Dengan demikian, asas-asas hukum acara peradilan agama menjadi semacam "kompas moral" bagi para hakim dan praktisi hukum. Mereka bukan hanya menjalankan aturan, tetapi juga menginternalisasi nilai keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan.
4. Unsur-Unsur dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Setelah menguraikan asas-asas fundamental, penulis masuk ke bagian yang lebih konkret, yaitu anasir atau unsur-unsur hukum acara peradilan agama. Bagian ini berfungsi untuk menjelaskan "komponen-komponen pokok" yang membuat proses beracara di pengadilan agama bisa berjalan. Tanpa memahami anasir ini, hukum acara hanya akan menjadi teori tanpa makna praktis.
Penulis membagi pembahasan unsur-unsur hukum acara ke dalam beberapa elemen penting: perkara, para pihak, objek sengketa, aparat peradilan, dan simbol-simbol pengadilan.
a. Perkara
Perkara adalah inti dari hukum acara. Tanpa adanya perkara, hukum acara tidak akan pernah berfungsi, karena hukum acara pada dasarnya adalah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa hukum. Dalam konteks peradilan agama, perkara-perkara yang ditangani berkaitan erat dengan bidang hukum keluarga dan perdata Islam, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah.
Perkara di pengadilan agama biasanya muncul dari klaim salah satu pihak yang merasa haknya dilanggar. Misalnya, seorang istri mengajukan gugatan cerai karena merasa ditelantarkan, seorang anak menggugat hak waris yang tidak dibagi secara adil, atau seorang nasabah menggugat sengketa akad pembiayaan syariah. Setiap perkara ini memerlukan tata cara yang jelas sejak pendaftaran hingga putusan.
b. Para Pihak
Dalam hukum acara, dikenal adanya penggugat (pemohon) dan tergugat (termohon). Mereka adalah subjek hukum yang berhadapan di pengadilan. Hukum acara peradilan agama menekankan asas bahwa para pihak harus diperlakukan sama di depan hukum.
Selain penggugat dan tergugat, ada juga pihak ketiga yang berkepentingan. Misalnya, dalam perkara waris, selain ahli waris utama, bisa saja ada pihak lain yang merasa berkepentingan dengan harta peninggalan. Dalam kasus seperti ini, hukum acara memungkinkan adanya intervensi pihak ketiga untuk menjaga keadilan.
Kedudukan para pihak diatur dengan jelas. Penggugat aktif mengajukan perkara, sementara tergugat diberikan hak untuk membela diri. Hakim bertugas menengahi dan memutus berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.