Kipas angin berputar. Mengibas-ngibas tanpa henti.
Mendinginkan ruang yang panas, menenangkan hati yang gelisah.Â
Sejak pagi buta hingga tengah malam, aku berdiri tegak di sudut ruangan, tidak mengeluh, tidak meminta balasan.Â
Aku, kipas angin, saksi bisu yang tak pernah absen.
1
"Aduh, gerah banget!" seru Bima, pemilikku, sembari membanting tubuh ke atas kasur yang penuh bantal berantakan.Â
"Untung ada kamu, kalau nggak, aku bisa mati kepanasan!"
Aku hanya berputar. Menghembuskan angin dengan setia.Â
Tiap helaan napasku adalah penyelamat bagi manusia yang tak sadar betapa bergantungnya mereka padaku.
"Klik!"
Bima memencet tombol kecepatan tiga. Balinku makin kencang, menghalau udara pengap dalam kamar sempit ini.Â
Helaian kertas di mejanya berterbangan, sementara aku tetap teguh, tidak protes, tidak meminta jeda.
Aku tak pernah istirahat.Â
Saat Bima sibuk mengerjakan tugas kuliahnya hingga dini hari, aku harus tetap berputar.Â
Saat ia tertidur dan lupa mematikanku, aku tetap berdesir pelan, menjaga keheningan.Â
Saat ia marah dan membanting pintu, aku masih setia berada di sudut, tak bergeming.
2
"Aku capek," bisik Bima suatu malam, matanya menerawang ke langit-langit. "Capek harus selalu ada buat orang lain."
Aku mengerti.
Ia, sama sepertiku.
Bima selalu menjadi tempat curhat teman-temannya.Â
Saat teman-temannya butuh bantuan, mereka menghubunginya lebih cepat daripada ambulans.Â
Saat ada tugas kelompok, ia yang bekerja paling keras, sementara yang lain sibuk dengan urusan masing-masing.Â
Ia seperti kipas angin yang tak boleh berhenti.
"Hah, hidup kok begini amat," keluhnya.
Aku berdesir lembut, seolah berkata: aku juga.
3
Hari berganti.Â
Matahari tetap menyengat.Â
Bima semakin lelah, tapi ia tetap tersenyum pada dunia.Â
Sama seperti aku, yang tetap berputar meski motor di dalam tubuhku mulai berderik.
Suatu malam, aku merasakan ada yang aneh di dalam diriku.Â
Motor kipasku mulai melemah, anginku tak lagi sekencang dulu.
"Eh, kenapa nih?" gumam Bima.Â
Ia mengerutkan dahi, mencoba memutar tombol kecepatan.Â
"Kok nggak sekencang biasanya?"
Aku ingin menjawab, aku lelah. Tapi aku hanya kipas angin, tak bisa bicara.
Bima memiringkan kepalanya. "Ah, mungkin perlu dibersihkan."
Ia membongkarku, membersihkan debu yang menempel di baling-balingku.Â
Aku tersentuh, tapi aku tahu, debu bukan satu-satunya masalah.Â
Aku butuh istirahat.Â
Tapi bolehkah aku berhenti?
Lalu aku teringat Bima. Ia juga tak pernah istirahat.
4
Beberapa hari kemudian, aku benar-benar tak bisa bergerak.
"Ah, rusak!" keluh Bima.
Ia memukul tubuhku perlahan, mencoba menyalakan tombol berulang kali.Â
Tapi aku tetap diam.
Untuk pertama kalinya, aku tak bisa menemaninya.Â
Tak bisa memberikan angin saat ia duduk merenung.Â
Tak bisa menghembuskan kesejukan saat ia tertidur dengan kepala penuh pikiran.
"Aku harus beli yang baru, nih," katanya.
Aku tahu, masaku sudah habis.
Sore itu, Bima pergi ke toko elektronik, meninggalkanku sendiri dalam kamar yang sunyi.Â
Aku menatap langit-langit, bertanya-tanya, apakah selama ini aku berguna?
Tapi sebelum aku tenggelam dalam kesedihan, Bima kembali—tanpa kipas angin baru.
Ia duduk di atas kasur, menatapku lama. Lalu, ia berkata, "Kayaknya bukan cuma kamu yang rusak. Aku juga."
Aku ingin tersenyum, tapi aku hanya mesin tua yang mati.
5
Seminggu berlalu.Â
Bima tak segera menggantikanku.Â
Ia membiarkan kamar panas tanpa kipas, seolah ingin merasakan apa yang terjadi jika aku tak ada.
Lalu suatu hari, ia duduk di tepi jendela.Â
Angin alami masuk, membelai wajahnya. Ia tersenyum tipis.
"Hidup ini nggak harus selalu nyala, ya?" gumamnya.
Aku ingin berbisik, benar, Bima. Kadang kita perlu berhenti.
Sejak hari itu, Bima berubah.Â
Ia tak lagi memaksakan diri selalu ada untuk orang lain. Ia belajar berkata ‘tidak’.Â
Ia belajar memberi waktu untuk dirinya sendiri.
Dan aku? Aku masih di sudut ruangan, rusak, tapi bangga. Karena akhirnya, Bima mengerti.
Bahwa bahkan kipas angin pun butuh jeda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI