Mohon tunggu...
syauffapratiwi
syauffapratiwi Mohon Tunggu... Praktisi

Hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

TB2 : "Diskursus Hubungan Tax Ratio Indonesia dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Max Weber" a.n. Syauffa Pratiwi Hutasuhut

15 Juni 2025   16:26 Diperbarui: 15 Juni 2025   16:47 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pajak adalah tulang punggung negara modern. Ia merupakan instrumen vital dalam pembangunan nasional, baik secara infrastruktur maupun sosial. Namun, fenomena tax ratio Indonesia yang rendah secara konsisten dalam dua dekade terakhir menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa penerimaan pajak kita tidak kunjung meningkat, meski perekonomian tumbuh?

Dalam menjawab pertanyaan ini, tulisan ini tidak hanya akan menganalisis dari sudut pandang ekonomi fiskal atau kebijakan semata, tetapi juga mencoba menelusuri aspek kultural, sosial, dan ideologis dengan menggunakan lensa Max Weber, khususnya melalui karyanya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism." Weber menunjukkan bahwa kapitalisme tidak semata sistem ekonomi, tetapi berakar dari nilai-nilai etik dan spiritual, khususnya dalam masyarakat Protestan.

Tax ratio sebagai refleksi kontribusi masyarakat kepada negara, tidak bisa dipahami hanya sebagai angka statistik. Ia merupakan ekspresi dari relasi antara individu dan negara. Maka, ketika tax ratio rendah, hal ini dapat mencerminkan absennya etika kolektif, lemahnya sistem kepercayaan, dan krisis otoritas dalam tubuh negara. Indonesia, dalam hal ini, menjadi studi kasus menarik untuk mengkaji hubungan antara etika, kapitalisme, dan pajak.

Tulisan ini akan menjelaskan secara menyeluruh fenomena tax ratio Indonesia, membandingkannya dengan negara lain, mengupas kerangka pikir Max Weber, serta menawarkan pendekatan interdisipliner dan rekomendasi kebijakan berdasarkan prinsip rasional-legal dan moralitas publik.

Bab I: Tax Ratio Indonesia – Realitas, Akar Masalah, dan Dampaknya

Tax ratio adalah indikator penting dalam mengukur efektivitas dan efisiensi sistem perpajakan suatu negara. Ia menunjukkan seberapa besar kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Negara-negara dengan sistem fiskal kuat seperti Denmark, Swedia, dan Jerman memiliki tax ratio di atas 30%, bahkan mendekati 40%. Sebaliknya, Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki tax ratio yang belum pernah menembus angka 15% selama lebih dari dua dekade.

Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2020 tax ratio Indonesia sempat anjlok ke angka 7,9%, sebelum kemudian kembali naik ke angka sekitar 10,38% pada tahun 2022. Meski ada peningkatan, angka ini tetap jauh dari standar ideal yang direkomendasikan OECD, yakni minimal 15%.

Penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia cukup kompleks. Beberapa faktor utama yang dapat diidentifikasi antara lain:

  1. Tingginya sektor informal: Lebih dari 60% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional.

  2. Kepatuhan sukarela yang rendah: Banyak wajib pajak yang tidak melaporkan kewajibannya secara jujur, sebagian karena sistem pelaporan yang rumit, sebagian karena ketidakpercayaan terhadap penggunaan pajak oleh negara.

  3. Rendahnya kapasitas administrasi perpajakan: Masih terdapat banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki infrastruktur fiskal yang memadai, baik dalam hal SDM maupun teknologi.

  4. Korupsi dan penyalahgunaan anggaran: Praktik korupsi di birokrasi dan rendahnya transparansi anggaran publik menurunkan legitimasi moral negara sebagai penerima pajak.

Dampak dari rendahnya tax ratio sangat luas. Negara menjadi kekurangan dana untuk membiayai pelayanan publik secara memadai. Akibatnya, muncul ketimpangan sosial yang makin melebar, kualitas infrastruktur rendah, dan program kesejahteraan sosial berjalan tidak optimal. Semua ini memicu lingkaran setan: ketika rakyat tidak merasakan manfaat dari pajak, maka kepatuhan mereka pun turun.

Dalam kerangka Weberian, ini mencerminkan hilangnya hubungan rasional-legal antara negara dan warganya. Ketika pajak tidak dilihat sebagai bagian dari kontrak sosial atau tindakan moral, ia berubah menjadi beban yang harus dihindari, bukan tanggung jawab kolektif.

Bab II: Landasan Teoretik Max Weber – Etika Protestan dan Rasionalisasi Pajak

Max Weber, salah satu bapak sosiologi modern, dikenal karena pendekatan interdisipliner yang menyatukan sosiologi, ekonomi, politik, dan agama. Dalam karya monumentalnya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism", Weber membahas bagaimana nilai-nilai agama, khususnya Protestanisme, menciptakan fondasi moral yang memungkinkan lahirnya kapitalisme modern. Menurut Weber, kapitalisme bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan hasil dari konfigurasi etika tertentu yang menjadikan kerja keras, efisiensi, dan rasionalitas sebagai kebajikan spiritual.

Weber memperkenalkan konsep "tindakan sosial" (Soziales Handeln) sebagai dasar analisis masyarakat. Tindakan ini dipahami dalam empat tipe:

  1. Tindakan rasional instrumental: Didorong oleh tujuan yang jelas dan kalkulasi efisien.

  2. Tindakan rasional nilai: Berdasarkan prinsip moral atau etika, meski tidak selalu efisien.

  3. Tindakan afektif: Dipengaruhi emosi dan perasaan spontan.

  4. Tindakan tradisional: Berasal dari kebiasaan dan norma lama.

Dalam konteks pajak, tindakan rasional nilai sangat relevan. Ketika warga negara membayar pajak bukan karena takut, melainkan karena menyadari pentingnya kontribusi terhadap masyarakat, maka pajak menjadi tindakan moral.

Konsep penting lain dari Weber adalah "askétisme duniawi" (worldly asceticism). Ini merujuk pada gaya hidup hemat, kerja keras, dan menjauhi konsumsi berlebihan demi akumulasi kapital. Dalam tradisi Protestan, kerja bukan hanya kewajiban ekonomi, tetapi juga panggilan ilahi (calling). Kesuksesan finansial dianggap sebagai tanda anugerah Tuhan, selama dicapai dengan cara yang sah dan etis.

Etika ini menciptakan karakter pekerja yang disiplin, bertanggung jawab, dan rasional. Pajak, dalam kerangka ini, bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi bagian dari tanggung jawab spiritual. Negara, di sisi lain, harus menjalankan otoritasnya secara rasional-legal, bukan kharismatik atau tradisional. Hanya dengan begitu, masyarakat akan menganggap sistem perpajakan sebagai sah dan patut dipatuhi.

Di Indonesia, sayangnya, banyak aspek etika Protestan yang tidak tertanam kuat dalam kultur ekonomi maupun sistem birokrasi. Pajak masih sering dianggap sebagai beban eksternal, bukan bagian dari panggilan internal untuk membangun masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara sistem hukum yang ingin rasional dan struktur sosial yang masih didominasi oleh tindakan afektif dan tradisional.

Bab III: Analisis Perbandingan Negara dan Aplikasi Etika Weberian

Untuk memahami lebih dalam mengapa tax ratio Indonesia terus berada pada level yang rendah, penting untuk membandingkannya dengan negara-negara lain yang memiliki konteks budaya, ekonomi, dan sistem birokrasi yang berbeda. Analisis ini tidak hanya bersifat kuantitatif, melainkan juga kualitatif, dengan menelaah bagaimana nilai dan etika mempengaruhi kepatuhan pajak masyarakat.

1. Negara Skandinavia: Etika Sosial Kolektif

Swedia, Norwegia, dan Denmark merupakan contoh negara dengan tax ratio tinggi (di atas 40%), namun tingkat kepatuhan pajaknya juga tinggi. Salah satu faktor utama adalah tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam masyarakat ini, pajak dipandang sebagai alat redistribusi kekayaan demi keadilan sosial.

Etika publik di negara-negara ini mencerminkan tindakan rasional-nilai: warga negara merasa bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi moral terhadap masyarakat. Negara juga menunjukkan kinerja birokrasi yang profesional, transparan, dan efisien. Dalam kerangka Weberian, negara-negara ini telah berhasil menjalankan otoritas rasional-legal secara konsisten.

2. Jerman: Efisiensi Birokrasi dan Tradisi Etika Protestan

Sebagai negara yang menjadi fokus utama Weber dalam teorinya, Jerman menunjukkan bagaimana nilai kerja keras, efisiensi, dan tanggung jawab individu terhadap negara menjadi dasar kuat dari sistem perpajakan. Tax ratio Jerman berada di kisaran 38%, dan sistem birokrasi mereka dikenal sangat disiplin.

Dalam budaya Jerman, membayar pajak dianggap sebagai kewajiban moral dan bukti partisipasi dalam membangun negara. Hal ini sesuai dengan etika Protestan yang menekankan tanggung jawab individu dan kesetiaan terhadap aturan.

3. Jepang dan Korea Selatan: Budaya Kolektif dan Kepatuhan

Kedua negara ini menunjukkan bahwa meskipun tidak berbasis Protestan, nilai-nilai seperti kedisiplinan, loyalitas, dan rasa tanggung jawab sosial mampu menghasilkan kepatuhan pajak yang tinggi. Tax ratio di Jepang mencapai sekitar 32%, sementara Korea Selatan mendekati 27%.

Nilai kolektif dalam masyarakat Asia Timur mendorong warga untuk taat demi stabilitas sosial. Di sinilah Weber menginspirasi reinterpretasi: tidak hanya etika Protestan yang bisa mendorong kapitalisme etis, tetapi setiap sistem nilai yang mendorong tanggung jawab individual terhadap kolektif dapat menghasilkan efek serupa.

4. India dan Brasil: Ketimpangan dan Krisis Kepercayaan

Sebaliknya, India dan Brasil merupakan contoh negara besar dengan tax ratio rendah (kisaran 10–15%). Kedua negara menghadapi tantangan serupa dengan Indonesia: ketimpangan ekonomi yang tinggi, birokrasi yang lemah, dan rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah.

Masyarakat kelas atas kerap menggunakan celah hukum untuk menghindari pajak, sementara masyarakat kelas bawah merasa tidak mendapat manfaat. Dalam konteks Weberian, hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam membentuk otoritas rasional-legal dan kegagalan masyarakat dalam mengembangkan tindakan sosial yang berbasis nilai.

5. Indonesia: Kompleksitas Budaya dan Fragmentasi Etika

Indonesia memiliki keragaman budaya, agama, dan sistem sosial yang sangat kompleks. Tidak ada satu sistem nilai dominan yang mengarahkan perilaku ekonomi secara konsisten. Dalam hal ini, pajak seringkali tidak diinternalisasi sebagai bagian dari etika sosial atau spiritual.

Pendidikan pajak di Indonesia masih bersifat prosedural, bukan etikal. Negara pun belum mampu menunjukkan teladan birokrasi yang bersih dan profesional. Dalam situasi seperti ini, Weber akan melihat Indonesia sebagai negara yang masih berada dalam transisi antara otoritas tradisional dan otoritas rasional-legal.


Bab IV: Pajak sebagai Manifestasi Etika Sosial dan Agenda Reformasi Etis

Pajak sebagai Etika Publik

Dalam negara modern, pajak seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban administratif, tetapi sebagai bentuk etika sosial. Pajak mencerminkan solidaritas masyarakat dalam mendanai layanan publik yang bersifat kolektif. Dalam hal ini, Weber mengajak kita melihat pajak sebagai tindakan sosial rasional yang lahir dari kesadaran nilai.

Etika pajak perlu dibangun di atas empat pilar utama:

  1. Kejujuran – Kesediaan warga negara melaporkan penghasilan dan kekayaannya secara jujur.

  2. Keadilan – Sistem perpajakan harus adil secara vertikal (berdasarkan kemampuan) dan horizontal (antar kelompok setara).

  3. Akuntabilitas – Negara harus transparan dalam penggunaan dana pajak.

  4. Keteladanan – Pejabat publik dan elite ekonomi harus menjadi teladan dalam kepatuhan pajak.

Ketika keempat prinsip ini dijalankan secara konsisten, pajak tidak lagi menjadi beban, tetapi simbol kepercayaan dan komitmen sosial.

Reformasi Moral dan Pendidikan Fiskal

Krisis kepatuhan pajak di Indonesia tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan hukum atau teknologi. Ia harus disertai reformasi moral dan pendidikan fiskal. Hal ini dapat dilakukan melalui:

  • Integrasi pendidikan pajak dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi.

  • Kampanye publik yang menekankan bahwa pajak adalah investasi sosial.

  • Peran serta tokoh agama dan masyarakat dalam menyuarakan pentingnya kontribusi fiskal.

  • Penguatan narasi bahwa membayar pajak adalah bentuk ibadah sosial yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan nasionalisme.

Revitalisasi Kepemimpinan Etis

Kepemimpinan memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku masyarakat. Dalam konteks perpajakan, pemimpin yang jujur, transparan, dan patuh pada kewajiban pajak akan memberi teladan moral yang kuat. Sebaliknya, skandal perpajakan di kalangan pejabat publik akan merusak etika kolektif dan memperkuat sinisme publik.

Revitalisasi kepemimpinan harus dimulai dari:

  • Pelaporan kekayaan yang terbuka dan rutin oleh pejabat publik.

  • Sanksi tegas terhadap penghindaran pajak oleh elite.

  • Penghargaan bagi wajib pajak besar dan patuh, baik individu maupun korporasi.

Integrasi Teknologi dan Etika

Teknologi digital seperti e-filing, big data, dan sistem integrasi perpajakan berbasis kecerdasan buatan (AI) sangat membantu efisiensi dan pengawasan. Namun, teknologi hanya akan efektif jika dibarengi dengan integritas moral. Oleh karena itu, digitalisasi harus didesain bukan hanya untuk efisiensi teknis, tetapi juga untuk memperkuat kepercayaan.

Penerapan teknologi pajak berbasis blockchain, transparansi anggaran daring, dan audit publik berbasis komunitas adalah contoh langkah yang memperkuat akuntabilitas dan partisipasi warga.

Menuju Etika Fiskal Nasional

Etika fiskal nasional perlu dirumuskan sebagai fondasi budaya pajak Indonesia ke depan. Ini mencakup:

  • Pemahaman kolektif bahwa pajak adalah fondasi negara beradab.

  • Pajak adalah wujud cinta tanah air yang konkret.

  • Keadilan fiskal bukan hanya tentang distribusi beban, tetapi juga tentang distribusi manfaat.

Weber percaya bahwa tindakan sosial hanya bisa bertahan jika ditopang oleh nilai-nilai yang diyakini bersama. Oleh karena itu, pajak harus dibingkai dalam narasi moral yang kuat, bukan hanya dalam bahasa teknokratis.

Bab V: Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Kesimpulan Umum

Tulisan ini telah menunjukkan bahwa persoalan rendahnya tax ratio di Indonesia bukan hanya soal ekonomi dan kebijakan fiskal, tetapi juga mencerminkan krisis etika sosial, lemahnya otoritas rasional-legal, serta absennya nilai-nilai kolektif tentang kewajiban terhadap negara. Dengan merujuk pada pemikiran Max Weber, khususnya dalam "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism," kita memahami bahwa kapitalisme modern dan sistem perpajakan yang sehat memerlukan fondasi moral berupa etos kerja, tanggung jawab individu, dan kepercayaan terhadap negara.

Tax ratio yang rendah menunjukkan adanya defisit dalam hubungan timbal balik antara negara dan warga. Negara belum sepenuhnya menjalankan fungsinya secara transparan, akuntabel, dan merata. Sementara masyarakat pun belum menjadikan pajak sebagai bagian dari kesadaran etis, baik sebagai individu maupun kolektif. Ketika kedua pihak gagal memenuhi peran etis masing-masing, maka sistem perpajakan menjadi rapuh dan tidak berdaya menopang pembangunan.

Weber memberikan kerangka yang relevan untuk memahami bahwa tindakan sosial rasional-nilai harus menjadi dasar dari sistem fiskal. Pajak tidak boleh lagi dipandang sebagai beban, tetapi sebagai manifestasi dari solidaritas dan partisipasi aktif dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi nilai, reformasi birokrasi, serta kepemimpinan publik yang memberi teladan moral.

Rekomendasi Strategis

  1. Membangun Etika Pajak Berbasis Nilai

    • Menyisipkan pendidikan etika fiskal sejak dini di sekolah-sekolah.

    • Mengembangkan narasi publik bahwa pajak adalah tanggung jawab moral, bukan sekadar kewajiban administratif.

  2. Mengintegrasikan Teknologi dengan Transparansi

    • Digitalisasi sistem perpajakan secara end-to-end.

    • Mengembangkan dashboard publik untuk memantau penggunaan pajak secara real time.

  3. Mengembangkan Kepemimpinan Publik yang Etis

    • Mewajibkan pelaporan pajak pejabat publik secara terbuka.

    • Memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran pajak oleh elite ekonomi dan politik.

  4. Melibatkan Lembaga Sosial dan Keagamaan

    • Menggerakkan organisasi masyarakat sipil dan lembaga agama untuk menyuarakan pentingnya kontribusi fiskal.

    • Menerjemahkan nilai-nilai keagamaan menjadi pesan konkret tentang pentingnya membayar pajak.

  5. Menata Ulang Struktur Fiskal Secara Adil

    • Mendesain sistem pajak yang progresif dan tidak diskriminatif.

    • Menjamin bahwa hasil pajak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat bawah.

Penutup

Tax ratio Indonesia dapat ditingkatkan bukan hanya melalui revisi peraturan atau penambahan teknologi, tetapi melalui pembentukan budaya fiskal yang sehat. Budaya ini membutuhkan nilai, kepercayaan, dan etika kolektif. Dalam kerangka Weberian, negara yang kuat bukan hanya negara yang berkuasa, tetapi negara yang memiliki legitimasi moral di mata rakyatnya. Dan pajak adalah ujian paling nyata dari legitimasi tersebut.

Dengan menghidupkan kembali semangat rasionalitas etis seperti dalam etika Protestan yang dibahas Weber, Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem fiskal yang bukan hanya efisien, tetapi juga berkeadilan dan bermartabat.

Daftar Pustaka

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Statistik APBN dan Tax Ratio. Jakarta: Kemenkeu RI.

DDTC. (2022). Studi Perbandingan Sistem Perpajakan Negara-Negara ASEAN. Jakarta: DDTC Research Institute.

Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Cambridge: Harvard University Press.

OECD. (2022). Revenue Statistics in Asia and the Pacific. OECD Publishing. https://www.oecd.org/tax/revenue-statistics-asia-pacific.htm

Rousseau, J.J. (1762). The Social Contract. Paris: Marc-Michel Rey.

Weber, M. (1930). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by Talcott Parsons. London: Allen & Unwin.

World Bank. (2023). World Development Indicators. https://databank.worldbank.org/source/world-development-indicators

Yani, A., & Hadi, S. (2021). Etika Publik dan Kepatuhan Pajak: Perspektif Sosial dan Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zulkarnain, T. (2020). Pajak dan Moralitas Fiskal: Menelusuri Perspektif Max Weber. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 24(1), 55–72.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun