"Mmmym...Emang fenapa? " tanyaku dengan lidah terbelit kulit ayam.
"Menurutmu kalau si kayu tadi bisa ngomong, sakit gak di ampelas ? "
"Pastinya" jawabku disela kunyahan.
"Tapi jadinya khan bagus tho? Rata, halus dan glowing seperti pipimu !" Ujar papa sambil mencubit pipiku. Aku terkekeh dengan gigi masih rapat menggigit sisa tulang.
"Amplasnya bagaimana ? Dibuang khan? Gak berguna lagi khan? " Lanjut papa. Aku mengangguk-angguk meskipun masih tidak paham arah pembicaraan papa.
"Terkadang, Yu, dalam hidup kita akan berhadapan dengan  orang-orang yang seperti ampelas tadi. Mereka hobby nya mengganggu, menyakiti dan membully. Jangan takut menghadapi mereka. Pasti rasanya sakit dan sedih, tapi anggap saja mereka ampelas yang akan membuatmu semakin cantik dan bersinar. "
Seketika kunyahanku terhenti. Tenggorokanku tercekat. Mataku penuh dengan airmata.
Aku tidak pernah menyangka papa ternyata memahami situasiku. Masalahku. Ketakutanku. Amarahku. Traumaku. Kesakitanku. Lukaku.
Ternyata, papa memperhatikan dan menganggapnya serius.
"Maafkan papa dan mama terlambat memahami situasimu selama ini !"
Papa membelai rambutku dan tangisku pecah. Tangis lega.