Pergulatan batin itu terasa seperti berlangsung selamanya. Keinginan untuk membalas dendam ayahnya, untuk melenyapkan sumber penderitaannya, begitu besar. Namun, suara lembut Tanah, pengingat akan sisi kemanusiaan mereka, terus terngiang.
Akhirnya, dengan erangan frustrasi bercampur kepedihan, Api menurunkan tangannya. Api biru yang tadi berkobar dahsyat kini padam, menyisakan asap tipis. Ia memalingkan wajahnya dari Willem. "Selamatkan para sandera," desisnya pada Tanah, suaranya serak.
Tanah mengangguk, sedikit lega namun juga memahami betapa beratnya keputusan itu bagi Api.
Willem van der Kraan, yang mengira ajalnya telah tiba, terbatuk hebat. Ia melihat Api berpaling. Dengan sisa tenaga terakhir, dan memanfaatkan kelengahan sesaat karena keputusan Api, ia berhasil merangkak dan menghilang di balik reruntuhan bangunan benteng yang terbakar sebagian akibat serangan Api sebelumnya. Tubuhnya kini mungkin lebih dari 70% dilalap api baru dari serangan Api, membuatnya semakin mengerikan, namun ia berhasil lolos dari kematian di tangan Api.
Api tidak mengejarnya. Ia berbalik dan membantu teman-temannya membebaskan para penduduk desa yang tersisa. Ada rasa hampa di hatinya, rasa marah yang belum tuntas. Namun, ketika seorang anak kecil yang berhasil ia selamatkan dari ikatan memeluk kakinya sambil menangis mengucapkan terima kasih, sesuatu yang lain mulai tumbuh di hatinya. Sesuatu yang lebih hangat, lebih kuat dari sekadar dendam.
Ia telah memilih. Ia memilih untuk menjadi pelindung, bukan pembunuh. Pertarungan melawan Willem van der Kraan mungkin belum usai, namun pertarungan Api melawan dendam dalam dirinya sendiri telah mencapai sebuah titik balik yang penting. Ia telah melihat ke dalam jurang kegelapan, dan ia memilih untuk tidak melompat ke dalamnya.
-- BERSAMBUNG ke Bab 19 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori
https://www.wattpad.com/user/labhistori