Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Epilog Bagian 1

21 Juni 2025   20:03 Diperbarui: 22 Juni 2025   07:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Epilog Bagian 1: Kitab yang Hilang

Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, dan Bab 19.

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Pelabuhan Sunda Kelapa perlahan bangkit dari kehancuran. Asap pertempuran telah lama sirna, digantikan oleh deru palu dan gergaji para penduduk yang membangun kembali rumah dan dermaga mereka. Badai Empat Unsur telah meninggalkan jejaknya -- sebuah pulau baru di tengah teluk, beberapa bagian pelabuhan yang berubah bentuk, dan yang terpenting, kebebasan dari cengkeraman Kapten Willem van der Kraan dan sebagian besar kekuatan VOC di wilayah itu. Para Pendharaka -- Tanah, Api, Ratu Gayatri (Angin), dan Tirta -- dielu-elukan sebagai pahlawan, penyelamat. Nama mereka diukir dalam lagu dan cerita, menjadi legenda baru bagi tanah Pasundan.

Namun, di tengah sorak-sorai kemenangan dan harapan akan masa depan yang lebih cerah, keempat anak muda itu merasakan kehampaan dan kegelisahan. Pangeran Wirasakti, ayah Angin, telah menebus kesalahannya dengan pengorbanan tertinggi. Nyai Ratna, ibu angkat Angin, juga telah tiada, meninggalkan warisan keberanian. Perang ini telah merenggut banyak hal dari mereka.

Di sebuah pendopo darurat yang dibangun di antara reruntuhan sisa-sisa kejayaan Sunda Kelapa, para tetua adat dan perwakilan rakyat yang tersisa memohon kepada Ratu Gayatri untuk memimpin mereka secara resmi, untuk membangun kembali Kerajaan Sunda Agung dari puing-puingnya. Tawaran itu menggoda. Angin, dengan mahkota sederhana yang ia temukan di reruntuhan istana leluhurnya, merasakan tarikan tanggung jawab itu. Namun, ia juga melihat keraguan di mata teman-temannya.

"Aku... aku tidak yakin apakah aku siap untuk ini," ujar Angin suatu malam, ketika mereka berempat berkumpul di tepi pantai, memandang bulan purnama yang menggantung di atas lautan yang tenang. "Istana, politik, aturan... setelah semua yang kita lalui, rasanya seperti kembali ke sangkar, meskipun sangkar emas."

Api mengangguk setuju. "Kita adalah pejuang, bukan bangsawan penghias ruangan sidang," katanya, matanya menatap kobaran api unggun kecil yang mereka buat. "Masih banyak ketidakadilan di luar sana. VOC mungkin telah kehilangan salah satu taringnya, tapi tubuh ularnya masih melilit tanah ini."

Tanah, yang selalu membumi, menambahkan, "Kekuatan kita ini... rasanya lebih cocok digunakan untuk melindungi mereka yang tak bisa melindungi diri sendiri, di mana pun mereka berada. Bukan hanya di satu wilayah."

Tirta, yang kini auranya semakin menyatu dengan laut, memandang ke arah samudra yang gelap. "Keseimbangan itu rapuh. Ancaman tak pernah benar-benar lenyap, hanya berubah bentuk."

Akhirnya, setelah perenungan panjang, mereka mengambil keputusan. Ratu Gayatri akan tetap menjadi simbol harapan dan persatuan bagi rakyatnya, namun ia dan ketiga Pendharaka lainnya tidak akan terikat pada satu tempat atau satu struktur kekuasaan formal. Mereka memilih jalan yang berbeda. "Kita akan menjadi pejuang keliling," ujar Angin pada para tetua keesokan harinya. "Pelindung rakyat Pasundan, di mana pun ancaman muncul. Hati kami tetap bersama kalian, tapi kaki kami harus melangkah ke tempat di mana kami paling dibutuhkan."

Keputusan itu diterima dengan campuran haru dan pengertian. Rakyat tahu, keempat pahlawan mereka memiliki takdir yang lebih besar.

