Bab 18: Api vs Dendam
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16 dan Bab 17.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Kematian Pangeran Wirasakti dan Kapten Willem van der Kraan dalam ledakan kabut hitam di Gunung Halimun seharusnya menjadi titik balik yang signifikan. Willem, sang arsitek kekejaman VOC di Pasundan, telah musnah. Begitulah yang mereka yakini. Begitulah yang seharusnya terjadi. Namun, teror memiliki caranya sendiri untuk bangkit dari abu, seringkali dalam wujud yang lebih mengerikan.
Beberapa minggu setelah pertempuran itu, ketika Ratu Gayatri (Angin) mulai mengkonsolidasikan kekuatan perlawanan rakyat dan Tirta kembali dari transformasi gaibnya di lautan dengan kekuatan yang menakjubkan, kabar-kabar buruk mulai berdatangan dari wilayah pesisir utara. Sebuah kampanye teror baru dilancarkan oleh VOC, lebih brutal, lebih tanpa ampun. Desa-desa dibakar habis bukan hanya sebagai peringatan, tapi sebagai pemusnahan. Dan yang paling mengerikan, pemimpin kampanye brutal itu dideskripsikan sebagai sosok yang bangkit dari neraka: seorang Komandan VOC dengan separuh wajahnya tertutup perban, tubuhnya penuh luka bakar mengerikan, namun matanya masih menyiratkan kekejaman yang sama. Beberapa orang yang selamat dari pembantaian dengan ngeri menyebut satu nama: Kapten Willem van der Kraan.
Bagi Tanah, Angin, dan Tirta, berita itu sulit dipercaya. Mereka menyaksikan sendiri ledakan yang melenyapkan Wirasakti dan Willem. Namun, bagi Api, berita itu adalah percikan bensin pada bara dendam yang selama ini coba ia kendalikan. Willem hidup? Pria yang membakar istana ayahnya, pria yang menjadi simbol dari semua penderitaan rakyat Pasundan, pria yang merenggut begitu banyak nyawa, ternyata masih bernapas?
"Tidak mungkin..." desis Angin, wajahnya pucat. "Ledakan itu... bagaimana bisa ia selamat?" gumam Tanah, kebingungan. Tirta hanya menatap ke arah laut, seolah mencari jawaban dari ombak. "Kegelapan memiliki daya hidup yang kuat."
Namun Api tak butuh penjelasan. Matanya menyala dengan api biru yang lebih intens dari biasanya. "Jika iblis itu memang merangkak keluar dari kuburnya," geramnya, "aku sendiri yang akan mengirimnya kembali ke neraka!" Dendam yang sempat mereda setelah pengakuannya pada Tanah, kini berkobar kembali dengan kekuatan penuh. Ini adalah kesempatan kedua, kesempatan untuk menuntaskan apa yang belum selesai.
Dipimpin oleh kemarahan membara Api, dan didukung oleh teman-temannya yang tahu bahwa mereka tak bisa mengabaikan ancaman ini, mereka bergerak menuju wilayah utara. Informasi dari mata-mata rakyat membawa mereka ke sebuah benteng tua yang baru saja direbut kembali oleh VOC di dekat muara sungai, tempat Komandan VOC misterius itu dikabarkan akan melakukan eksekusi massal terhadap para penduduk desa yang dituduh membantu pejuang.
Saat mereka tiba, pemandangan yang mereka saksikan membenarkan semua ketakutan mereka. Di halaman benteng, puluhan penduduk desa -- tua, muda, wanita, anak-anak -- diikat dan dipaksa berlutut. Dan di depan mereka, berdiri sesosok pria jangkung dengan seragam VOC yang hangus di beberapa bagian. Separuh wajahnya memang tertutup perban kotor, namun dari sisa wajahnya yang terlihat dan sorot matanya yang dingin dan kejam, Api mengenalinya. Willem van der Kraan. Entah bagaimana caranya ia selamat dari ledakan di Gunung Halimun, mungkin dilindungi oleh sisa-sisa kekuatan batu meteor atau ditarik dari ambang kematian oleh ilmu hitam Kompeni, ia kini berdiri di sana, lebih mirip monster daripada manusia, namun tak diragukan lagi, itu adalah dia.
"Lihatlah para pemberontak ini!" suara Willem serak dan berat, bergema di halaman yang senyap. "Mereka pikir bisa melawan kekuasaan Verenigde Oostindische Compagnie! Hari ini, kalian semua akan menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani menentang kami!" Ia memberi isyarat kepada algojo untuk bersiap.