Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Namaku Ayu

29 Agustus 2023   10:09 Diperbarui: 29 Agustus 2023   10:12 358 3
"Markisaaa...!!!"

Suaranya melengking menembus gendang telingaku begitu dalam sampai menembus syaraf kemarahanku, yang langsung reflek beraksi.  

Aku hampir saja tak bisa bernafas saking emosinya.

Dia tahu aku tidak suka dipanggil dengan nama itu. Nama panggilannya untukku, katanya. Padahal nama asliku tidak mengandung suku kata Mar, Kis apalagi Sa.

Namaku Ayu.

Aku tidak saja marah karena ia memanggilku dengan salah satu nama buah, tapi karena terngiang-ngiang alasannya saat aku memprotes kenapa ia tidak memanggilku dengan namaku sebenarnya. Ayu.

"Karena kamu memang tidak ayu. Kamu seperti markisa. Dari luar jelek, dalamnya lebih jelek lagi !"

Aku ingat waktu pertama kali mendengarnya, seluruh tubuhku bergetar dan aku menangis sejadi-jadinya. Bukannya malah merasa bersalah, dia malahan tertawa berguling-guling.

Waktu itu umurku 6 tahun dan dia 7 tahun. Aku baru lulus TK dan dia baru mau naik Kelas 2.

Pertengkaran hari itu berakhir dengan brutal dan berdarah-darah. Aku menggigit lengannya dan dia memukul tulang keringku. Kami diamankan oleh satpam sekolah dan dibawa ke kantor kepala sekolah, sampai akhirnya dijemput orang tua masing-masing.

Mamaku beradu mulut dengan mamanya, sampai kepala sekolah yang berusaha menenangkan malah kena damprat keduanya.

Aku rasa, kalau saja papaku waktu itu tidak menyusul, bakal terjadi pertempuran yang lebih brutal dan berdarah-darah antara kedua mama yang sedang emosi dan saling menyalahkan.

Aku ingat waktu itu papa - dengan lengan baju kantor digulung sampai siku - masuk ruangan dengan santai. Papa menganggukan kepala ke arah kepala sekolah, mengedipkan mata kearahku lalu membisikkan sesuatu di telinga mama.

Tiba-tiba saja mama diam. Buru-buru menyeretku keluar ruangan sembari  berpamitan singkat dengan kepala sekolah.

Kejadiannya begitu cepat. Aku tidak sempat memperhatikan reaksi dia, mamanya maupun reaksi kepala sekolah.

Kami bertiga masuk mobil dan mama mendadak menjerit histeris lalu tersedu-sedu. Jantungku serasa mau lepas mendengarnya. Aku diterjang rasa bersalah karena sudah membuat mama begitu sedih sampai menjerit dan  menangis.

Tapi ternyata bukan itu masalahnya.

Hari ini hari ulang tahun pernikahan papa mama. Papa memberikan kejutan untuk mama. Di dalam mobil sudah ada kotak yang terbungkus kertas kado cantik  berisi tas baru yang selama ini diinginkan mama.

Mama histeris dan menangis haru, karena baru kali ini papa ingat hari ulang tahun pernikahan mereka tanpa harus diingatkan, dan untuk pertama kalinya papa memberi kejutan setelah sembilan tahun pernikahan mereka.

Mereka berpelukan bahagia, dan masalahku di sekolah tadi sama sekali dilupakan. Tidak lagi dibahas.

Aku terluka.

Terluka karena kata-kata ejekan yang memicu perkelahian tadi.

Terluka karena orangtuaku tidak menganggap serius hal yang menimpaku barusan, bertanya pun tidak. Apalagi bicara dari hati ke hati.

Sejak hari itu, diam-diam aku membenci namaku.

Kenapa sih tega-teganya orang tuaku memberiku nama Ayu? Apa mereka tidak sadar bahwa itu beban yang berat, apalagi karena penampilanku jauh dari kata ayu.

Aku berkulit coklat kehitaman, berhidung pesek dan berambut super ikal. Kombinasi mematikan di tengah masyarakat primordial yang masih mengasosiasikan kecantikan dengan kulit putih, hidung mancung dan rambut lurus.

Setiap kali aku protes dan meminta ganti nama, mama dengan sangat percaya diri meyakinkan aku bahwa aku memang ayu.

"Suatu hari nanti kamu akan paham betapa cantiknya kamu, seperti namamu. AYU !"

Setiap pagi aku bangun dan bercermin, berharap terjadi mujizat dan  kata-kata mama menjadi kenyataan. Cling...Kulitku berubah jadi putih dan glowing, hidungku jadi mancung, dan rambutku lurus berkilau.

Well, tentu saja itu tidak pernah terjadi. Aku tetap coklat, pesek dan keriting.

Papa berusaha lebih bijak menanggapi protesku.

"Kecantikan itu relatif, Yu. Kecantikan sejati terpancar dari hati dan pikiran !"

Meskipun terdengar sangat filosofis, tapi jawaban papa malah membuatku semakin yakin kalau aku memang tidak cantik secara fisik.

