Bab 23: Pertemuan Pertama dengan Alap-Alap
Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, Bab 21, dan Bab 22.
Strategi mereka sederhana sekaligus nekat. Berdiam di Cirebon hanya akan membuat jejak menjadi dingin. Jika Laksamana Alap-Alap adalah seekor burung pemangsa, maka mereka harus memberinya umpan yang menggiurkan untuk dipatuk.
Dengan sisa harta yang mereka miliki, Gayatri menyewa sebuah perahu lambo---sebuah kapal dagang berukuran sedang yang cukup kokoh, dengan dua tiang layar utama---beserta awaknya yang berjumlah enam orang. Ia tidak memberitahu sang nakhoda, seorang pelaut tua dari Mandar bernama Daeng Rahmat, tentang sifat asli misi mereka. Ia hanya mengatakan bahwa mereka adalah saudagar yang membawa muatan berharga---beberapa peti yang sengaja mereka isi dengan logam tak berguna untuk menambah bobot---dan bersedia membayar tiga kali lipat harga sewa untuk pelayaran singkat di jalur yang terkenal berbahaya. Daeng Rahmat, yang melihat kilau perak dan nyali di mata Gayatri, setuju tanpa banyak bertanya.
Maka, di bawah langit pagi yang cerah, mereka pun berlayar ke arah timur, menuju perairan terbuka Laut Jawa. Udara terasa panas, dan matahari memantul dari permukaan laut yang biru kehijauan dengan silaunya yang menusuk mata. Hanya ada suara decit tiang-tiang kayu, debur ombak yang memecah haluan, dan teriakan sesekali dari burung camar. Kehampaan samudra yang luas terasa megah sekaligus mencekam.
Api tampak gelisah, mondar-mandir di geladak seperti macan dalam kurungan, tangannya sesekali terkepal seolah tak sabar untuk melampiaskan energi. Tanah berdiri di dekat tiang utama, diam dan waspada, matanya menyapu cakrawala, menjadi pilar ketenangan bagi awak kapal yang mulai gugup. Gayatri berdiri di samping Daeng Rahmat, mendiskusikan arah angin dan peta laut dengan otoritas yang membuat pelaut veteran itu menaruh hormat.
Tirta, seperti biasa, memisahkan diri. Ia duduk di buritan kapal, salah satu tangannya terjulur ke bawah, membelai permukaan air yang berlalu. Matanya terpejam. Ia bukan lagi sekadar penumpang di atas kapal; ia adalah bagian dari lautan itu sendiri, indranya menyebar bersama arus, menjadi radar hidup bagi mereka.
Menjelang tengah hari, saat matahari berada tepat di puncak kepala, Tirta tiba-tiba membuka matanya. Tangan yang berada di air itu menegang. "Dia datang," katanya, suaranya nyaris tak terdengar di antara desau angin, namun cukup untuk membuat ketiga temannya langsung waspada.
"Dari mana?" tanya Gayatri cepat.
"Selatan," jawab Tirta, menunjuk ke arah di mana seharusnya tidak ada apa-apa selain lautan kosong. "Cepat sekali."
Beberapa menit kemudian, yang lain pun melihatnya. Sebuah titik hitam di cakrawala. Titik itu tumbuh dengan kecepatan yang mustahil. Itu bukan kapal layar yang didorong angin. Itu adalah sesuatu yang lain.