Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dari Buku Muncul Gagasan, dari Pejabat Keluar Alasan?

27 September 2025   07:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   16:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rak buku yang kosong lebih berisik daripada orasi politik! (Sumber: Pinterest/Has Fatzy)

"Kalau Literasi Rendah, Jangan Heran Kebijakan Salah Arah"

Buku melahirkan gagasan. Dari Machiavelli lahir teori kekuasaan, dari Adam Smith lahir teori ekonomi, dari Pramoedya lahir kesadaran bangsa. Tapi dari pejabat kita? Yang lebih sering dikenal hanyalah alasan belaka. Kenapa proyek gagal, kenapa anggaran tak terserap, kenapa rakyat harus terus bersabar. Buku membangun peradaban, alasan hanya memperpanjang penantian.

Kita jarang sekali melihat pejabat membaca. Bukan membaca teks pidato hasil ketikan staf, tapi benar-benar membuka buku. Yang lebih sering terpampang justru senyum mereka di balik setir mobil mewah, bukan senyum saat menemukan kalimat inspiratif dari sebuah bacaan. Membaca terasa kampungan, pamer kemewahan dianggap kemajuan.

Padahal, survei Perpusnas 2024 mencatat indeks kegemaran membaca kita naik dari 66,70 ke 72,44. Indeks pembangunan literasi juga ikut naik, jadi 73,52. Rakyat pelan-pelan mendekat pada buku, tapi pejabat justru makin menjauh. Rakyat rajin membaca, penguasa rajin beralasan.

Kebijakan tanpa literasi ibarat jalan tol tanpa rambu. Semua serba tergesa, semua serba tambal sulam. Hari ini teriak darurat, besok rapat mendadak, lusa program instan pun diluncurkan. Kalau membuka satu buku saja terasa berat, bagaimana mungkin mengelola kompleksitas negeri selama lima tahun?

Coba bandingkan dengan pemimpin dunia lain. Obama membagikan daftar buku favoritnya tiap tahun. Bill Gates menulis ulasan bacaan di blog pribadinya. Mereka tahu, buku bukan sekadar hiburan, tapi bahan bakar kepemimpinan. Pejabat kita? Lebih sibuk membicarakan edisi terbaru mobil sport ketimbang membuka edisi terbaru jurnal ekonomi. Harga satu kendaraan mewah itu cukup untuk membeli koleksi buku seumur hidup beberapa sekolah di pelosok negeri.

Pejabat yang akrab dengan buku akan melahirkan kebijakan yang tajam. Pejabat yang jauh dari buku hanya akan melahirkan kebijakan yang bising. Di tengah riuhnya panggung politik, literasi mestinya jadi pegangan. Sayang, yang terdengar lebih sering justru tepuk tangan untuk pencitraan, bukan tepuk tangan untuk pemikiran.

Nelson Mandela pernah berkata, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Pramoedya Ananta Toer menegaskan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Dua kutipan ini mestinya cukup jadi alarm. Tanpa literasi, pejabat hanya jadi penumpang sejarah, bukan penggerak peradaban.

Andai pejabat kita sempat membaca Why Nations Fail, mereka akan sadar bahwa institusi kuat lebih penting daripada pencitraan dangkal. Kalau membuka Leadership in Turbulent Times, mereka tahu kepemimpinan bukan soal gaya jas, melainkan keberanian menata kompas saat kapal bangsa nyaris kehilangan arah. Atau kalau melirik Talk Like TED, setidaknya pidato mereka tak lagi jadi bahan olok-olok di media sosial.

Mungkin perlu ada aturan sederhana. Satu pejabat, satu buku, satu bulan. Kepala diisi, wawasan bertambah, kebijakan lebih berisi. Sama seperti servis rutin kendaraan, pikiran pejabat pun butuh servis literasi. Kalau itu dijalankan, rapat kabinet tak lagi penuh jargon basi, melainkan penuh ide segar yang lahir dari bacaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun