Mohon tunggu...
Kezia AmeiliaSaktyani
Kezia AmeiliaSaktyani Mohon Tunggu... Seniman - Pelajar

Semua dimulai dari bawah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Langkah

24 Februari 2021   02:38 Diperbarui: 24 Februari 2021   02:43 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PROLOG

Rumah dengan cat berwarna putih. Pekarangan yang cukup luas untuk bermain dengan pagar kayu berwarna senada yang menjadi pembatas dengan dunia luar. Bunga clematis berwarna ungu tua yang sedang bermekaran merambat si sela-sela pagar. Daun yang berjatuhan dari pohon alpukat besar yang berdiri dengan gagahnya berserakan di pekarangan itu. Sebuah ayunan yang terbuat dari papan kecil dan tambang menjuntai dari salah satu cabang pohon besar itu.

Terlihat seorang anak kecil sedang bermain di ayunan tersebut, sambil memegang segenggam bunga dandelion. Ia hanya menggenggamnya, dan menatapnya. Sesekali, ujung jarinya menyentuh permukaan rapuh dandelion tersebut. Ia memutar bunga tersebut dengan perlahan. Memastikan bahwa belum ada bagian bunganya yang berhamburan.

                Tiba-tiba, angin pun bertiup. Anak kecil itu bingung bagaimana caranya ia bisa melindungi bunga nya ini agar tidak lenyap. Semakin bingung ia, semakin gusar. Dan itu membuat dandelionnya lenyap dengan lebih cepat. Bagian-bagian kecil bunga itu terbang mengikuti angin yang membebaskannya.

                Pekarangan itu terlihat indah dengan seorang anak kecil yang masih merah pipinya berdiri di tengah hujan dandelion itu. Namun anak kecil itu tidak merasa senang.

"Tidak," ucap bibir mungil itu lirih. "Kembali. Jangan pergi secepat itu."

                Angin berhenti. Suasana kembali sunyi. Anak itu kembali duduk di ayunan dengan kepala tertunduk. Ia hanya melihat kebawah, melihat sepatu yang ia kenakan. Sepatu yang diberikan ibunya minggu lalu saat ulang tahunnya.

                "Nak Vino, ayo masuk sudah sore. Gak bagus main diluar terus. Sini, nak .... " Seorang wanita paruh baya dengan rambut di gulung dan memakai kebaya jadul keluar dari pintu rumah bergaya minimalist itu

                "Bi, ibu gak datang lagi hari ini?"

                "Aduh, Adalvino udah kangen ya sama mama," ucap wanita itu sambil menghampiri Adalvino, yang duduk di ayunan. "Tadi mama nya Adalvino telpon Bibi, katanya besok mau dateng sambil bawain makanan kesukaan Vino."

                "Beneran, Bi? Ibu mau dateng?" mata anak itu berbinar sekarang.

                "Iya, makannya sekarang Adalvino masuk rumah ya, mandi dulu terus makan."

                "Iya, ayo Bi!"

                Suasana itu masih terasa bagi Adalvino yang kini beranjak dewasa. Ia tidak tahu apa yang salah pada dirinya sampai kini hidupnya bisa berubah. Ia bahkan mulai lupa sejak kapan hidupnya berubah. Ia ingat betul, dulu ada sosok yang ia panggil 'Ibu' yang selalu membawakannya barang-barang yang menyenangkan. Selalu memberikan makanan enak. Dan selalu memeluknya diatas tempat tidur sambil menceritakan kisah-kisah untuk mengantarnya tidur. Meski setiap kali ia kembali membuka mata, sosok ibu itu pergi ke tempat yang tidak pernah ia ketahui ada dimana.

               

BAGIAN 1

SEBUAH SURAT

Kini, Adalvino berada di sini. Di tempat ia mendapatkan banyak kasih sayang. Kasih sayang dari para donatur. Kasih sayang dari Buda Helen, pengurus Panti Asuhan Philautia tempatnya tinggal sejak sebelas tahun yang lalu. Ia juga mendapat kasih sayang dari saudara-saudara angkatnya disini. Tempat yang selalu dipenuhi kehangatan dari orang-orang yang memiliki nasib sama dengannya. Tempat yang dipenuhi kesederhanaan.

"Kak Adalvino, di depan ada yang nyariin Kak Vino. Katanya sih temen sekolah," Dinda, adik asuh Adalvino tiba-tiba muncul.

"Eh, Dinda ngagetin aja. Temen sekolah?" Tanya Vino sambil bangkit dari duduknya.

"Iya Kak, orangnya tadi udah Dinda suruh masuk. Sekarang lagi nunggu di ruang tamu," teman sekolah? Siapa ya, tumben ada yang nyamperin kesini, batin Adalvino.

"Yaudah, makasih ya Dinda, Kak Vino mau ganti celana dulu. Dinda keluar dulu ya..." Adalvino mengusap lembut puncak kepala Dinda yang hanya setinggi pinggangnya itu.

Setelah mengganti celana, Adalvino berjalan menuju ruang tamu. Ia berjalan disepanjang lorong kamar lantai dua, lalu berbelok untuk menuruni anak tangga yang mengarah langsung ke ruang tamu dengan televisi yang sedang menyala.

                "Maaf, nunggu lama?" tanya Adalvino pada gadis yang ada di hadapannya. Gadis yang ia sama sekali tidak kenal.

                "Tidak terlalu. Tempat ini nyaman ya. Seru juga banyak anak kecil lucu-lucu," gadis dengan rambut sebahu itu menatap Adalvino sambil tersenyum. Adalvino hanya bisa membalasnya kikuk. Ia masih bertanya-tanya siapa orang ini.

                "Aduh, aku lupa memperkenalkan diri. Kenalin, namaku Arunika Effemia Bumantara, kita satu sekolah, satu angkatan juga. Aku dari kelas XI-Sience B." gadis bernama Arunika itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

                "Vino, Adalvino Ferianto Ranggana," Adalvino menyambut tangan Arunika dengan perasaan bingung. Ia hanya menatap gadis itu. Wajahnya terasa familiar, apa mungkin mereka pernah berpapasan disekolah atau disuatu tempat? Adalvino berusaha mengingat.

                "Maaf kalau aku tiba-tiba dateng kesini. Kita pernah ketemu di lab fisika saat tes untuk olimpiade. Waktu itu kita duduk bersebelahan. Aku dateng kesini mau ngasih surat dari Bu Jen, buat orang tua kamu katanya," Arunika terkejut dengan ucapannya sendiri. "Maksudku, buat wali kamu. Sorry," Arunika merasa bersalah dengan ucapannya mengingat Adalvino adalah seorang yatim-piatu.

                "Oh begitu. Iya gapapa santai aja. Makasih ya sebelumnya," Adalvino tersenyum sambil mengambil amplop berisi surat dari Arunika.

                "Yaudah, kalo gitu aku permisi dulu ya." Ucap Arunika bangkit dari duduknya. "Buru-buru nih soalnya udah sore, dah Adalvino. Sampai ketemu hari Senin disekolah."

                "Oke, makasih ya Arunika, sampai ketemu lagi," Adalvino mengantar Arunika sampai depan pagar panti asuhannya. Arunika pulang dengan berjalan kaki. Adalvino hanya memperhatikan punggung Arunika yang terus menjauh, lalu lenyap di belokan ujung jalan. Adalvino kemudian masuk kembali kedalam rumahnya.

                Ia masih memegang surat yang tadi diberikan oleh Arunika. Masih bertanya-tanya sebegitu pentingkah surat ini sampai-sampai ada perwakilan dari sekolahnya yang mengantar kesini di hari sabtu, hari libur untuk menikmati waktu dirumah dengan keluarga?

                Adalvino ingat, tadi gadis itu bilang ini surat untuk wali murid. Ia mulai khawatir, ia berpikir ia sedang dalam masalah. Adalvino bergegas masuk ke kamarnya lalu mengambil cutter untuk membuka amplop tersebut. Di ambilnya surat putih dengan cap dari kepala sekolah itu. Tangannya bergetar, matanya bergerak mengikuti setiap kata yang ada di atas kertas itu.

                Kini matanya membulat dengan mulut sedikit terbuka, masih tidak percaya dengan apa yang dia baca. Ia bergegas menghampiri Bunda Helen yang sedang berada di dapur. Ia berlari, menimbulkan suara gaduh dari telapak kakinya di sepanjang lorong kamar.

                "Bunda! Bunda Helen! Lihat ini, Vino dapat surat dari sekolah. Vino lolos tes untuk olimpiade Fisika tingkat kabupaten! Vino akan mewakili SMAN 1 Mendoyo, Bunda!" Adalvino mengatakan itu dengan mata berbinar, ia merasa sangat senang.

                "Serius, nak? Selamat ya, Bunda sangat bangga sama kamu," Bunda Helen memeluk Adalvino dengan penuh kasih sayang.

                "Vino diundang untuk karantina dengan murid-murid dari sekolah lain yang akan jadi perwakilan Kabupaten Jembrana seperti Vino."

                Melihat Vino yang sangat bahagia membuat Bunda asuhnya itu juga bahagia. Ia tak menyangka, anak asuh nya ini sudah sangat besar dan membanggakan.

                "Semoga saja dengan begini, aku bisa bertemu lagi dengan orang tuaku ya Bunda," mendengar hal itu Bunda Helen memasang wajah khawatir, wajah ketakutan.

                Vino yang melihat hal itu ingin bertanya apa ada yang salah? Namun sesuatu di dalam dirinya mencegahnya untuk mengatakan hal itu. Ia merasa tidak boleh bertanya. Vino kemudian berusaha mengalihkan topik untuk menghilangkan suasana tegang yang terjadi.

 

BAGIAN 2

KAMU PASTI BISA!

                Hari Senin, hari yang sangat tidak disukai oleh para murid. Alasannya sudah jelas, karena upacara bendera di pagi hari yang sudah terasa sangat panas ini. Kaki pegal. Keringat mengucur di dahi dan di punggung. Kulit yang terasa panas tersengat sang surya. Tapi tidak ada yang mengeluh, sebagai tanda penghormatan kepada para pahlawan di masa lampau.

                Selesai sudah upacara. Adalvino melepas topi yang ia kenakan, lalu melangkah meninggalkan lapangan di tengah lautan siswa yang saling bertubrukan menuju ke kelas masing-masing. Ditengah keramaian itu, ada sesuatu yang menubruk tubuhnya, lalu, bruk!

                "Aww!" terlihat seorang gadis sedang memegangi lutut dan sikutnya yang berdarah sambil meringis. Ia terduduk di tengah lapang, merasa linu untuk berdiri.

                "Arunika? Maaf, kamu jadi berdarah," Adalvino menghampiri gadis itu, lalu berusaha membantunya untuk berdiri. Adalvino membopongnya menuju ke UKS untuk mengobati luka-lukanya.

                "Makasih ya Adalvino, sudah bantu aku kesini," Arunika tersenyum sampai matanya hanya segaris.

                "Emang salahku juga kok. Kelas kita sebelahan kan? Kamu udah selesai di obati, kita ke kelas bareng aja. Masih susah jalan?" Adalvino merasa bersalah dan khawatir.

                "Yaudah ayo, makasih sekali lagi ya, Adalvino."

                Mereka berjalan meninggalkan ruang UKS yang sumpek. Berjalan menyusuri koridor menuju kelas mereka masing-masing. Kedua orang itu melewati kelas XI-Sience A, kelas Adalvino. Arunika merasa heran, kenapa Adalvno tidak masuk ke kelasnya, dan malah terus berjalan dengannya.

                "Lho, kelasmu udah kelewat," Arunika menegur Adalvino

                "Kalau kamu jatuh lagi gimana?" Adalvino hanya menatap lurus ke depan

                Mereka berjalan menuju kelas XI-Sience B, kelas Arunika. Setelah sampai di depan pintu, Adalvino pun pamit pergi. Adalvino kembali ke kelasnya, lalu duduk di bangkunya dan siap-siap untuk belajar. Adalvino duduk di barisan ketiga dekat jendela yang menghadap langsung ke arah lapang.

                Bu Jen masuk ke kelas Adalvino untuk memulai pelajaran. Adalvino memperhatikan pelajaran yang diberikan dengan serius. Saat sedang belajar, tidak ada yang bisa mengganggunya karena fokusnya hanya ditujukan pada pelajaran.

                Waktu istirahat tiba. Bu Jen pun mengakhiri pelajarannya. Sebelum meninggalkan kelas, Bu Jen memanggil Adalvino keluar kelas untuk berbincang.

                "Adalvino, kamu sudah terima surat dari Arunika?"

                "Sudah bu,"

                "Kalau begitu, sepulang sekolah nanti kamu dateng ke lab fisika ya, untuk bimbingan."

                "Baik bu,"

                Bu Jen berlalu pergi menuju ruang guru. Adalvino pun pergi menuju kantin untuk mengisi perutnya. Sesampainya di kantin ia disambut dengan aroma berbagai makanan. Aroma yang paling memikatnya saat ini adalah batagor. Ia pun memesan batagor dan duduk di salah satu bangku yang ada di kantin.

                "Hei Vin, boleh duduk disini juga?" Arunika muncul dari belakang sambil membawa semangkok mie ayam

                "Boleh, silahkan duduk aja," Arunika pun duduk di hadapan Adalvino dan mulai mengaduk mie ayamnya.

                Mereka menikmati makanan masing-masing dengan tenang. Tidak ada percakapan yang terjadi sampai akhirnya makanan mereka pun habis.

                "Nanti sepulang sekolah kamu juga di suruh ke lab fisika ya sama Bu Jen?" Arunika membuka obrolan.

                "Iya, kok bisa tahu?" Adalvino mengangkat alisnya.

                "Aku juga dipanggil. Bareng ya nanti perginya!"

                "Aku sudah tahu kalau dari sekolah kita ini ada dua perwakilan untuk olimpiade Fisika, jadi orang yang satunya lagi itu kamu?" Adalvino bertanya sambil meneguk es jeruknya.

                "Loh, kamu baru tahu? Kamu ini ternyata memang kurang peka ya, Adalvino," Arunika sedikit tertawa di akhir kalimatnya.

                "Lututmu masih sakit?" tanya Adalvino lagi

                "Udah ngga. Gausah terlalu khawatir gitu deh Vin, luka kecil juga." Arunika berbicara lagi-lagi dengan senyuman. Adalvino hanya membalasnya dengan senyum kecil sambil menggaruk tengkuknya kikuk.

                Bel tanda istirahat berakhir pun berbunyi. Mereka pun berpisah di kantin itu. Kembali ke kelas masing-masing untuk kembali belajar. Setelah jam pelajaran berakhir, Arunika menghampiri kelas Adalvino lalu pergi ke lab Fisika bersama. Sepanjang perjalanan mereka berbincang soal olimpiade Fisika yang akan mereka ikuti ini.

                Setelah tiba di lab Fisika, mereka disambut oleh Bu Jen dan seorang pria yang mereka tidak kenal. Usianya sekitar 30-an. Pria itu berpakaian rapi dengan kemeja biru tua lengan panjang yang di lipat. Rambutnya mengkilap karena gel rambut yang ia kenakan. Seorang yang sangat maskulin!

                "Adalvino dan Arunika sudah datang toh. Sini masuk, perkenalkan ini dosen dari Universitas Bali yang akan menjadi pembimbing kalian, namanya Pak Anton." Bu Jen memperkenalkan pria itu dengan penuh senyum.

                "Perkenalkan, nama saya Anton. Boleh dipanggil Pak Anton, Mister Anton juga boleh biar lebih keren." Pak Anton sedikit bercanda saat berkenalan dengan mereka. Adalvino dan Arunika memberi salam kepada Pak Anton.

                "Yasudah, ibu tinggal kalian bertiga ya. Yang sopan ya sama Pak Anton. Dia salah satu pengajar yang paling disegani di daerah sini."

                "Iya Bu Jen, hati-hati," ucap kedua murid itu.

                Kini tinggal Adalvino, Arunika dan Pak Anton saja di lab Fisika itu. Pak Anton meminta Adalvino dan Arunika untuk duduk agar mereka bisa berbincang dengan lebih nyaman. Pak Anton duduk di kursi guru yang ada di lab Fisika itu. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran yang empuk dan memposisikan tubuhnya senyaman mungkin.

                "Hari ini kita ngobrol-ngobrol dulu aja ya. Jangan tegang dan jangan canggung sama bapak, santai aja oke?" Pak Anton berbicara dengan santai.

                "Oke pak. Kita mau ngobrolin apa emang pak? Bukannya lebih bagus kalo langsung belajar?" tanya Arunika.

                "Ya biar lebih saling mengenal dong, kata penelitian seorang murid bisa lebih mudah menyerap materi pelajaran jika merasa nyaman dengan gurunya. Agar bisa nyaman kita harus saling mengenal kan?" Pak Anton menaikan telunjuknya sambil mengedipkan sebelah matanya.

                "Bagus juga. Soalnya saya juga belum terlalu mengenal Arunika. Jadi saya masih ngerasa canggung kalo ketemu Arunika, atau ngobrol sama Arunika. Kalau mulai sekarang kita adalah rekan satu tim, rasa canggung itu harus dihilangkan." Adalvino berbicara sambil memegang dagunya dengan wajah serius.

                Pak Anton yang melihat tingkah Adalvino yang kaku itu tertawa kecil lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri meja kedua murid barunya itu. "Bapak mau tanya, alasan kalian ikut seleksi olimpiade kemarin itu apa? Coba Arunika dulu yang jawab," Pak Anton melihat ke arah Arunika dengan tatapan lembut, membuat Arunika berdegup karena ditatap oleh guru maskulin itu.

                "Sebenernya aku ikut olimpiade ini untuk ngebuktiin ke orang tuaku, kalau aku juga bisa punya mimpi yang tinggi. Dari dulu aku punya mimpi mau kerja di NASA jadi astronot atau teknisi gitu, kedengerannya keren kan? Tapi menurut orang tuaku itu adalah hal bodoh. Mereka melarangku, terutama ibu. Ibu bilang 'kamu itu anak cewek, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya bakal ada di dapur? Mending kamu urus warung nasi punya nenekmu aja, sekalian belajar masak buat suami kamu nanti' hahaha, lucu ya?" Arunika bercerita panjang lebar. Mulutnya tersenyum tapi matanya tidak. Matanya kosong, terlihat kesedihan disana.

                Pak Anton yang melihat itu turut merasa prihatin. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan ibunya Arunika, ia juga belum mempunyai seorang anak jadi tidak mengerti bagaimana perasaan orang tua. Tapi ia tahu pasti bahwa menghalangi mimpi seorang anak itu adalah hal yang salah. Orang tua seharusnya mendukung apapun yang diimpikan oleh anaknya, bukannya malah menentang dan berpikiran kolot seperti itu.

                "Arunika hebat ya, meski kurang dukungan orang tua tapi masih berusaha mengejar mimpi dengan usaha sendiri. Kalau kamu anak bapak, bapak pasti bangga sekali sama sifat pantang menyerahmu itu," Pak Anton tersenyum lembut. "Sekarang Adalvino, coba kasih tahu kita alasan kamu ingin ikut olimpiade ini."

                Adalvino menarik napas dalam, entah kenapa berat rasanya untuk memberitahu alasannya. Tapi karena Arunika sudah mau jujur dan terbuka seperti itu, membuat Adalvino berpikir mungkin akan terasa tidak adil untuk Arunika kalau tidak menceritakannya juga.

                "Sebenernya aku ada alasan pribadi yang susah buat diungkapin, dan alasan aku ikut olimpiade ini ada macam-macam. Mungkin Pak Anton juga sudah dengar, aku tinggal di panti asuhan yang artinya aku gak punya orang tua. Dan yang namanya panti asuhan semuanya harus dibagi sama rata dengan anak-anak yang lain. Aku ikut olimpiade ini juga untuk mertahanin beasiswaku disini. Selain itu, aku juga udah bertekad untuk maju sampai tingkat nasional, bahkan internasional pun ingin aku taklukan." Adalvino menarik napasnya lagi, ia berbicara dengan kepala yang tertunduk.

                "Kalau lolos sampai tingkat provinsi saja pasti dapat rekomendasi buat masuk ke universitas unggulan, apalagi lolos di tingkat yang lebih tinggi kan? Aku cuma gamau terlalu ngebebani Bunda Helen, ibu asuhku di panti. Apalagi aku adalah anak tertua dipanti, yang artinya aku harus bisa bersikap dewasa dan menjadi contoh untuk adik-adikku," Adalvino tersenyum di akhir kalimatnya.

                Arunika dan Pak Anton saling tatap, hanya membayangkan apa yang harus dilalui oleh anak semuda Adalvino selama ini. Pak Anton menyadari sesuatu, yang sudah dikatakan oleh Adalvino bukanlah alasan sesungguhnya ia berada disini. Meski alasan itu benar, tapi ada alasan lain yang tidak diungkapkan oleh Adalvino.

                "Sudah nak Adalvino? Ada lagi yang mau disampaikan tidak? Bapak tidak tahu alasan pribadi apa yang kamu sembunyiin, tapi kalau kamu mau ngomong bapak pasti akan coba bantu. Oke?" Pak Anton menepuk kepala Adalvino dengan lembut sebagai wujud perhatiannya.

                "Apapun alasan kalian ikut olimpiade ini bapak yakin kalian bisa. Arunika, kamu pasti bisa! Adalvino, kamu pasti bisa!" Pak Anton menyemangati anak didiknya itu dengan penuh kehangatan.

                Adalvino yang tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah merasa senang dengan yang diucapkan oleh Pak Anton. Kekosongan dalam dirinya terasa sedikit terisi. "Iya Pak, terima kasih. Kapan-kapan aku cerita deh," ucap Adalvino.

                "Aku tahu kita belum terlalu dekat, tapi kalau kamu mau cerita aku juga siap kok jadi benteng curhatanmu, asal jangan nangis terus modus minta dipeluk aja," Arunika ikut bicara dengan sedikit candaan. Adalvino yang melihat kedua orang yang baru dikenalnya itu sangat perhatian padanya membuat hatinya tersentuh

                "Iya! Terimakasih ya, Pak Anton dan Arunika!"

                Keduanya tersenyum lembut sebagai jawaban. Adalvino yang besar dipanti asuhan mengerti betul mana orang yang benar-benar tulus, dan mana orang yang hanya pura-pura menunjukkan perhatian untuk mendapat pujian. Pencitraan. Sering kali ada donatur yang datang ke panti asuhannya hanya untuk sebuah konten, hanya untuk sebuah pujian dan hanya untuk menaikan pandangan masyarakat.

                Terkadang ia muak dengan hal itu. Entah kenapa itu terasa sangat menyinggung perasaan Adalvino. Disaat ia dan adik-adiknya kesulitan untuk makan, kedinginan dan kekurangan, orang lain malah memanfaatkan kondisinya itu untuk kepentingan mereka. Disaat Bunda Helen diam-diam berbohong bahwa ia sudah kenyang hanya agar anak-anak asuhnya makan lebih banyak, orang-orang munafik itu malah menganggapnya sebagai suatu kewajaran.

                Mereka tersenyum. Para donatur busuk itu tersenyum. Namun itulah kepalsuan. Meski bantuan mereka memang sangat dibutuhkan oleh panti, tapi ketulusan lebih penting dari apapun. Kami tak butuh dikasihani! Itulah pegangan Adalvino.

                Dari mata mereka, ia menemukan ketulusan. Sebuah kepedulian dan perhatian, bukan hanya rasa penasaran. Rasa ingin membantu, bukan rasa ingintahu untuk mengrecoki kehidupannya.

               

BAGIAN 3

KENANGAN HARI ITU

                Anak kecil itu duduk di kursi depan rumahnya sambil menopang dagu. Kakinya yang mungil melayang diatas kursi yang terlalu tinggi untuknya. Bocah berumur lima tahun itu sedang menunggu ibunya. Kini ia merebahkan kepalanya diatas meja, ia mulai bosan. Sudah berjam-jam ia menunggu wanita kesayangannya itu muncul dari balik pagar namun tak kunjung datang.

                Ia melangkah ke pekarangan untuk menghilangkan rasa bosannya. Berjalan menuju pohon alpukat besar yang ada disana lalu duduk dibawahnya. Menikmati hembusan angin untuk mengurangi rasa kesalnya. Tiba-tiba, prang! Suara benda pecah terdengar dari dalam rumahnya. Anak itu berlari untuk melihat apa yang terjadi. Ia khawatir Bi Ayu terluka.

                "Bibi?! Ada apa bi?" Adalvino kecil terkejut melihat vas bunga besar dekat sofa sudah pecah berserakan. Dilihatnya Bi Ayu sangat panic dan gelisah. Ia terlihat sangat terburu-buru. Ditangannya ada tumpukan baju milik Adalvino. Disampingnya terlihat sebuah koper.

                Ada apa ini? Bi Ayu kenapa mengemas pakaianku? Apa kita akan pergi jalan-jalan dan menginap di villa pinggir pantai seperti biasa? Adalvino yang masih kecil hanya bisa berpikir sebatas itu. Namun perasaannya merasakan sesuatu yang buruk. Ada apa ini? Ia terus berpikir seperti itu sampai tak sadar kini ia mulai menangis.

                "Vino sayang, dengerin bibi. Vino anak ganteng gaboleh nangis, ya. Sekarang Vino tunggu di depan terus ganti pakai sepatu ya nak, bibi mau berkemas dulu. Jangan nangis ya, nak," sambil memegang pundak Adalvino Bi Ayu mengelap air mata yang menetes di pipinya.

                Bagai kerbau dicocok hidungnya, Adalvino pun menuruti perkataan Bi Ayu dan melangkah ke depan. Ia menangis seorang diri di depan pintu sambil mengganti sandal yang ia gunakan dengan sepatu pemberian ibunya. Ia menunggu Bi Ayu keluar dan menjelaskan apa yang terjadi.

                Tak bebrselang lama, Bi Ayu keluar dengan membawa koper besar dan sebuah tas yang ia gendongkan dipundaknya serta tas kecil milik Adalvino. Ia memberikan tas kecil itu pada Adalvino agar ia menggendongnya.

                Bi Ayu kemudian menutup pintu dan menguncinya dengan rapat. Tangannya terulur meraih lengan kecil Adalvino lalu membawanya pergi dengan tergesa-gesa. Bisa Vino rasakan tangan Bi Ayu bergetar saat menariknya. Kian lama tangannya basah dibanjiri keringat. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa sampa tiba di pertigaan jalan terdekat.

                Terlihat sebuah mobil hitam terparkir disana. Bi Ayu menarik lagi tangan Adalvino, namun kini lebih lembut. Walau masih dirasainya Bi Ayu tetap seperti orang yang sedang dikejar sesuatu. Bi Ayu membuka pintu belakang mobil tersebut lalu menggendong Adalvino dan mendudukan dia disana.

                Seseorang meraih koper dan tas besar yang sedari tadi dibawa oleh Bi Ayu lalu meletakannya di bagasi. Ketika orang itu sedang membereskan bagasi, Bi Ayu menggenggam tangan Adalvino dengan tubuh bergetar.

                "Vino sayang, maafin bibi ya. Maaf bibi ga bisa terus jagain Vino. Maaf bibi gabisa main lagi sama Vino. Sekarang Vino harus ikut sama om supir yang baik ini ya. Tenang aja Vino ga akan dijahatin kok," Bi Ayu mencoba tersenyum walau air mata sudah menumpuk di kelopak matanya.

                "Bi, apa yang terjadi? Vino takut bi, Vino mau pulang aja." Adalvino merengek dengan air mata yang terus mengalir sedari tadi.

                "Vino dengerin bibi. Vino sayang sama bibi kan?" Adalvino mengangguk. "Vino juga sayang sama mama Vino kan?" Adalvino kembali menganggukan kepalanya.

                "Makannya, kalau Adalvino sayang sama bibi sama mama, Vino harus nurut ya, Vino ga boleh nangis. Nanti, kalau Vino sudah besar, aka nada saatnya Vino bakal ngerti sama semua ini. Oke sayang?" Bi Ayu memeluk Adalvino. Yang dipeluk hanya bisa menangis. Lalu pintu mobil pun ditutup, Adalvino menangis dengan kencang saat berpisah dengan Bi Ayu. Tersedu-sedu ia di kursi belakang mobil.

                Dirasainya perjalanan begitu jauh. Ia melihat pantai di kejauhan lewat jendela mobil. Perasaannya mulai tenang. Ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Ia mengelap matanya dengan punggung tangan lalu melirik ke arah depan, "Om supir," panggilnya.

                "Kenapa dek?" suara supir itu terdengar berat namun lembut.

                "Masih jauh ya om?"

                "Sebentar lagi nyambe kok, sabar ya dek." Supir itu sedikit tersenyum.

                Benar saja, tak lama kemudian sampailah mereka di depan sebuah bangunan mirip rumah berlantai dua dengan atap genteng yang terlihat usang. Adalvino turun dari mobil. Supir yang tadi mengantarnya mengambil koper dan tas dari bagasi lalu membuka pintu gerbang rumah tersebut. Di samping gerbang itu terdapat papan bertuliskan 'Panti Asuhan Philautia.'

                Kemudian seorang wanita seumuran ibunya keluar dan memeluk Vino. Hangat dan nyaman. Itulah yang ia rasa saat bertemu pertama kali dengan Bunda Helen. Dan setelahnya, tidak tahu apa alasannya Adalvino mulai tinggal disini, sebagai anak asuh Bunda Helen di panti asuhan ini.

                "Hei! Melamunin apa kamu Adalvino?" teguran Pak Anton menyadarkan Adalvino. Ia tidak sadar terhanyut dalam kenangan masa lalu sampai bisa melamun ditengah pelajaran yang di berikan Pak Anton.

                "Kamu sakit, Vin?" Arunika memiringkan kepalanya memperhatikan Adalvino yang terlihat sedikit pucat.

                "Eh, maaf. Saya tadi melamun." Adalvino gelagapan.

                "Tolong fokus ya. Besok kalian kan akan mulai karantina, jangan dulu mikirin hal-hal lain oke? Ingat, kalian punya tujuan yang harus di capai kan? Jadi ayo konsentrasi." Ucap Pak Anton dengan tegas.

                "Baik pak." Ucap mereka berdua bersamaan.

                Mereka kembali fokus pada soal-soal yang diberikan oleh Pak Anton. Pak Anton bilang kalau mereka sudah selesai mengerjakan soal-soal tersebut, mereka boleh pulang. Hal itu tentu membuat mereka jadi semangat utnuk mengerjakan soal agar bisa cepat pulang dan mengistirahatkan tubuh mereka.

                Diperjalanan pulang Arunika dan Adalvino mampir ke supermarket untuk membeli beberapa barang untuk karantina besok. Mereka mencari apa yang mereka butuhkan. Sikat gigi, shampoo, sabun dan beberapa camilan. Debaran di dada mulai terasa kala membayangkan karantina besok.

                Selesai berbelanja mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. dengan plastik putih yang mereka jingjing. Sepanjang perjalanan mereka banyak mengobrol dan bercanda, sampai Arunika mulai menyinggung kejadian saat bimbingan tadi.

                "Vin, tadi kamu beneran ga kenapa-napa? Mikirin apa sih, jangan bilang kamu grogi banget sampai gabisa fokus untuk besok," Arunika memasang tampang khawatirnya.

                Adalvino yang mendengar pertanyaan itu bingung harus menjawab apa. Tapi entah bagaimana ia merasa tidak boleh berbohong kali ini, "Aku teringat kejadian masa kecilku." Ucapnya dengan tatapan kosong.

                Arunika ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia ingin agar temannya itu bercerita tanpa paksaan. Terdengar Adalvino membuang nafas dengan berat. Wajahnya kembali kosong seperti tadi siang. Ada perasaan sedih yang turut hadir di hatinya saat melihat temanya seperti itu.

                "Mau ke pantai, Vin?" tanya Arunika dengan senyum manisnya.

                "Pantai? Kenapa tiba-tiba? Ini sudah sore Arunika, besok kan kita harus berangkat pagi-pagi." Adalvino mengerutkan alisnya

                "Kita lihat matahari terbenam, toh gak jauh juga dari sini. Ayo sebentar aja kok," Arunika menarik tangan Adalvino dan menggiringnya ke pantai terdekat yang ada disana. Mereka berlari kecil dengan langit oranye di atas mereka. Langit dengan matahari yang mulai menunduk pada bumi.

                Pemandangan pantai di sore hari seperti ini, entah kapan terakhir kali Adalvino melihatnya. Deburan ombak menyapu pasir putih di tepi pantai. Angin kencang yang bertiup memberikan kesejukan tersendiri. Lautan luas dengan cahaya kekuningan membuatnya rindu masa kecilnya. Mereka duduk di atas pasir putih lembut itu.

