Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Prolog Bagian 2

22 Juni 2025   07:39 Diperbarui: 23 Juni 2025   18:49 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Prolog Bagian 2: Kidung Sang Ratu

Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1.

Di kedalaman Samudra Hindia, di palung yang tak pernah tersentuh cahaya matahari dunia atas, berdirilah sebuah keajaiban yang sekaligus mengerikan: Istana Koral Abisal. Ini bukanlah bangunan yang dibuat oleh tangan manusia atau jin, melainkan sebuah mahakarya yang tumbuh dan dibentuk oleh kehendak lautan itu sendiri selama ribuan tahun. Pilar-pilarnya adalah formasi karang hitam yang menjulang tinggi, berdenyut dengan cahaya fosfor biru redup. Atapnya adalah kubah raksasa dari cangkang Nautilus purba yang telah membatu, sementara taman-tamannya dihiasi anemon yang berpendar seperti lentera hidup dan rumput laut sutra yang menari-nari mengikuti arus abadi.

Udara---jika bisa disebut demikian---terasa berat, penuh dengan tekanan jutaan ton air di atasnya. Namun bagi para penghuninya, ini adalah rumah. Suara yang terdengar bukanlah keheningan, melainkan gema samudra yang dalam dan konstan: senandung paus bungkuk dari kejauhan, gemerincing lembut untaian mutiara yang digerakkan arus, dan rintihan spektral dari arwah-arwah para pelaut yang jiwanya terikat pada lautan selamanya. Mereka melayang pelan di antara pilar-pilar istana, sosok-sosok transparan yang matanya menyimpan duka abadi.

Di tengah pendopo agung yang lantainya adalah obsidian vulkanik yang dipoles oleh waktu, berdirilah sebuah singgasana. Bukan dari emas atau permata, melainkan dari koral hidup yang terus tumbuh, berwarna hijau giok dan merah darah. Di atas singgasana itulah Ia bersemayam. Ratu Siluman Kidul.

Wajahnya adalah perwujudan dari kecantikan yang tak duniawi, setenang permukaan laut sebelum badai, namun matanya yang sehijau kedalaman palung menyimpan kekuatan purba yang menakutkan. Rambutnya yang hitam legam tergerai panjang, mengalir di sekelilingnya seperti jubah malam cair, setiap helainya bergerak sendiri seolah hidup. Gaun yang dikenakannya ditenun dari benang sutra laut, berkilauan dalam spektrum warna dari biru kehijauan hingga ungu gelap, tergantung dari sudut mana cahaya pendar mengenainya. Ia bukan manusia, bukan pula dewi. Ia adalah perwujudan dari lautan itu sendiri: indah, misterius, dan tanpa ampun.

Perlahan, Sang Ratu bangkit. Langkahnya tak bersuara, tubuhnya melayang anggun beberapa senti di atas lantai obsidian. Ia bergerak menuju sebuah altar batu di tengah ruangan, di mana sebuah benda aneh tergeletak, benda yang seharusnya tidak berada di sini. Sebuah kitab bersampul kulit, kering seolah tak pernah tersentuh air, dengan ukiran aksara Sunda kuno yang rumit di sampulnya. Pustaka Astagina.

Jemarinya yang lentik dan dingin menyentuh sampul kitab itu.  Sebuah senyum tipis---bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum kepastian yang dingin---terukir di bibirnya.  Ia merasakan energi daratan yang kering dari kitab itu, sebuah anomali di kerajaannya yang basah. Namun, ia juga merasakan pengetahuan di dalamnya, kunci untuk membuka kekuatan yang bahkan lebih tua dari kerajaannya sendiri.

Ia membuka kitab itu ke sebuah halaman yang ditandai dengan sehelai alga perak. Aksara kuno di halaman itu seolah berdenyut, memancarkan cahaya redup. Sang Ratu tidak membacanya dengan suara biasa. Ia mulai melantunkan sebuah kidung, nyanyian gaib yang suaranya adalah campuran dari deru ombak yang menghantam tebing, desir buih di bibir pantai, dan keheningan mencekam dari dasar samudra.

Saat kidung itu mengalun, energi dari Pustaka Astagina mengalir keluar, menyatu dengan aura hijau Sang Ratu. Air di sekeliling istana mulai bergolak. Arwah-arwah laut yang tadi melayang tenang kini menunduk dalam ketakutan dan penghormatan. Kekuatan sedang dipanggil.

Ribuan kilometer jauhnya, di perairan Selat Malaka yang sibuk, kapal dagang besar milik VOC bernama De Gier (Sang Burung Nazar) membelah ombak dengan angkuh. Kapal itu baru saja meninggalkan Batavia, sarat dengan muatan pala dan cengkeh yang dirampas dari Maluku, serta kain sutra dari Cina untuk para petinggi di Amsterdam. Di atas geladak, para serdadu tertawa terbahak-bahak, menenggak jenever murah sambil membuang sisa makanan dan sampah ke laut tanpa peduli. Asap dari dapur kapal dan bau mesiu dari gudang senjata mencemari udara asin yang segar. Kapal itu adalah monumen kesombongan manusia, sebuah luka bernanah di tubuh lautan yang biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun