Setelah membahas pengertian dan sumber hukum acara peradilan agama, penulis masuk pada bagian yang sangat fundamental, yaitu asas-asas hukum acara peradilan agama. Bagian ini penting karena asas adalah "roh" dari seluruh sistem hukum acara. Aturan hukum acara boleh saja berbeda-beda sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, namun asas yang mendasarinya relatif tetap dan berfungsi sebagai pedoman dasar bagi hakim maupun para pihak yang berperkara.
Penulis menjelaskan bahwa kata asas berarti dasar, alas, atau pedoman yang menjadi tumpuan berpikir. Dalam konteks hukum acara peradilan agama, asas berarti kebenaran pokok yang menjadi fondasi dalam proses beracara. Tanpa asas, hukum acara hanya akan menjadi kumpulan pasal-pasal prosedural yang kaku tanpa arah filosofis.
a. Asas-Asas Umum
Pertama-tama, penulis menegaskan bahwa hukum acara peradilan agama tidak bisa dipisahkan dari asas hukum acara perdata pada umumnya. Oleh karena itu, asas-asas yang berlaku dalam hukum acara perdata juga berlaku di peradilan agama, ditambah dengan beberapa asas khusus yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 beserta amandemennya.
Beberapa asas umum yang disorot antara lain:
Peradilan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas ini tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009. Setiap putusan pengadilan agama selalu diawali dengan kalimat "Bismillahirrahmanirrahim" dan ditutup dengan frasa "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Ini menunjukkan bahwa hukum acara peradilan agama tidak hanya bersifat legal formal, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan religius.
Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas ini sangat penting untuk memastikan keadilan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Proses persidangan yang bertele-tele dan mahal akan menghalangi masyarakat kecil untuk mencari keadilan. Oleh karena itu, hukum acara menuntut agar hakim mengedepankan efisiensi tanpa mengorbankan substansi.
Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
Semua pihak yang berperkara memiliki kedudukan yang sama di depan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi atas dasar status sosial, jabatan, kekayaan, atau gender. Hakim wajib mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem) secara seimbang.
Asas independensi hakim
Hakim dalam memutus perkara harus bebas dari intervensi pihak manapun, baik eksekutif, legislatif, maupun kekuatan sosial tertentu. Hanya dengan independensi inilah hakim dapat benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.
Asas legalitas
Semua tindakan hakim harus berdasar hukum, bukan pada selera pribadi atau tekanan eksternal. Legalitas ini mencerminkan prinsip rule of law yang menjadi dasar negara hukum.
b. Asas-Asas Khusus dalam Peradilan Agama