Mohon tunggu...
syauffapratiwi
syauffapratiwi Mohon Tunggu... Praktisi

Hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

TB2 : "Diskursus Hubungan Tax Ratio Indonesia dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Max Weber" a.n. Syauffa Pratiwi Hutasuhut

15 Juni 2025   16:26 Diperbarui: 15 Juni 2025   16:47 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks pajak, tindakan rasional nilai sangat relevan. Ketika warga negara membayar pajak bukan karena takut, melainkan karena menyadari pentingnya kontribusi terhadap masyarakat, maka pajak menjadi tindakan moral.

Konsep penting lain dari Weber adalah "askétisme duniawi" (worldly asceticism). Ini merujuk pada gaya hidup hemat, kerja keras, dan menjauhi konsumsi berlebihan demi akumulasi kapital. Dalam tradisi Protestan, kerja bukan hanya kewajiban ekonomi, tetapi juga panggilan ilahi (calling). Kesuksesan finansial dianggap sebagai tanda anugerah Tuhan, selama dicapai dengan cara yang sah dan etis.

Etika ini menciptakan karakter pekerja yang disiplin, bertanggung jawab, dan rasional. Pajak, dalam kerangka ini, bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi bagian dari tanggung jawab spiritual. Negara, di sisi lain, harus menjalankan otoritasnya secara rasional-legal, bukan kharismatik atau tradisional. Hanya dengan begitu, masyarakat akan menganggap sistem perpajakan sebagai sah dan patut dipatuhi.

Di Indonesia, sayangnya, banyak aspek etika Protestan yang tidak tertanam kuat dalam kultur ekonomi maupun sistem birokrasi. Pajak masih sering dianggap sebagai beban eksternal, bukan bagian dari panggilan internal untuk membangun masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara sistem hukum yang ingin rasional dan struktur sosial yang masih didominasi oleh tindakan afektif dan tradisional.

Bab III: Analisis Perbandingan Negara dan Aplikasi Etika Weberian

Untuk memahami lebih dalam mengapa tax ratio Indonesia terus berada pada level yang rendah, penting untuk membandingkannya dengan negara-negara lain yang memiliki konteks budaya, ekonomi, dan sistem birokrasi yang berbeda. Analisis ini tidak hanya bersifat kuantitatif, melainkan juga kualitatif, dengan menelaah bagaimana nilai dan etika mempengaruhi kepatuhan pajak masyarakat.

1. Negara Skandinavia: Etika Sosial Kolektif

Swedia, Norwegia, dan Denmark merupakan contoh negara dengan tax ratio tinggi (di atas 40%), namun tingkat kepatuhan pajaknya juga tinggi. Salah satu faktor utama adalah tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam masyarakat ini, pajak dipandang sebagai alat redistribusi kekayaan demi keadilan sosial.

Etika publik di negara-negara ini mencerminkan tindakan rasional-nilai: warga negara merasa bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi moral terhadap masyarakat. Negara juga menunjukkan kinerja birokrasi yang profesional, transparan, dan efisien. Dalam kerangka Weberian, negara-negara ini telah berhasil menjalankan otoritas rasional-legal secara konsisten.

2. Jerman: Efisiensi Birokrasi dan Tradisi Etika Protestan

Sebagai negara yang menjadi fokus utama Weber dalam teorinya, Jerman menunjukkan bagaimana nilai kerja keras, efisiensi, dan tanggung jawab individu terhadap negara menjadi dasar kuat dari sistem perpajakan. Tax ratio Jerman berada di kisaran 38%, dan sistem birokrasi mereka dikenal sangat disiplin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun