Bagi Api, tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi strategi. Hanya ada satu tujuan. "WILLEM!!!"
Teriakannya membelah udara saat ia melesat maju, meninggalkan Tanah, Angin, dan Tirta yang baru saja hendak menyusun rencana penyergapan. Api biru berkobar di sekujur tubuhnya, kemarahannya mencapai puncaknya. Para serdadu VOC terkejut, beberapa mencoba menghadang, namun mereka terlempar oleh gelombang panas yang menyertai kedatangan Api.
Willem van der Kraan, meski terkejut sesaat, menyeringai dari balik perbannya. "Jadi, kau masih hidup, gadis api kecil. Datang untuk menyusul ayahmu yang bodoh itu ke alam baka?"
Pertarungan antara Api dan Willem tak terhindarkan. Api menyerang dengan membabi buta, setiap semburan api birunya membawa serta semua dendam dan kepedihan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Willem, meski tubuhnya jelas tak lagi seprima dulu dan gerakannya sedikit kaku akibat luka bakarnya, melawan dengan brutal, menggunakan pedangnya dan beberapa teknologi aneh peninggalan kabut hitam yang masih menempel padanya.
Tanah, Angin, dan Tirta segera bertindak membantu para sandera dan melawan serdadu VOC lainnya. Angin menciptakan badai lokal untuk mengacaukan formasi musuh, Tirta memanipulasi air dari sumur dan parit untuk menjerat para serdadu, sementara Tanah melindungi para sandera dengan dinding-dinding batu.
Namun, fokus utama Api hanya pada Willem. Ia berhasil mendesak Willem ke sudut benteng. Pedang Willem terlepas dari genggamannya. Pria itu terhuyung, luka bakarnya yang mengerikan tampak semakin parah di bawah panasnya api biru Api. Ia tak berdaya. Inilah saatnya. Api mengangkat kedua tangannya, siap melepaskan semburan api terakhir yang akan melenyapkan Willem dari muka bumi. Ia bisa merasakan kepuasan yang kelam mulai merayapinya.
"Api, hentikan!"
Suara Tanah terdengar jelas di tengah deru api dan kekacauan pertempuran. Ia berdiri tak jauh dari Api, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, bukan pada Willem, tapi pada Api.
"Minggir, Tanah!" bentak Api, matanya masih tertuju pada Willem yang kini terbatuk-batuk, mengeluarkan darah hitam. "Dia pantas mati!"
"Aku tahu dia pantas mendapatkan hukuman, Api," kata Tanah dengan tenang, namun suaranya tegas. "Tapi lihat dirimu. Jika kau membunuhnya seperti ini, dengan kebencian seperti ini, apa bedanya kau dengannya?" Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Kita melawan kejahatan, Api. Bukan untuk menjadi kejahatan itu sendiri."
Kata-kata Tanah menghantam Api lebih keras dari serangan fisik mana pun. Semburan api di tangannya sedikit meredup. Ia menatap Willem yang tak berdaya, lalu menatap Tanah, lalu kembali ke dalam dirinya sendiri. Dendam itu begitu kuat, begitu memabukkan. Tapi ia juga teringat akan senyuman anak-anak Desa Ciharasas yang ia bantu selamatkan bersama Tirta, teringat pengorbanan Nyai Ratna, teringat harapan di mata para petani yang kini menyebut Angin sebagai Ratu mereka. Apakah ini yang mereka perjuangkan? Menjadi algojo yang sama kejamnya dengan musuh mereka?