni 2025   08:19 Diperbarui: 21 Juni 2025   20:18 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 19: Badai Empat Unsur

Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17 dan Bab 18.

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Kabar bahwa Kapten Willem van der Kraan, dalam kondisinya yang mengerikan pasca serangan Api, telah mengumpulkan sisa-sisa pasukannya yang paling fanatik dan kini berlayar menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, menyebar seperti api kering. Tujuannya jelas: jika ia harus jatuh, ia akan menyeret salah satu pelabuhan terpenting di Jawa itu bersamanya ke dalam kehancuran, sebuah aksi balas dendam terakhir yang akan meninggalkan luka abadi. Bagi Ratu Gayatri dan para Pendharaka, ini adalah panggilan untuk pertempuran terakhir melawan arsitek teror yang seolah tak bisa mati itu. Sunda Kelapa, gerbang Batavia, harus dipertahankan, atau setidaknya, kejahatan Willem harus dihentikan di sana, sekali dan untuk selamanya.

Armada darurat para pejuang Pasundan, yang terdiri dari perahu-perahu nelayan yang dimodifikasi dan beberapa kapal dagang kecil yang membelot, berhadapan dengan kapal-kapal perang VOC yang tersisa di bawah komando Willem yang kini lebih mirip iblis pendendam daripada seorang perwira. Langit di atas Sunda Kelapa tampak kelabu, seolah alam pun merasakan ketegangan yang memuncak. Bau garam laut bercampur dengan aroma mesiu yang samar, pertanda pertempuran akan segera dimulai.

Keempat Pendharaka berdiri di garis depan. Angin, dengan sayap anginnya yang telah pulih meski masih menyisakan bekas luka tipis, terbang mengitari armada kecil mereka, matanya yang tajam mengawasi pergerakan musuh. Tirta, kini lebih sering berwujud sebagai pusaran air humanoid atau menyatu dengan gelombang, berada di dalam laut, siap memerintahkan setiap tetes air. Tanah berdiri kokoh di atas geladak kapal komando Ratu Gayatri, telapak kakinya seolah menyatu dengan kayu dek, merasakan getaran bumi bahkan dari tengah lautan. Api, di sampingnya, tampak tenang namun bara biru di matanya menyala stabil, dendamnya kini telah bertransformasi menjadi fokus yang dingin dan mematikan.

"Dia datang," bisik Angin dari atas, menunjuk ke arah cakrawala di mana layar-layar hitam kapal-kapal VOC mulai terlihat jelas, dipimpin oleh sebuah kapal perang yang lebih besar, hangus di beberapa bagian namun masih tampak mengancam -- kapal komando Willem.

Pertempuran pun dimulai. Meriam-meriam VOC menyalak lebih dulu, namun Tirta dengan sigap mengangkat dinding air raksasa, menahan sebagian besar tembakan. Para pejuang Pasundan membalas dengan panah api dan meriam-meriam kecil mereka, namun jelas mereka kalah dalam persenjataan.

"Kita harus mendekat! Hancurkan kapal-kapal itu!" seru Ratu Gayatri, suaranya lantang memberi komando.

Ini bukan lagi sekadar pertempuran biasa. Ini adalah pertarungan antara harapan dan keputusasaan, antara kebebasan dan penjajahan. Dan keempat Pendharaka tahu, mereka harus mengerahkan seluruh kekuatan mereka, bahkan melampaui batas yang pernah mereka bayangkan.

Melihat kapal-kapal VOC mulai mengepung dan mendesak armada rakyat, Tanah memejamkan mata. Ia merasakan dasar laut di bawah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan hentakan kaki dan teriakan yang menggetarkan, ia mengerahkan seluruh kekuatannya. Laut di antara armada VOC dan pelabuhan tiba-tiba bergolak hebat. Kemudian, dengan suara gemuruh yang dahsyat, sebuah daratan baru muncul dari kedalaman laut -- sebuah pulau kecil berbatu, lengkap dengan tebing-tebing curam, tepat di tengah formasi kapal-kapal VOC. Beberapa kapal Kompeni yang terlalu dekat terangkat dan pecah berkeping-keping di atas batu karang yang baru terbentuk itu. Formasi mereka kacau balau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun