"Ia duduk di depan jendela setiap sore," kata Nyoman.
"Lihat jalan. Tapi tak pernah bilang sedang menunggu siapa."
Ayu tidak menjawab.
Tapi matanya basah.
Dan dunia, untuk pertama kalinya sejak malam pelarian itu, menjadi terlalu sunyi untuk sekadar ditinggal sendiri.
Pagi itu, Ayu sedang memotong cabai.
Tangannya basah oleh air rebusan dan sedikit keringat. Anak bungsunya bermain di lantai, membangun rumah dari potongan kardus.
Lalu telepon berdering. Sekali. Dua kali. Tiga.
Ia tahu, bukan penjual pulsa. Bukan nomor tak dikenal.
"Bu sakit," suara Nyoman di ujung sana. "Parah."
Ayu tidak langsung menjawab.