Ia melesat maju. Kecepatannya tidak manusiawi. Tanah menghentakkan kaki untuk membuatnya tersandung, tetapi Alap-Alap melompat ringan, menghindari gelombang getaran itu. Ia muncul di hadapan Api. Api mencoba menyerangnya dengan pukulan api jarak dekat, tetapi sang Laksamana menari mengelilinginya, setiap gerakannya adalah sebuah elakan yang sempurna. Dengan sebuah gerakan memutar, ia menggunakan gagang kerisnya untuk menghantam ulu hati Tanah yang mencoba melindunginya dari belakang.
BLUK!
Tanah terbatuk, udara terdorong keluar dari paru-parunya. Ia terhuyung mundur, untuk pertama kalinya pertahanannya berhasil ditembus.
Melihat celah itu, Alap-Alap berbalik ke arah Api. Sebelum Api bisa bereaksi, ia menyabetkan tangannya. Bukan dengan bilah kerisnya, melainkan dengan tangan kosong. Gerakannya begitu cepat hingga Api hanya bisa melihat sebuah bayangan sebelum sebuah pukulan tajam dan tepat menghantam pergelangan tangannya, membuatnya menjatuhkan konsentrasi apinya. Rasa sakit yang tajam menjalar di lengannya. Ia telah dilumpuhkan, dikalahkan dalam sekejap mata.
Dari atas perahu mereka yang tak berdaya, kabut hijau itu sedikit menipis, memberi Gayatri dan Tirta pemandangan yang mengerikan. Mereka melihat Tanah yang sedang berjuang untuk bangkit dan Api yang berdiri tertegun, satu tangannya terkulai lemas, ditaklukkan oleh sang Laksamana yang kini berdiri di antara mereka, tampak tak tersentuh.
Melihat teman-temannya dalam bahaya maut, sesuatu di dalam diri Tirta pecah. Rasa tenang dan keterasingannya yang dingin lenyap, digantikan oleh gelombang amarah yang panas dan primordial. Ia meraung, bukan dengan suara manusia, tetapi dengan suara lautan itu sendiri.
Air di sekeliling mereka berhenti bergejolak. Seluruh "Kuburan Kapal" itu menjadi hening mencekam. Kemudian, air itu mulai mendidih.
-- BERSAMBUNG ke Bab 28 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori