Epilog Bagian 1: Kitab yang Hilang
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, dan Bab 19.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Pelabuhan Sunda Kelapa perlahan bangkit dari kehancuran. Asap pertempuran telah lama sirna, digantikan oleh deru palu dan gergaji para penduduk yang membangun kembali rumah dan dermaga mereka. Badai Empat Unsur telah meninggalkan jejaknya -- sebuah pulau baru di tengah teluk, beberapa bagian pelabuhan yang berubah bentuk, dan yang terpenting, kebebasan dari cengkeraman Kapten Willem van der Kraan dan sebagian besar kekuatan VOC di wilayah itu. Para Pendharaka -- Tanah, Api, Ratu Gayatri (Angin), dan Tirta -- dielu-elukan sebagai pahlawan, penyelamat. Nama mereka diukir dalam lagu dan cerita, menjadi legenda baru bagi tanah Pasundan.
Namun, di tengah sorak-sorai kemenangan dan harapan akan masa depan yang lebih cerah, keempat anak muda itu merasakan kehampaan dan kegelisahan. Pangeran Wirasakti, ayah Angin, telah menebus kesalahannya dengan pengorbanan tertinggi. Nyai Ratna, ibu angkat Angin, juga telah tiada, meninggalkan warisan keberanian. Perang ini telah merenggut banyak hal dari mereka.
Di sebuah pendopo darurat yang dibangun di antara reruntuhan sisa-sisa kejayaan Sunda Kelapa, para tetua adat dan perwakilan rakyat yang tersisa memohon kepada Ratu Gayatri untuk memimpin mereka secara resmi, untuk membangun kembali Kerajaan Sunda Agung dari puing-puingnya. Tawaran itu menggoda. Angin, dengan mahkota sederhana yang ia temukan di reruntuhan istana leluhurnya, merasakan tarikan tanggung jawab itu. Namun, ia juga melihat keraguan di mata teman-temannya.
"Aku... aku tidak yakin apakah aku siap untuk ini," ujar Angin suatu malam, ketika mereka berempat berkumpul di tepi pantai, memandang bulan purnama yang menggantung di atas lautan yang tenang. "Istana, politik, aturan... setelah semua yang kita lalui, rasanya seperti kembali ke sangkar, meskipun sangkar emas."
Api mengangguk setuju. "Kita adalah pejuang, bukan bangsawan penghias ruangan sidang," katanya, matanya menatap kobaran api unggun kecil yang mereka buat. "Masih banyak ketidakadilan di luar sana. VOC mungkin telah kehilangan salah satu taringnya, tapi tubuh ularnya masih melilit tanah ini."
Tanah, yang selalu membumi, menambahkan, "Kekuatan kita ini... rasanya lebih cocok digunakan untuk melindungi mereka yang tak bisa melindungi diri sendiri, di mana pun mereka berada. Bukan hanya di satu wilayah."
Tirta, yang kini auranya semakin menyatu dengan laut, memandang ke arah samudra yang gelap. "Keseimbangan itu rapuh. Ancaman tak pernah benar-benar lenyap, hanya berubah bentuk."
Akhirnya, setelah perenungan panjang, mereka mengambil keputusan. Ratu Gayatri akan tetap menjadi simbol harapan dan persatuan bagi rakyatnya, namun ia dan ketiga Pendharaka lainnya tidak akan terikat pada satu tempat atau satu struktur kekuasaan formal. Mereka memilih jalan yang berbeda. "Kita akan menjadi pejuang keliling," ujar Angin pada para tetua keesokan harinya. "Pelindung rakyat Pasundan, di mana pun ancaman muncul. Hati kami tetap bersama kalian, tapi kaki kami harus melangkah ke tempat di mana kami paling dibutuhkan."