Keesokan paginya, perahu cadik Pak Wirya yang kecil namun kokoh meluncur membelah ombak fajar yang keperakan. Lelaki tua itu mengemudikan perahunya dengan keahlian yang luar biasa, membaca setiap gerakan arus dan menghindari batu-batu karang tersembunyi. Ia membawa mereka ke arah barat, menuju sebuah kawasan yang ia sebut sebagai "Kuburan Kapal".
Setelah berlayar selama dua jam, pemandangannya mulai berubah mengerikan. Pilar-pilar batu karang hitam yang tajam dan bergerigi mencuat dari permukaan laut seperti gigi-gigi monster. Arus menjadi liar dan tak terduga. Dan di antara karang-karang itu, terbaringlah saksi-saksi bisu dari keganasan lautan: kerangka kapal-kapal dari berbagai zaman. Tiang-tiang dari sebuah kapal jung Cina yang patah menunjuk ke langit, sebuah lambung kapal Eropa dari abad sebelumnya terbelah dua di atas batu karang, dan puluhan kerangka perahu nelayan lokal tersebar di mana-mana, ditutupi teritip dan lumut laut.
"Tarikan itu semakin kuat dari arah sana," kata Tirta, menunjuk ke jantung labirin karang itu.
Dan saat itulah mereka melihatnya. Di tengah area yang paling berbahaya, di mana seharusnya tidak ada kapal yang berani lewat, salah satu kapal hitam Alap-Alap berlayar dengan tenang. Kapal itu tidak bergerak cepat, hanya berlayar pelan, seolah sedang menunggu.
"Itu jebakan," kata Api langsung, tangannya sudah gatal ingin mengeluarkan api.
"Aku tahu," jawab Gayatri, matanya menyipit. "Tapi umpan itu sengaja disajikan untuk kita. Kita tidak punya pilihan selain memakannya." Ia menoleh ke Pak Wirya. "Pak, bisakah Anda membawa kami lebih dekat?"
Pak Wirya mengangguk dengan wajah tegang, bibirnya merapal doa-doa kuno sambil dengan ahli mengarahkan perahunya memasuki labirin maut itu.
Semakin dalam mereka masuk, semakin aneh suasananya. Angin tiba-tiba berhenti berembus. Suara gemuruh ombak yang tadi membahana kini teredam menjadi bisikan yang ganjil. Dan kemudian, kabut itu datang.
Bukan kabut laut biasa yang turun perlahan dari langit. Kabut ini menggulung dari permukaan air itu sendiri, tebal, berwarna kehijauan, dan berbau seperti rumput laut yang membusuk. Dalam sekejap, dunia mereka menyusut menjadi lingkaran kecil di sekitar perahu. Mereka tidak bisa lagi melihat kapal hitam itu, tidak bisa melihat karang-karang di depan, bahkan sulit untuk melihat wajah satu sama lain dengan jelas.
"Tetap bersama!" teriak Tanah, mencoba mengatasi rasa klaustrofobia yang tiba-tiba muncul.
Tetapi kabut itu lebih dari sekadar penghalang visual. Kabut itu adalah senjata psikologis. Bisikan-bisikan halus mulai terdengar, menari-nari di tepi pendengaran mereka, seolah dibawa oleh kabut itu sendiri.