Jauh di selatan, di sebuah gua karang tersembunyi yang hanya bisa dijangkau saat air laut surut purnama, di mana ombak Samudra Hindia menghantam dengan kekuatan purba, sesosok wanita dengan kecantikan yang tak duniawi dan aura mistis yang pekat berdiri di hadapan sebuah altar batu kuno. Rambutnya yang hitam panjang tergerai bagai jubah malam, matanya sehijau kedalaman laut, dan gaun sutra berwarna hijau lautnya berkilauan diterpa cahaya remang dari lumut fosfor yang menempel di dinding gua. Dialah Ratu Siluman Kidul, penguasa gaib Laut Selatan, Nyai Roro Kidul dalam manifestasinya yang lebih kelam dan penuh teka-teki.

Di atas altar itu, tergeletak sebuah kitab kuno bersampul kulit dengan ukiran aksara Sunda kuno yang rumit -- Pustaka Astagina. Kitab yang disembunyikan Ratu Sekar di kolam keramat Istana Sunda Agung, yang kemudian diambil oleh sosok misterius setelah pembantaian. Entah bagaimana caranya, kitab itu kini berada di tangan Sang Ratu Laut Selatan.

Ia menyentuh sampul kitab itu dengan jemarinya yang lentik namun memancarkan kekuatan dingin. Sebuah senyum tipis, penuh misteri dan firasat buruk, terukir di bibirnya yang merah. "Empat anak manusia telah menjadi pahlawan hari ini..." bisiknya, suaranya menggema di dalam gua, menyatu dengan deru ombak di luar. "...mereka telah mengalahkan bayangan dari seberang lautan." Matanya berkilat. "Tapi siapa yang akan menghentikanku besok?"

Pustaka Astagina di tangannya seolah berdenyut, memancarkan cahaya redup, seolah merespons kata-kata Sang Ratu. Sebuah era baru yang lebih gelap, di mana ancaman bukan lagi datang dari keserakahan manusia semata, melainkan dari kekuatan mistis kuno yang terbangun, baru saja mengintai di cakrawala.

Beberapa waktu kemudian, di sebuah pantai sepi yang jauh dari hiruk pikuk Sunda Kelapa, Tirta berdiri sendirian memandang matahari terbenam. Laut di hadapannya tenang, ombaknya berirama lembut. Sejak transformasinya, ia merasakan kedamaian yang aneh setiap kali berada di dekat laut, seolah ia telah benar-benar pulang. Namun, kehilangan ibunya masih menyisakan luka tipis di hatinya.

Saat itulah, di tengah riak-riak air keemasan yang diterpa cahaya senja, ia melihatnya. Sesosok bayangan wanita, transparan namun begitu nyata, berdiri di atas permukaan air, tersenyum lembut padanya. Ibunya. Tak ada kata-kata, hanya senyuman penuh kasih dan keikhlasan. Seolah ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia bangga pada putranya, dan bahwa ia telah menemukan kedamaiannya bersama laut.

Air mata mengalir di pipi Tirta, namun kali ini bukan air mata duka, melainkan air mata kelegaan dan penerimaan. Ia membalas senyuman ibunya. Bayangan itu perlahan memudar, menyatu kembali dengan laut, meninggalkan Tirta dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu, ibunya akan selalu menjadi bagian dari dirinya, seperti halnya laut itu sendiri.

Di atas sebuah bukit yang menghadap ke tanah Pasundan yang terhampar luas, Tanah, Api, Ratu Gayatri, dan Tirta memandang matahari terbit yang baru. Mereka telah memilih jalan mereka sebagai pejuang keliling, pelindung tanpa mahkota resmi, tanpa istana. Perjalanan mereka masih panjang, tantangan baru pasti akan datang, terutama dengan Pustaka Astagina yang kini berada di tangan yang salah.

Namun, mereka tidak takut. Bersama-sama, dengan kekuatan empat unsur yang menyatu dalam diri mereka dan ikatan persahabatan yang telah teruji oleh api dan darah, mereka siap menghadapi apa pun yang menghadang. Mereka adalah Pendharaka, para penjaga yang bangkit dari rakyat biasa, dan kisah mereka baru saja dimulai. Langit fajar di hadapan mereka menjanjikan petualangan baru, pertempuran baru, dan harapan baru bagi tanah yang mereka cintai.

-- AKHIR dari Bagian 1 --

-- BERSAMBUNG ke Prolog Bagian 2 --

_______

Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori" 

https://medium.com/@labhistori

https://www.wattpad.com/user/labhistori

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun