Keputusan itu diterima dengan campuran haru dan pengertian. Rakyat tahu, keempat pahlawan mereka memiliki takdir yang lebih besar.
Jauh di selatan, di sebuah gua karang tersembunyi yang hanya bisa dijangkau saat air laut surut purnama, di mana ombak Samudra Hindia menghantam dengan kekuatan purba, sesosok wanita dengan kecantikan yang tak duniawi dan aura mistis yang pekat berdiri di hadapan sebuah altar batu kuno. Rambutnya yang hitam panjang tergerai bagai jubah malam, matanya sehijau kedalaman laut, dan gaun sutra berwarna hijau lautnya berkilauan diterpa cahaya remang dari lumut fosfor yang menempel di dinding gua. Dialah Ratu Siluman Kidul, penguasa gaib Laut Selatan, Nyai Roro Kidul dalam manifestasinya yang lebih kelam dan penuh teka-teki.
Di atas altar itu, tergeletak sebuah kitab kuno bersampul kulit dengan ukiran aksara Sunda kuno yang rumit -- Pustaka Astagina. Kitab yang disembunyikan Ratu Sekar di kolam keramat Istana Sunda Agung, yang kemudian diambil oleh sosok misterius setelah pembantaian. Entah bagaimana caranya, kitab itu kini berada di tangan Sang Ratu Laut Selatan.
Ia menyentuh sampul kitab itu dengan jemarinya yang lentik namun memancarkan kekuatan dingin. Sebuah senyum tipis, penuh misteri dan firasat buruk, terukir di bibirnya yang merah. "Empat anak manusia telah menjadi pahlawan hari ini..." bisiknya, suaranya menggema di dalam gua, menyatu dengan deru ombak di luar. "...mereka telah mengalahkan bayangan dari seberang lautan." Matanya berkilat. "Tapi siapa yang akan menghentikanku besok?"
Pustaka Astagina di tangannya seolah berdenyut, memancarkan cahaya redup, seolah merespons kata-kata Sang Ratu. Sebuah era baru yang lebih gelap, di mana ancaman bukan lagi datang dari keserakahan manusia semata, melainkan dari kekuatan mistis kuno yang terbangun, baru saja mengintai di cakrawala.
Beberapa waktu kemudian, di sebuah pantai sepi yang jauh dari hiruk pikuk Sunda Kelapa, Tirta berdiri sendirian memandang matahari terbenam. Laut di hadapannya tenang, ombaknya berirama lembut. Sejak transformasinya, ia merasakan kedamaian yang aneh setiap kali berada di dekat laut, seolah ia telah benar-benar pulang. Namun, kehilangan ibunya masih menyisakan luka tipis di hatinya.
Saat itulah, di tengah riak-riak air keemasan yang diterpa cahaya senja, ia melihatnya. Sesosok bayangan wanita, transparan namun begitu nyata, berdiri di atas permukaan air, tersenyum lembut padanya. Ibunya. Tak ada kata-kata, hanya senyuman penuh kasih dan keikhlasan. Seolah ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia bangga pada putranya, dan bahwa ia telah menemukan kedamaiannya bersama laut.
Air mata mengalir di pipi Tirta, namun kali ini bukan air mata duka, melainkan air mata kelegaan dan penerimaan. Ia membalas senyuman ibunya. Bayangan itu perlahan memudar, menyatu kembali dengan laut, meninggalkan Tirta dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu, ibunya akan selalu menjadi bagian dari dirinya, seperti halnya laut itu sendiri.
Di atas sebuah bukit yang menghadap ke tanah Pasundan yang terhampar luas, Tanah, Api, Ratu Gayatri, dan Tirta memandang matahari terbit yang baru. Mereka telah memilih jalan mereka sebagai pejuang keliling, pelindung tanpa mahkota resmi, tanpa istana. Perjalanan mereka masih panjang, tantangan baru pasti akan datang, terutama dengan Pustaka Astagina yang kini berada di tangan yang salah.
Namun, mereka tidak takut. Bersama-sama, dengan kekuatan empat unsur yang menyatu dalam diri mereka dan ikatan persahabatan yang telah teruji oleh api dan darah, mereka siap menghadapi apa pun yang menghadang. Mereka adalah Pendharaka, para penjaga yang bangkit dari rakyat biasa, dan kisah mereka baru saja dimulai. Langit fajar di hadapan mereka menjanjikan petualangan baru, pertempuran baru, dan harapan baru bagi tanah yang mereka cintai.
-- AKHIR dari Bagian 1 --