Itu membuatku sangat tidak percaya diri setiap kali berkenalan dan menyebutkan namaku. Aku akan mengucapkannya dengan sangat cepat dan super pelan seperti nyaris mendesis.

Aku takut ditertawakan atau diejek, walaupun selama ini belum pernah ada yang mengejek atau menertawakan namaku, kecuali dia.

Aku merasa tak layak memiliki nama Ayu. Karena aku tahu, aku memang tidak ayu. Bahkan jauh dari kata cantik. Cermin tak mungkin menipu.

Sialnya lagi, deritaku tak berhenti di hari itu. Karena aku dan dia di takdirkan selalu bersekolah di kompleks yang sama.

Ia terus memanggilku Markisa, mengingatkan betapa jeleknya diriku. Ia meneriakkan nama itu di lorong-lorong sekolah setiap kali aku lewat. Memancing emosiku.

Sebagian besar hari-hariku di sekolah dasar kuhabiskan di kantor kepala sekolah karena berkelahi dengannya. Aku dimarahi karena memulai perkelahian dan dia ditegur karena mengejekku. Kami berdua mendapat hukuman.

Mungkin karena nyaris setiap hari berkelahi, sampai satu waktu kami tidak lagi dimarahi atau dihukum karena berkelahi, malahan luka-luka kami diobati dan kami dikembalikan ke kelas masing-masing.

Sepertinya ibu kepala sekolah sudah mulai lelah dan bosan. Begitu lelahnya, sampai orang tua kami pun tidak lagi dipanggil. Apalagi para mama. Hanya membuat heboh saja.  

Kepala sekolah memilih berdamai dengan keadaan, dan masalahku tetap tak terselesaikan.

Tapi aku terlanjur dianggap Tukang berkelahi. Sudah jelek, tukang berkelahi pula. Tidak ada yang mau berteman denganku.

Aku mencoba bicara dengan papa mama, tapi mereka dengan santai menganggap itu masalah biasa. Mereka dulu waktu kecil juga suka saling mengejek.

Mereka tidak rahu rasanya ketika ia memanggilku Markisa. Penghinaan yang menusuk ulu hatiku. Apalagi ketika salah seorang guru yang saking jengkelnya menghadapi kami berdua,  keceplosan bilang di depanku, kalau aku memang lebih pantas dipanggil Markisa daripada Ayu.

Aku malas pergi sekolah. Malas ikut kerja kelompok. Nyaris tidak pernah belajar. Untungnya, disekolah kami tidak ada PR. Temanku hanya Neny. Itu pun karena kami sebangku, dan hanya dia yang mau sebangku denganku.

Kondisi tenang sesaat ketika dia lulus SD. Hanya sesaat. Karena SD, SMP dan SMA terletak di satu kompleks, kami masih sering bertemu. Walaupun tidak se-intens waktu SD. Tapi waktu setahun itu cukup bagiku untuk menenangkan diri.

Hari pertama masuk SMP,  aku demam tinggi saking stressnya memikirkan akan bertemu lagi dengannya. Walaupun kami tidak sekelas, tapi pasti akan lebih sering bertemu lagi dengannya.

Papa sengaja cuti hari itu dan mengompres kepalaku. Mama ada meeting di luar kota.

Setelah meminum obat penurun panas dan demamku reda, papa mengajakku jalan-jalan naik mobil. Kami ke tempat pembuatan furniture.

Aku pikir papa akan membelikanku meja belajar yang baru. Ternyata bukan.

Papa menunjuk meja kayu setengah jadi yang masih kasar dan sedang di ampelas oleh seorang pekerja.

"Lihat itu, Yu. Kenapa di ampelas coba ?"

"Mungkin biar halus dan rata, jadi kalau dicat jadinya cantik!" Jawabku spontan.

Papa mengangguk-angguk.

"Terus kalau sudah selesai di ampelas, ampelasnya dikemanakan ?" Tanya papa lagi.

"Hmmm....dibuang? " jawabku ragu. Tidak yakin apakah ampelas bisa dipakai ulang atau tidak.

"Exactly!"  Papa menepuk pundakku sembari tersenyum.

Aku sedikit kecewa, jauh-jauh kesini hanya untuk belajar tentang ampelas. Padahal aku masih agak demam dan pengin sekali tiduran di rumah. Aku merindukan pelukan mama dan caranya merawatku saat aku sakit.

Papa memang beda dan selalu tidak sesuai SOP umum. Penuh deviasi.

Kami pulang, karena aku mengeluh pusing. Ditengah jalan, papa mengajakku mampir di restaurant fast food favorit. Untuk mood booster, kata papa. Padahal mama sudah wanti-wanti supaya aku jangan dibelikan fast food kalau lagi sakit, nanti tambah sakit.

Sekali lagi, papa punya teorinya sendiri. Hati yang gembira adalah obat. Fast food adalah mood booster terbaik untuk hati yang gembira.

Kami pun memesan dengan rakus paket untuk lima orang. Kalau gak habis, ntar bisa dibungkus buat mama, begitu kata papa. Itu alasan saja, karena papa dan aku memang penggemar fast food kelas berat. Kami pasti bisa menghabiskannya berdua.

