HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan RBg (Reglement Buitengewesten)
HIR berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan RBg berlaku di luar Jawa dan Madura. Kedua reglemen ini merupakan warisan kolonial Belanda yang hingga kini masih digunakan, terutama dalam aspek hukum acara perdata.
Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering)
Ini adalah reglemen hukum acara perdata untuk golongan Eropa pada masa kolonial. Walaupun pengadilan kolonial telah lama dihapus, sejumlah ketentuan dalam Rv masih dijadikan rujukan dalam praktik peradilan modern.
BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK (Wetboek van Koophandel)
Keduanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang peninggalan Belanda. Beberapa ketentuannya, terutama mengenai pembuktian dan kepailitan, masih digunakan sebagai rujukan hukum acara.
Undang-Undang Lain
Misalnya, UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang banding, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Semua undang-undang ini menjadi bagian dari sumber hukum acara peradilan agama.
Instruksi Presiden dan Peraturan Mahkamah Agung
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menjadi rujukan penting, sementara Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) berfungsi sebagai pedoman teknis dalam praktik peradilan.
Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi yang konsisten digunakan dapat menjadi rujukan hakim dalam memutus perkara serupa. Meskipun Indonesia tidak menganut asas binding precedent, yurisprudensi tetap berperan penting dalam memberikan kepastian hukum.
Kitab-Kitab Fikih
Sebelum adanya undang-undang peradilan agama, hakim-hakim agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai rujukan hukum acara. Penulis menyebut kitab-kitab seperti Al-Bajuri, Fathul Mu'in, Tuhfah, Mughni al-Muhtaj, hingga Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah sebagai sumber rujukan yang masih relevan hingga kini.
d. Relevansi Sumber-Sumber Hukum
Yang menarik dari pembahasan ini adalah penekanan penulis pada dualitas sumber hukum acara peradilan agama. Di satu sisi, ia bersandar pada hukum positif Indonesia yang bersifat formal dan legalistik. Di sisi lain, ia tetap menjadikan hukum Islam klasik sebagai pedoman moral dan normatif. Perpaduan ini menjadikan hukum acara peradilan agama tidak hanya sah secara legal, tetapi juga sah secara syar'i.
Hal ini menunjukkan bahwa peradilan agama di Indonesia memiliki identitas ganda: sebagai bagian dari sistem hukum nasional sekaligus sebagai cerminan hukum Islam. Identitas ganda ini justru memperkaya dan memperkuat posisinya, karena mampu menjembatani antara kebutuhan negara modern dengan nilai-nilai keagamaan umat Islam.
3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama