Kapten kapal, seorang pria Belanda berperut buncit bernama Hendrick Maes, sedang memandangi peta, menghitung keuntungan yang akan ia peroleh. Cuaca cerah, angin bertiup stabil. Perjalanan ini akan mudah. Tiba-tiba, seorang kelasi berteriak dari tiang pengawas.
"Kapten! Awan aneh di depan!"
Hendrick mendongak. Benar saja. Di cakrawala yang tadinya bersih, segumpal awan hitam kehijauan berkumpul dengan kecepatan yang tidak wajar, berputar-putar seperti pusaran. Angin yang tadinya bersahabat kini berhenti total, membuat layar kapal terkulai lemas. Suasana menjadi hening mencekam.
Kemudian, laut di sekitar mereka mulai berubah warna. Dari biru tua menjadi hijau keruh, seolah ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman. Air mulai bergolak, bukan seperti ombak biasa, melainkan seperti air yang mendidih dalam kuali raksasa.
"Apa-apaan ini?!" hardik Kapten Maes, jantungnya mulai berdebar kencang. Ia telah berlayar puluhan tahun, namun belum pernah melihat fenomena seperti ini.
Dari dalam air yang bergolak, sesuatu muncul. Bukan batu karang, bukan pula monster laut yang mereka kenal. Melainkan sulur-sulur raksasa yang seluruhnya terbuat dari air laut yang dipadatkan, berpendar dengan cahaya hijau yang sama seperti awan di atas mereka. Sulur-sulur itu bergerak dengan kecerdasan yang mengerikan, meliuk-liuk di udara sebelum menghantam lambung De Gier.
KRAAAKKK!
Kayu jati yang kokoh itu remuk seperti ranting kering. Air laut langsung menyerbu masuk. Para serdadu panik, berlarian tak tentu arah. Beberapa mencoba menembakkan meriam, namun peluru mereka hanya menembus sulur air itu tanpa efek apa pun.
Satu sulur raksasa melilit tiang utama, mematahkannya menjadi dua. Layar yang terkoyak jatuh menimpa para kelasi yang berteriak ngeri. Sulur lain menyapu geladak, melemparkan manusia-manusia ke dalam lautan yang murka. Kapten Maes hanya bisa terpaku ngeri saat sebuah sulur air berbentuk tangan raksasa meraihnya, meremukkannya dalam genggaman dingin sebelum menariknya ke bawah.
Kapal De Gier terangkat miring, isinya tumpah ke laut---peti-peti rempah, meriam-meriam, dan tubuh-tubuh manusia. Dalam beberapa menit yang penuh dengan jeritan dan suara kayu patah, kapal megah itu diseret ke bawah permukaan, lenyap ditelan pusaran air hijau yang kemudian perlahan mereda.
Dalam sekejap, semuanya kembali tenang. Lautan kembali biru, awan aneh itu menghilang, hanya menyisakan serpihan-serpihan kapal dan beberapa gelembung udara di permukaan sebagai bukti bahwa De Gier pernah ada.