"Yu, kamu ingat ampelas tadi ? " tiba-tiba papa bertanya pas aku sedang sibuk menggerogoti paha ayam ketigaku.

Astaga, merusak mood saja. Masak lagi enak-enaknya menikmati ayam goreng, malah diajak ngobrolin ampelas. Aku mengangguk enggan.

"Mmmym...Emang fenapa? " tanyaku dengan lidah terbelit kulit ayam.

"Menurutmu kalau si kayu tadi bisa ngomong, sakit gak di ampelas ? "

"Pastinya" jawabku disela kunyahan.

"Tapi jadinya khan bagus tho? Rata, halus dan glowing seperti pipimu !" Ujar papa sambil mencubit pipiku. Aku terkekeh dengan gigi masih rapat menggigit sisa tulang.

"Amplasnya bagaimana ? Dibuang khan? Gak berguna lagi khan? " Lanjut papa. Aku mengangguk-angguk meskipun masih tidak paham arah pembicaraan papa.

"Terkadang, Yu, dalam hidup kita akan berhadapan dengan  orang-orang yang seperti ampelas tadi. Mereka hobby nya mengganggu, menyakiti dan membully. Jangan takut menghadapi mereka. Pasti rasanya sakit dan sedih, tapi anggap saja mereka ampelas yang akan membuatmu semakin cantik dan bersinar. "

Seketika kunyahanku terhenti. Tenggorokanku tercekat. Mataku penuh dengan airmata.

Aku tidak pernah menyangka papa ternyata memahami situasiku. Masalahku. Ketakutanku. Amarahku. Traumaku. Kesakitanku. Lukaku.

Ternyata, papa memperhatikan dan menganggapnya serius.

"Maafkan papa dan mama terlambat memahami situasimu selama ini !"

Papa membelai rambutku dan tangisku pecah. Tangis lega.

Itu kemarin.

Pagi ini, ketika aku mendengar ia meneriakkan nama terkutuk tadi, kaki kiriku bahkan belum sepenuhnya menyentuh halaman depan sekolah.

Aku menatap kearahnya. Ia bergerombol dengan teman-temannya yang tergelak-gelak dengan nada mengejek.

Sekuat tenaga kutahan emosiku yang hampir meledak.

Beberapa langkah lagi aku akan melewati mereka.

Aku gemetar. Dadaku bergemuruh. Antara takut dan marah, susah dijelaskan.

Aku mencoba mengatur nafas sembari berdoa.

Breath in. Breath out.

Terngiang nasehat papa yang singkat, padat dan jelas : "Dont feed their joy. Hold yourself. Head up. Ignore!"

Aku menegakkan tubuhku, menatap lurus ke depan dan melangkah melewati dia dan gerombolannya yang sedang riuh bergelak.

Srat...sret....srat...sret....

Mereka mendadak senyap.

Aku bahkan bisa mendengar bunyi sol sepatu baruku menggesek paving halaman depan sekolah.

Srat... sret... srat.. sret....

Aku selamat sampai di kelas.
Pfuiiih, akhirnya aku berhasil juga mengalahkan rasa takut dan amarahku.

Aku bisa membayangkan tadi wajahnya pasti bengong karena terkejut atau bahkan terpukul, karena tak menyangka aku akan merespon beda.

Aku berjalan ke arah kelasku.

Bu Nuri, wali kelasku yang baru, mempersilahkan aku memperkenalkan diri, karena aku kemarin tidak masuk waktu sesi perkenalan.

Rasa gamang menyelimutiku. Aku tak sanggup mengucapkan namaku sendiri. Aku berjalan ke depan kelas dengan kaki gemetaran. Apakah mereka akan menertawakan aku kalau aku menyebut namaku ?

Tapi aku ingat kata mama semalam :

"Ayu is a beautiful name. Bukan tanpa sebab papa mama memilihkan nama itu untukmu. Kamu memang ayu. Live up to your name, dear. You are beautiful inside-out!"

"Namaku Ayu "

Aku kaget mendengar suaraku sendiri. Keras dan jelas, tidak lagi mendesis atau merepet. Untuk pertama kalinya, sejak peristiwa yang merenggut rasa percaya diriku itu.

"Kalian boleh memanggilku Ayu, setuju atau tidak setuju !"

Tepuk tangan dan tawa geli menyambutku. Bukan tawa mengejek, seperti yang selama ini aku kuatirkan. Bu Nuri mengangguk sambil tersenyum.

"Beautiful name. Live up to your name, Ayu!" Gumamnya lembut, sembari menepuk pundakku. Menyuruhku kembali ke bangku.

Satu hari sudah terlewatkan. Satu hari yang penuh kemenangan. Kemenangan atas diriku sendiri. Atas kemarahanku. Atas ketakutanku. Atas traumaku. Atas persepsiku tentang siapa aku.

Istirahat kedua, aku tak sengaja bertabrakan dengannya.

"Sorry,  Parjo !" ujarku ringan sembari melangkah pergi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun