-----
Gayatri dan Tanah bertransformasi dengan mudah. Dengan postur tegap dan pembawaan tenang, Tanah tampak seperti seorang ningrat yang bijaksana. Sementara Gayatri, dengan sedikit merapikan pakaiannya dan mengubah cara berjalannya menjadi lebih anggun, langsung memancarkan aura kebangsawanan yang tak terbantahkan.
Mereka berjalan ke arah sebuah rumah dagang besar milik seorang saudagar Tionghoa bernama Tan Boen An, yang dikenal memiliki jaringan informasi terluas di pelabuhan. Mereka tidak langsung bertanya. Sebaliknya, Gayatri dengan lihai memulai percakapan tentang harga pala yang melonjak, mengeluh tentang "risiko perjalanan laut" yang membuat para pedagang di pedalaman cemas.
Tan Boen An, seorang pria paruh baya yang matanya tajam dan selalu berhitung, menatap mereka dengan saksama. "Nona dan Tuan benar," katanya dalam bahasa Melayu pasar yang fasih, sambil menyajikan teh melati. "Laut sedang tidak ramah. Bukan hanya karena badai atau perompak Bugis yang biasa. Ada... sesuatu yang baru."
"Sesuatu yang baru?" tanya Tanah, nadanya datar, mengundang kepercayaan.
Saudagar itu mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya merendah menjadi bisikan. "Beberapa rekan saya kehilangan kapal terbaik mereka. Kapal-kapal besar, bukan perahu nelayan. Hilang begitu saja di laut yang tenang. VOC mengira ini ulah perompak baru yang sangat lihai. Mereka menyebutnya Laksamana Alap-Alap."
Jantung Gayatri berdebar sedikit lebih cepat. Mereka di jalur yang benar. "Alap-Alap? Nama yang aneh untuk seorang bajak laut."
"Karena dia berburu seperti burung alap-alap," bisik Tan Boen An. "Menukik dari langit yang cerah, menyambar mangsanya, lalu lenyap tak berbekas. Tidak ada saksi mata, tidak ada permintaan tebusan. Hanya... kehampaan. Orang-orang mulai takut berlayar. Asuransi kapal naik tiga kali lipat. Ini buruk untuk bisnis." Ia berhenti, lalu menambahkan dengan nada yang lebih pelan, "Beberapa pelaut yang percaya takhayul bilang dia bukan manusia. Mereka bilang dia adalah hantu laut yang dikirim untuk menghukum keserakahan manusia."
-----
Sementara itu, di sisi lain pelabuhan, suasananya sangat berbeda. Api dan Tirta memasuki sebuah kedai tuak yang pengap dan gaduh. Bau tuak aren yang asam, keringat, dan ikan asin memenuhi udara. Dindingnya menghitam karena jelaga, dan lantainya lengket. Di sinilah para pelaut dari berbagai penjuru Nusantara melepas lelah dan uang mereka.
Api, dengan pakaian pengelana yang sederhana, dan Tirta, dengan kehadirannya yang dingin, segera menarik perhatian. Api mengabaikan tatapan-tatapan itu dan langsung menuju meja di mana sekelompok pelaut berwajah paling sangar---kemungkinan besar orang-orang Makassar---sedang berjudi. Ia meletakkan beberapa keping koin perak di meja.