Mohon tunggu...
Meliana JunitaAzhari
Meliana JunitaAzhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teruslah Berkarya

Allah as always number one

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eunoia

15 Februari 2021   12:08 Diperbarui: 15 Februari 2021   12:21 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yuna pun keluar dari bangkunya dan mengambil kertas yang berisi nilai tersebut. Kembali duduk di bangkunya lalu membuka rapotnya melihat satu per satu nilai semua mata pelajaran. Aman. Yuna melihat peringkatnya. Tertulis di sana 'Peringkat ke-2 dari 25 siswa'.

Yuna menghela nafas berat lalu memasukan rapotnya ke dalam tas. Menggigit bibir bawahnya dengan pikiran buruk yang memenuhi otaknya.

"Peringkat tidak terlalu penting. Yang terpenting nilai kalian semua tidak turun. Peringkat satu kita masih dipegang oleh Yuta. Ingat ya semakin berisi semakin merunduk dan yang lain jangan patah semangat."

Setelah menyampaikan wejangan, pak Tedi pun keluar ruangan menuju ruang guru. Yuna menundukan kepalanya dengan tangan yang ia simpan di pelipis. Matanya terpejam membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika ia pulang.

***

Yuna sudah ada di depan apartemennya. Menatap ragu untuk membuka pintu tersebut. Ia mempersiapkan diri memasuki ruangan itu, menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan.


Ia memasukkan kode apartemen dan pintu pun terbuka. Menampilkan pria dewasa yang tengah berdiri di sana dengan lengan yang menyilang di depan dada.

"Mana nilaimu?" Ucap lelaki itu membuka suara.

Yuna mengeluarkan rapotnya perlahan dan menyodorkannya kepda sang Ayah. Kertas itu diteima oleh Ayahnya. Pria dewasa itu membaca setiap tulisan yang ada di sana sampai pada kata terakhir, rahangnya mengeras. Tangannya menghempas kasar kertas tersebut. ia mendekat dan menampar pipi Yuna dengan keras. Menyalurkan seluruh emosinya di sana.

Yuna hanya diam. Pipinya ngilu. Ia tidak mengatakan sepatah katapun.

"Kau. Kenapa kau tidak bisa menjadi nomor satu? Kenapa kau rela menjadi nomor dua? Kau seharusnya menjadi nomor satu. Aku sudah membiayaimu. Kau tidak berguna. Kau hanya membuang-buang uangku. Libur semester ini kau tidak boleh mengunjungi Bundamu." Ucap lelaki itu dengan nada yang tinggi lalu pergi meninggalkan Yuna sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun