Aku mencoba bicara dengan papa mama, tapi mereka dengan santai menganggap itu masalah biasa. Mereka dulu waktu kecil juga suka saling mengejek.
Mereka tidak rahu rasanya ketika ia memanggilku Markisa. Penghinaan yang menusuk ulu hatiku. Apalagi ketika salah seorang guru yang saking jengkelnya menghadapi kami berdua, Â keceplosan bilang di depanku, kalau aku memang lebih pantas dipanggil Markisa daripada Ayu.
Aku malas pergi sekolah. Malas ikut kerja kelompok. Nyaris tidak pernah belajar. Untungnya, disekolah kami tidak ada PR. Temanku hanya Neny. Itu pun karena kami sebangku, dan hanya dia yang mau sebangku denganku.
Kondisi tenang sesaat ketika dia lulus SD. Hanya sesaat. Karena SD, SMP dan SMA terletak di satu kompleks, kami masih sering bertemu. Walaupun tidak se-intens waktu SD. Tapi waktu setahun itu cukup bagiku untuk menenangkan diri.
Hari pertama masuk SMP, Â aku demam tinggi saking stressnya memikirkan akan bertemu lagi dengannya. Walaupun kami tidak sekelas, tapi pasti akan lebih sering bertemu lagi dengannya.
Papa sengaja cuti hari itu dan mengompres kepalaku. Mama ada meeting di luar kota.
Setelah meminum obat penurun panas dan demamku reda, papa mengajakku jalan-jalan naik mobil. Kami ke tempat pembuatan furniture.
Aku pikir papa akan membelikanku meja belajar yang baru. Ternyata bukan.
Papa menunjuk meja kayu setengah jadi yang masih kasar dan sedang di ampelas oleh seorang pekerja.
"Lihat itu, Yu. Kenapa di ampelas coba ?"
"Mungkin biar halus dan rata, jadi kalau dicat jadinya cantik!" Jawabku spontan.