Bab 24: Wahyu di Laut Jawa
Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, Bab 21, Bab 22, dan Bab 23.
Perjalanan kembali ke Cirebon terasa sangat berbeda. Keheningan yang menyelimuti perahu lambo itu bukan lagi keheningan antisipasi, melainkan keheningan yang berat dan penuh perenungan. Daeng Rahmat dan para awaknya yang tadinya ramah dan penuh canda kini bergerak dengan hati-hati di sekitar keempat pahlawan itu. Mereka tidak lagi melihat para penumpangnya sebagai saudagar kaya yang nekat, melainkan sebagai sesuatu yang lain---sesuatu yang sakti dan menakutkan. Mereka menyajikan makanan dengan hormat, menundukkan kepala, dan berbicara dalam bisikan bahasa Mandar, mata mereka selalu melirik dengan campuran rasa takut dan kagum.
Para Pendharaka sendiri larut dalam pikiran masing-masing. Api duduk bersandar di tiang, amarahnya yang biasanya membara kini padam, digantikan oleh frustrasi yang dingin. Kekuatannya, yang mampu meluluhlantakkan benteng, ternyata tak lebih dari uap panas di hadapan musuh baru ini. Tanah berdiri di haluan, tangannya mencengkeram pagar kayu dengan erat, tatapannya kosong menembus cakrawala. Pikirannya memutar ulang kegagalan serangannya, mencoba memahami bagaimana sebuah kapal bisa menentang kekuatan bumi itu sendiri.
Gayatri, sang Ratu Tanpa Mahkota, merasakan beban tanggung jawab yang paling berat. Strateginya telah membuat mereka bertemu musuh, tetapi juga nyaris menghancurkan mereka. Ia telah meremehkan lawannya, dan dalam perang, kesalahan seperti itu berakibat fatal. Ia menatap Tirta, yang kembali duduk di buritan, tangannya berada di air, seolah mencari jawaban dalam bahasa arus yang sunyi. Dari mereka berempat, hanya kekuatan Tirta yang terbukti efektif, dan ironisnya, dialah yang paling terasing dari mereka semua.
Saat matahari mulai condong ke barat, salah satu awak kapal di tiang pengawas berteriak, suaranya tegang. "Ada sesuatu di air! Di sebelah kanan!"
Semua orang langsung waspada, mengira kapal hitam itu kembali. Tapi yang mereka lihat bukanlah kapal. Mengapung di antara ombak kecil, sekitar seratus meter jauhnya, adalah sesosok tubuh manusia, wajahnya menghadap ke bawah, pakaiannya yang hitam legam membuatnya nyaris tak terlihat di atas permukaan air yang gelap.
"Salah satu dari mereka," desis Api. "Dia pasti jatuh saat kapal itu terhisap pusaran air."
"Angkat dia ke atas," perintah Gayatri pada Daeng Rahmat, yang tampak ragu. "Kita perlu tahu siapa yang kita lawan."
Dengan enggan, para awak kapal menurunkan perahu kecil dan mendayung ke arah mayat itu. Beberapa menit kemudian, jenazah itu sudah terbaring di atas geladak. Suasana menjadi semakin mencekam. Ia adalah seorang pria muda, mungkin belum genap dua puluh lima tahun. Wajahnya pucat pasi, bukan pucat mayat biasa, tetapi pucat seperti orang yang jarang sekali melihat matahari. Pakaiannya terbuat dari bahan aneh yang terasa licin dan kedap air, ditenun dengan sangat rapat. Tidak ada tanda pengenal, tidak ada senjata, selain sebuah belati kecil yang terselip di pinggangnya. Dia adalah seorang prajurit, seorang pelaut, tetapi bukan dari pasukan mana pun yang pernah mereka kenal.
Saat Tanah membalikkan tubuh itu dengan hati-hati, sebuah benda kecil jatuh dari balik lehernya dengan bunyi klik pelan di atas papan kayu.