Penulis dengan cermat mengaitkan prinsip-prinsip Umar ini dengan praktik peradilan agama di Indonesia. Misalnya:
Persamaan kedudukan Sejalan dengan asas equality before the law dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Kehati-hatian dalam memutuskan Sejalan dengan Pasal 50 UU Nomor 48 Tahun 2009 yang mewajibkan hakim memberi pertimbangan hukum dalam setiap putusan.
Larangan suap Sejalan dengan prinsip integritas hakim yang ditegaskan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Keadilan sebagai tujuan Menjadi semangat dasar pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara keluarga, terutama perceraian dan waris, yang sering kali sarat emosi dan kepentingan.
Dengan cara ini, penulis menunjukkan bahwa hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi berakar pada prinsip-prinsip universal Islam.
g. Nilai Tambah dari Perspektif Risalah Umar
Yang menarik, penulis tidak berhenti pada aspek formal, tetapi mengajak pembaca untuk memahami dimensi normatif-transendental hukum acara. Risalah Umar menjadi pengingat bahwa hukum acara bukan sekadar mekanisme prosedural, tetapi juga sarana menegakkan nilai keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan tanggung jawab moral.
Dengan kata lain, hukum acara peradilan agama di Indonesia bukan hanya law in books, melainkan juga law in values.
7. Lampiran
Buku ini dilengkapi dengan berbagai lampiran yang sangat berguna, seperti contoh surat permohonan cerai talak, contoh putusan cerai, naskah undang-undang, peraturan pemerintah, hingga kompilasi hukum Islam. Dengan adanya lampiran ini, mahasiswa maupun praktisi hukum memiliki referensi konkret tentang dokumen yang biasa digunakan dalam praktik peradilan agama.