Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Renungan dari Pusar

17 September 2025   23:45 Diperbarui: 17 September 2025   23:45 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah merenung sejenak tentang pusar di perut kita?  Sekilas pusar tampak sepele, kecil, bahkan tak berguna. Namun dari sanalah dulu kita terhubung dengan ibu. Dari pusar, darah, oksigen, dan nutrisi mengalir, memberi hidup pada tubuh mungil yang belum mengenal dunia.

Pusar menyimpan kisah terdalam tentang siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan siapa yang pertama kali menjadi sumber kehidupan kita, jawabnya adalah ibu.

Tanpa pusar, kita tak pernah ada. Tanpa ibu, kita tak pernah berdiri di bumi ini.

Saat lahir, tali pusar itu dipotong. Namun bekasnya tetap tertinggal di tubuh kita selamanya. Di sanalah Tuhan menitipkan tanda bahwa setiap insan berasal dari rahim seorang ibu. Tanda itu tidak bisa dihapus, tidak bisa diubah, dan tidak bisa dipalsukan.

Pusar adalah jejak pertama kehidupan. Bekas tali yang terpotong saat lahir tetap melekat di tubuh kita, menjadi tanda bahwa kita pernah sepenuhnya bergantung pada kasih seorang ibu. Pusar seperti monumen sunyi yang setiap hari menempel, meski jarang kita renungi.

Menjadi pengingat sunyi bahwa kita semua pernah bergantung sepenuhnya pada kasih sayang seorang ibu. Betapa sering kita lupa pada hal yang sederhana ini. Kita sibuk mengejar dunia, sibuk meraih gelar, harta, dan jabatan, hingga lupa bahwa hidup kita dimulai dari sebuah ikatan yang tak terlihat: ikatan pusar dengan ibu.

Sering kali manusia merasa hebat, bangga dengan prestasi dan kemandirian. Namun pusar mengingatkan: sejak awal kita tidak pernah benar-benar mandiri. Kita lahir dari keterhubungan, hidup karena pengorbanan, dan tumbuh berkat kasih.

Sebelum bisa menelan makanan dengan mulut, kita menyerap nutrisi lewat plasenta. Seluruh hidup di awal kita hanyalah tentang menerima pemberian tanpa bisa memberi apa pun kembali. Betapa besar utang kehidupan yang kita punya pada ibu.

Lahir rasa syukur dan terima kasih. Betapa tidak? Dari pusar kita tersambung dengan rahim yang hangat, tempat kita terlindungi selama sembilan bulan. Di sana kita belajar arti kasih yang tak bersyarat. Ibu tidak pernah menolak mengalirkan hidupnya demi kita. Ibu menanggung sakit, mual, lelah, bahkan risiko kematian, hanya agar kita bisa lahir dengan selamat.

Ketika tali pusar dipotong saat lahir, seakan-akan dunia berkata: "Sekarang kau harus belajar hidup mandiri." Namun meski terputus secara fisik, ikatan itu tidak pernah benar-benar hilang. Dalam jiwa, pusar tetap menjadi simbol keterhubungan. Dan rasa syukur itu seharusnya menjadi energi yang menuntun kita dalam menjalani kehidupan.

Pusar, tanda kecil di tubuh, sejatinya adalah pengingat abadi: jangan pernah lupa pada ibu, jangan pernah lupa pada kasih, jangan pernah lupa pada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun