Prinsip ini sejalan dengan asas hukum acara modern, tetapi penekanan Umar lebih menyoroti aspek moral: seorang hakim yang condong kepada salah satu pihak telah berkhianat kepada Allah.
c. Kehati-hatian dalam Memutuskan
Umar mengingatkan bahwa putusan hakim bersifat final bagi para pihak, sehingga hakim harus berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan perkara. Ia menganjurkan hakim untuk mendengarkan semua bukti dengan teliti, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak, dan tidak terburu-buru menyimpulkan.
Prinsip ini sejalan dengan asas modern bahwa putusan harus disertai alasan hukum yang jelas. Namun, dalam tradisi Islam, ada tambahan aspek moral: seorang hakim yang salah karena tergesa-gesa akan menanggung akibatnya di hadapan Allah.
d. Larangan Suap dan Intervensi
Dalam risalahnya, Umar dengan tegas melarang hakim menerima suap, hadiah, atau pengaruh dari pihak manapun. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga independensi hakim. Bahkan, Umar sendiri pernah menolak hadiah dari seorang pejabat karena khawatir akan memengaruhi netralitasnya.
Prinsip ini sejalan dengan asas independensi hakim dalam hukum acara perdata. Namun, risalah Umar lebih menekankan aspek etika personal: integritas hakim adalah pondasi utama tegaknya keadilan.
e. Keadilan sebagai Tujuan Utama
Jika hukum acara positif Indonesia menekankan kepastian hukum, maka dalam Risalah Umar, keadilan substantif adalah tujuan utama. Umar mengingatkan bahwa hakim harus menegakkan hukum dengan adil, meskipun keadilan itu merugikan pihak yang kuat atau menguntungkan pihak yang lemah.
Dalam salah satu riwayat, Umar menegur seorang hakim karena terlihat condong memberi ruang lebih kepada orang kaya. Umar menekankan bahwa sikap itu akan mencederai rasa keadilan dan meruntuhkan wibawa peradilan.
f. Relevansi dengan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia