Mohon tunggu...
Kezia AmeiliaSaktyani
Kezia AmeiliaSaktyani Mohon Tunggu... Seniman - Pelajar

Semua dimulai dari bawah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Langkah

24 Februari 2021   02:38 Diperbarui: 24 Februari 2021   02:43 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

                Kini tinggal Adalvino, Arunika dan Pak Anton saja di lab Fisika itu. Pak Anton meminta Adalvino dan Arunika untuk duduk agar mereka bisa berbincang dengan lebih nyaman. Pak Anton duduk di kursi guru yang ada di lab Fisika itu. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran yang empuk dan memposisikan tubuhnya senyaman mungkin.

                "Hari ini kita ngobrol-ngobrol dulu aja ya. Jangan tegang dan jangan canggung sama bapak, santai aja oke?" Pak Anton berbicara dengan santai.

                "Oke pak. Kita mau ngobrolin apa emang pak? Bukannya lebih bagus kalo langsung belajar?" tanya Arunika.

                "Ya biar lebih saling mengenal dong, kata penelitian seorang murid bisa lebih mudah menyerap materi pelajaran jika merasa nyaman dengan gurunya. Agar bisa nyaman kita harus saling mengenal kan?" Pak Anton menaikan telunjuknya sambil mengedipkan sebelah matanya.

                "Bagus juga. Soalnya saya juga belum terlalu mengenal Arunika. Jadi saya masih ngerasa canggung kalo ketemu Arunika, atau ngobrol sama Arunika. Kalau mulai sekarang kita adalah rekan satu tim, rasa canggung itu harus dihilangkan." Adalvino berbicara sambil memegang dagunya dengan wajah serius.

                Pak Anton yang melihat tingkah Adalvino yang kaku itu tertawa kecil lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri meja kedua murid barunya itu. "Bapak mau tanya, alasan kalian ikut seleksi olimpiade kemarin itu apa? Coba Arunika dulu yang jawab," Pak Anton melihat ke arah Arunika dengan tatapan lembut, membuat Arunika berdegup karena ditatap oleh guru maskulin itu.

                "Sebenernya aku ikut olimpiade ini untuk ngebuktiin ke orang tuaku, kalau aku juga bisa punya mimpi yang tinggi. Dari dulu aku punya mimpi mau kerja di NASA jadi astronot atau teknisi gitu, kedengerannya keren kan? Tapi menurut orang tuaku itu adalah hal bodoh. Mereka melarangku, terutama ibu. Ibu bilang 'kamu itu anak cewek, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya bakal ada di dapur? Mending kamu urus warung nasi punya nenekmu aja, sekalian belajar masak buat suami kamu nanti' hahaha, lucu ya?" Arunika bercerita panjang lebar. Mulutnya tersenyum tapi matanya tidak. Matanya kosong, terlihat kesedihan disana.

                Pak Anton yang melihat itu turut merasa prihatin. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan ibunya Arunika, ia juga belum mempunyai seorang anak jadi tidak mengerti bagaimana perasaan orang tua. Tapi ia tahu pasti bahwa menghalangi mimpi seorang anak itu adalah hal yang salah. Orang tua seharusnya mendukung apapun yang diimpikan oleh anaknya, bukannya malah menentang dan berpikiran kolot seperti itu.

                "Arunika hebat ya, meski kurang dukungan orang tua tapi masih berusaha mengejar mimpi dengan usaha sendiri. Kalau kamu anak bapak, bapak pasti bangga sekali sama sifat pantang menyerahmu itu," Pak Anton tersenyum lembut. "Sekarang Adalvino, coba kasih tahu kita alasan kamu ingin ikut olimpiade ini."

                Adalvino menarik napas dalam, entah kenapa berat rasanya untuk memberitahu alasannya. Tapi karena Arunika sudah mau jujur dan terbuka seperti itu, membuat Adalvino berpikir mungkin akan terasa tidak adil untuk Arunika kalau tidak menceritakannya juga.

                "Sebenernya aku ada alasan pribadi yang susah buat diungkapin, dan alasan aku ikut olimpiade ini ada macam-macam. Mungkin Pak Anton juga sudah dengar, aku tinggal di panti asuhan yang artinya aku gak punya orang tua. Dan yang namanya panti asuhan semuanya harus dibagi sama rata dengan anak-anak yang lain. Aku ikut olimpiade ini juga untuk mertahanin beasiswaku disini. Selain itu, aku juga udah bertekad untuk maju sampai tingkat nasional, bahkan internasional pun ingin aku taklukan." Adalvino menarik napasnya lagi, ia berbicara dengan kepala yang tertunduk.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun