Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 22

25 Juni 2025   14:33 Diperbarui: 27 Juni 2025   08:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 22: Jejak di Pelabuhan Tua

Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, dan Bab 21.

Jika Kampung Junti adalah duka yang sunyi, maka Pelabuhan Cirebon adalah sebuah demam yang riuh. Setelah dua hari perjalanan menyusuri garis pantai, keempat Pendharaka tiba di sebuah kota yang hidup dan bernapas dengan ritme perdagangan dan politik. Udara di sini terasa seribu kali lebih padat, sebuah ramuan pekat dari aroma garam, terasi udang yang tajam khas Cirebon, wangi manis dari karung-karung cengkeh, dan bau mesiu yang samar dari benteng Kompeni yang berdiri angkuh di muara sungai.

Pemandangannya adalah sebuah kekacauan yang teratur. Perahu-perahu pinisi dari Bugis dengan layarnya yang megah berlabuh di samping kapal-kapal jung Cina yang dicat merah terang, serta kapal dhow Arab yang ramping dan elegan. Di antara mereka semua, kapal-kapal perang VOC yang besar dan gelap tampak seperti serigala di antara domba, meriam-meriamnya yang hitam menganga mengancam dari balik lubang-lubang di lambungnya.

Di darat, hiruk pikuk itu semakin menjadi. Kuli-kuli angkut bertelanjang dada dan berkulit legam berteriak-teriak dalam campuran bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu sambil memikul karung-karung berat. Di sudut lain, para pedagang Cina dengan topi caping dan rambut berkuncir panjang tawar-menawar sengit dengan saudagar-saudagar Gujarat yang mengenakan serban. Dari kejauhan, mereka bisa melihat gerbang candi bentar dari Keraton Kasepuhan, sebuah simbol kekuasaan lokal yang berusaha bertahan di tengah arus asing yang deras.

"Kita akan menjadi santapan empuk jika hanya berdiri di sini," kata Gayatri, matanya dengan cepat memindai kerumunan, menganalisis ancaman dan peluang. "Kita harus membaur, mencari informasi tanpa menarik perhatian."

Mereka berkumpul di sebuah gang sempit di belakang sebuah gudang. "Kita berpencar," lanjut Gayatri, suaranya pelan dan tegas. "Tanah, kau ikut denganku. Kita akan menyamar sebagai bangsawan kecil dari pedalaman Priangan, hendak mencari mitra dagang. Penampilan kita akan membuka pintu ke tempat-tempat yang lebih terhormat. Api, Tirta, kalian urus bagian yang lebih kotor. Dermaga, kedai tuak, tempat para pelaut dan tentara bayaran berkumpul. Cari tahu apa pun yang mereka bicarakan tentang kapal yang hilang atau bajak laut yang aneh. Hati-hati. Jangan berkelahi kecuali terpaksa."

Api menyeringai tipis. "Itu bagian yang paling sulit."

"Tirta," kata Gayatri, menoleh pada pemuda itu. "Tetaplah bersama Api. Kehadiranmu saja sudah cukup untuk membuat orang berpikir dua kali sebelum mencari gara-gara."

Tirta hanya mengangguk, matanya menatap ke arah laut, seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa mereka dengar.

Mereka menetapkan titik temu di dekat sebuah vihara tua di pecinan saat senja. Kemudian, mereka pun berpisah.

-----

Gayatri dan Tanah bertransformasi dengan mudah. Dengan postur tegap dan pembawaan tenang, Tanah tampak seperti seorang ningrat yang bijaksana. Sementara Gayatri, dengan sedikit merapikan pakaiannya dan mengubah cara berjalannya menjadi lebih anggun, langsung memancarkan aura kebangsawanan yang tak terbantahkan.

Mereka berjalan ke arah sebuah rumah dagang besar milik seorang saudagar Tionghoa bernama Tan Boen An, yang dikenal memiliki jaringan informasi terluas di pelabuhan. Mereka tidak langsung bertanya. Sebaliknya, Gayatri dengan lihai memulai percakapan tentang harga pala yang melonjak, mengeluh tentang "risiko perjalanan laut" yang membuat para pedagang di pedalaman cemas.

Tan Boen An, seorang pria paruh baya yang matanya tajam dan selalu berhitung, menatap mereka dengan saksama. "Nona dan Tuan benar," katanya dalam bahasa Melayu pasar yang fasih, sambil menyajikan teh melati. "Laut sedang tidak ramah. Bukan hanya karena badai atau perompak Bugis yang biasa. Ada... sesuatu yang baru."

"Sesuatu yang baru?" tanya Tanah, nadanya datar, mengundang kepercayaan.

Saudagar itu mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya merendah menjadi bisikan. "Beberapa rekan saya kehilangan kapal terbaik mereka. Kapal-kapal besar, bukan perahu nelayan. Hilang begitu saja di laut yang tenang. VOC mengira ini ulah perompak baru yang sangat lihai. Mereka menyebutnya Laksamana Alap-Alap."

Jantung Gayatri berdebar sedikit lebih cepat. Mereka di jalur yang benar. "Alap-Alap? Nama yang aneh untuk seorang bajak laut."

"Karena dia berburu seperti burung alap-alap," bisik Tan Boen An. "Menukik dari langit yang cerah, menyambar mangsanya, lalu lenyap tak berbekas. Tidak ada saksi mata, tidak ada permintaan tebusan. Hanya... kehampaan. Orang-orang mulai takut berlayar. Asuransi kapal naik tiga kali lipat. Ini buruk untuk bisnis." Ia berhenti, lalu menambahkan dengan nada yang lebih pelan, "Beberapa pelaut yang percaya takhayul bilang dia bukan manusia. Mereka bilang dia adalah hantu laut yang dikirim untuk menghukum keserakahan manusia."

-----

Sementara itu, di sisi lain pelabuhan, suasananya sangat berbeda. Api dan Tirta memasuki sebuah kedai tuak yang pengap dan gaduh. Bau tuak aren yang asam, keringat, dan ikan asin memenuhi udara. Dindingnya menghitam karena jelaga, dan lantainya lengket. Di sinilah para pelaut dari berbagai penjuru Nusantara melepas lelah dan uang mereka.

Api, dengan pakaian pengelana yang sederhana, dan Tirta, dengan kehadirannya yang dingin, segera menarik perhatian. Api mengabaikan tatapan-tatapan itu dan langsung menuju meja di mana sekelompok pelaut berwajah paling sangar---kemungkinan besar orang-orang Makassar---sedang berjudi. Ia meletakkan beberapa keping koin perak di meja.

"Tuak untuk semua," katanya, suaranya cukup keras untuk didengar. "Aku dengar pelaut Makassar adalah yang paling pemberani di tujuh samudra. Tapi sepertinya, bahkan kalian pun sekarang lebih suka berjudi di darat daripada menghadapi ombak."

Itu adalah umpan yang sempurna. Seorang pelaut bertubuh besar dengan satu mata buta tertawa mengejek. "Gadis kecil, kau tidak tahu apa-apa. Kami tidak takut ombak. Ombak adalah kawan kami."

"Oh ya?" balas Api, duduk di hadapan mereka. "Lalu kenapa dermaga begitu sepi? Aku dengar ada hantu baru di lautan yang membuat para pemberani pun kencing di celana."

Kelompok itu terdiam. Tawa mereka lenyap. Si mata satu menatap Api dengan tajam. "Jaga mulutmu. Jangan bicara tentang hal yang tidak kau mengerti."

"Kalau begitu buat aku mengerti," tantang Api.

Si mata satu melirik ke sekeliling kedai sebelum mencondongkan tubuhnya. "Namanya Alap-Alap," geramnya pelan. "Dia bukan bajak laut biasa. Kami pernah melihat kapalnya dari kejauhan. Hitam legam, tanpa layar, tapi melaju lebih cepat dari kapal kami yang didorong angin kencang. Dia muncul dari kabut di siang bolong, dan lenyap begitu saja. Kapal yang jadi sasarannya... hilang. Bukan dirampok, Nona. Hilang. Ditelan laut."

Selama percakapan itu, Tirta hanya berdiri diam di belakang Api. Ia tidak berbicara, hanya menatap si mata satu. Pelaut pemberani yang pernah menghadapi badai dan perompak itu merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata pemuda pendiam itu terasa lebih dingin dan lebih dalam dari lautan di malam hari. Tirta bisa merasakan jejak energi itu---energi dingin yang sama yang ia rasakan di Kampung Junti---melekat samar pada aura si pelaut, seperti sisa-sisa trauma spiritual. Pria ini pernah berada cukup dekat dengan sumber kekuatan itu untuk disentuhnya.

-----

Saat senja mewarnai langit Cirebon dengan warna oranye dan ungu, keempatnya bertemu kembali di halaman Vihara Dewi Welas Asih. Aroma hio yang menenangkan menjadi kontras dengan informasi meresahkan yang mereka kumpulkan.

Mereka berbagi cerita mereka dengan bisikan.

"Namanya Laksamana Alap-Alap," lapor Gayatri. "Dunia dagang mengenalnya. Dia adalah ancaman baru yang misterius."

"Para pelaut menyebutnya hantu laut," tambah Api. "Kapalnya bisa muncul dan menghilang sesuka hati."

Lalu Tirta angkat bicara, dan kata-katanya memberikan bobot pada semua rumor itu. "Energi yang kurasakan pada pelaut itu sama persis dengan yang ada di Kampung Junti. Rasa takut yang mengelilingi nama Alap-Alap... itu bukan sekadar takhayul. Itu nyata. Kekuatan itu ada bersamanya."

Mereka terdiam, memproses implikasinya. Musuh mereka kini punya nama. Seorang laksamana bajak laut yang tampaknya mengendalikan kekuatan gaib untuk menelan kapal-kapal di lautan yang tenang. Kisah Karta tentang "kapal hantu" kini sangat masuk akal.

Tanah menatap cakrawala, di mana siluet kapal-kapal tampak hitam di atas latar belakang langit senja. "Jadi, ini bukan lagi tentang mencari tahu apa yang terjadi," katanya pelan. "Ini tentang memburu seorang Laksamana."

Gayatri mengangguk, matanya menyiratkan keteguhan baja. "Kita harus menemukannya sebelum lebih banyak korban berjatuhan. Kita harus mencari jejak kapalnya."

Pertanyaan yang menggantung di udara adalah: bagaimana cara menemukan hantu di tengah samudra yang luas?

-- BERSAMBUNG ke Bab 23 --

_______

Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori" 

https://medium.com/@labhistori

https://www.wattpad.com/user/labhistori

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun