"Sekarang, Api!" seru Tanah.
Api, melihat target-target yang kini terbuka, melompat ke atas salah satu tebing di pulau buatan Tanah. Ia menarik napas dalam-dalam, memanggil seluruh energi api birunya. Namun kali ini, apinya tidak menyembur liar. Ia mengendalikannya, membentuknya. Dari kedua tangannya, muncul sesosok makhluk api raksasa berbentuk harimau putih dengan loreng-loreng biru menyala -- simbol kekuatan dan kesucian dalam mitologi Sunda. Harimau api itu melolong tanpa suara, lalu menerjang ke arah kapal-kapal VOC yang tersisa, membakar layar, meremukkan geladak, dan meledakkan gudang-gudang mesiu dalam kobaran api biru yang spektakuler.
Sementara itu, Angin melihat kesempatan lain. Dengan pulau baru yang diciptakan Tanah dan kekacauan yang disebabkan harimau api Api, ia terbang menukik ke arah permukaan laut yang bergolak di antara kapal-kapal musuh. Ia memutar tubuhnya, menciptakan pusaran angin yang dahsyat. Namun, bukan hanya angin yang ia tarik. Dengan bantuan Tirta yang mengarahkan arus dari bawah, pusaran angin itu mulai menyedot air laut, membentuk sebuah tornado air raksasa yang menjulang tinggi, menerbangkan serpihan kapal dan para serdadu VOC ke angkasa.
Kini, giliran Tirta. Ia telah menyaksikan bagaimana ketiga temannya mengerahkan kekuatan mereka, menciptakan sebuah simfoni kehancuran unsur. Ia merasakan energi laut yang meluap-luap, marah akibat pertempuran, namun juga patuh pada kehendaknya. Ia mengangkat kedua tangannya. Pulau baru ciptaan Tanah, api macan putih dari Api, dan tornado air dari Angin -- semua itu telah menciptakan ketidakstabilan unsur yang luar biasa. Tirta kini akan menyatukan semuanya, mengarahkannya menjadi satu gelombang pemusnah. Ia menarik mundur air laut di sekitar pelabuhan, menciptakan surut yang tak wajar, sebelum kemudian melepaskannya kembali dalam bentuk sebuah tsunami raksasa yang bergelombang menuju sisa-sisa armada VOC yang terjebak.
Di atas kapal komandonya yang rusak parah, terombang-ambing di antara pulau batu dan amukan badai empat unsur, Kapten Willem van der Kraan meraung dalam kemarahan dan keputusasaan. Tubuhnya yang penuh luka bakar tampak semakin mengerikan di bawah langit yang menggelap. Ia mencoba memerintahkan meriam terakhirnya untuk menembak, entah ke arah siapa, mungkin ke arah tsunami yang mendekat, sebuah tindakan sia-sia yang terakhir.
Namun, takdir punya cara yang lebih ironis untuk mengakhiri hidupnya. Saat tsunami itu mulai menerjang, salah satu meriam di geladaknya sendiri, yang terlepas dari dudukannya akibat guncangan hebat dari pulau yang muncul dan terjangan harimau api, terguling dan mengarah tepat padanya. Sebelum ia sempat menghindar, meriam berat itu menghantamnya, menusuk tubuhnya yang ringkih.
Dan seolah itu belum cukup, tsunami raksasa ciptaan Tirta akhirnya tiba. Gelombang itu tak hanya menelan Willem dan kapalnya, tapi juga menghantamnya dengan kekuatan gabungan dari tanah yang bergolak, api yang membakar, dan angin yang memutar. Tubuh Willem van der Kraan hancur lebur, lenyap tanpa sisa ditelan amukan empat unsur yang dikerahkan oleh para pelindung tanah Pasundan.
Ketika badai mereda, pemandangan di Pelabuhan Sunda Kelapa sungguh mengerikan. Sisa-sisa kapal VOC hancur berkeping-keping, pulau baru ciptaan Tanah berdiri kokoh di tengah teluk, dan pelabuhan itu sendiri mengalami kerusakan parah. Namun, di tengah semua itu, armada kecil para pejuang Pasundan, meski babak belur, masih bertahan. Dan yang terpenting, Willem van der Kraan telah tiada.
Keempat Pendharaka berdiri di atas pulau batu itu, memandang hasil karya mereka. Tanah, Api, Angin, dan Tirta. Mereka telah melepaskan badai empat unsur, sebuah kekuatan yang begitu dahsyat hingga mereka sendiri sedikit gentar melihatnya. Mereka telah menang, namun harga yang dibayar adalah kehancuran yang luas.
Rakyat Sunda Kelapa yang selamat dari persembunyian mereka memandang keempat anak muda itu dengan campuran rasa syukur, takjub, dan sedikit ketakutan. Mereka adalah penyelamat, namun juga perwujudan dari kekuatan alam yang paling purba dan menakutkan. Perang melawan VOC mungkin belum sepenuhnya berakhir, namun hari itu, di Pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah legenda baru telah terukir dengan tinta api, air, tanah, dan angin.
-- BERSAMBUNG ke Epilog Bagian 1 --