                "Dulu, waktu aku kecil aku sering di ajak oleh ibuku ke pantai seperti ini," Adalvino tiba-tiba membuka mulutnya dan berbicara. "Bi Ayu juga sering ikut. Kami biasa pergi selama dua hari. Di hari pertama, Ibu selalu ada dan bermain denganku sampai malam. Tapi di keesokan paginya, wanita yang penuh kehangatan itu selalu pergi entah kemana." Adalvino menatap laut dengan senyuman hangat, namun seketika matanya berubah nanar.

                "Kenapa anak kecil suka banget tidur ya?" Adalvino melontarkan pertanyaan dengan sedikit tawa miris.

                "Kata papaku dulu, anak kecil sengaja dikasih ngantuk yang banyak sama Tuhan supaya ga nangis dan rewel terus. Supaya ibu dan ayahnya gak repot." Arunika menjawabnya sambil memandangi langit.

                "Apa aku terlalu merepotkan sampai-sampai ibuku selalu meninggalkanku?" Adalvino bertanya lagi kini dengan suara yang lebih pelan.

                "Ga ada orang tua yang ngerasa repot sama darah dagingnya sendiri, Vino."

                Mendengar itu mata Adalvino terbuka. Entah kenapa perasaannya menjadi campur aduk. Benar. Ia tidak tahu apa masalah orang tuanya, ia juga tidak mengerti kenapa dulu jarang sekali ia bertemu ibunya. Jika memang ibunya merasa kerepotan, tidak mungkin kan ia terus datang dan sabar menghadapinya. Lagipula tak pernah ia lihat ibunya merasa jengkel atau kesal padanya.

                "Vin, apa aku boleh tahu alasan kamu yang sebenernya ikutan olimpiade?" Arunika bertanya dengan hati-hati. Adalvino tersentak dengan pertanyaan itu, namun tak lama kemudian ia memasang ekspresi yang sangat lembut dengan senyum yang melengkung manis di bibirnya.

                "Orang tua." Jawabnya singkat. Arunika hanya memicingkan matanya, menunggu kelanjutan dari kalimat yang dilontarkan Adalvino. "Aku punya orang tua, dan mereka masih hidup."

                Mata Arunika membulat mendengar hal itu. Angin berhembus semakin kencang menggiring ombak semakin brutal menghadang batu karang. Keheningan menyelimuti mereka, hanya ributnya angina dan ombak yang terdengar.

                Arunika mencoba memastikan, "Orang tuamu masih hidup?" Adalvino menoleh menatap Arunika dengan lembut. "Aku tak pernah bilang orang tuaku telah meninggal bukan?"

                "Darimana kamu bisa tahu? Lalu kenapa kamu bisa tinggal di Philautia?" Arunika dibuat kebingungan.

                "Aku hanya tahu saja, dan aku akan membuat mereka mencariku dengan olimpiade ini."

BAGIAN 4

KARANTINA

                Akhirnya tiba juga hari karantina yang di tunggu-tunggu. Dari sebelum ayam berkokok, Adalvino sudah berangkat ke Denpasar untuk berkumpul di sebuah hotel untuk karantina. Ditemani oleh Pak Anton dan Bu Jen, mereka pergi menggunakan minibus milik sekolah.

                Di sepanjang perjalanan, Arunika hanya tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela dengan earphone terpasang di telinganya. Sedangkan Adalvino, ia hanya menatap keluar jendela. Memandangi Bali di pagi hari. Matahari masih mengintip di timur, membuat pagi itu terasa dingin karena sinarnya belum menyiram bumi.

                Begitu sampai di hotel, Pak Anton dan Bu Jen pergi meninggalkan Adalvino dan Arunika untuk melakukan registrasi dengan panitia olimpiade. Adalvino yang merasa perutnya kelaparan mengajak Arunika pergi ke restoran yang ada di hotel untuk sarapan. Sambil menunggu makanan mereka datang, Adalvino dan Arunika memendarkan matanya. Terlihat ada banyak murid dari sekolah lain yang juga ikut karantina ini

                "Seneng ya Vin, bisa ikut karantina kayak gini. Tapi pasti kangen sama rumah deh," Arunika berbicara sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

                "Iya, lumayan juga dapet uang saku buat adek-adek di panti." Adalvino tersenyum membayangkan adik-adik asuhnya yang kurang lebih ada sembilan orang itu kegirangan saat mendapat uang jajan darinya.

                "Kamu ini lembut banget ya. Perhatian dengan adik-adikmu walau tidak sedarah,"

                "Hubungan darah bukan segalanya Aru. Banyak kakak-beradik yang malah saling bunuh. Yang terpenting itu bukan darah, tapi ini." Adalvino menunjuk dadanya.

                "Paru-paru maksudmu?" Arunika sengaja menjawab seperti itu untuk mengerjai Vino. Terlihat wajah Vino jadi merah karena malu dan kesal dibuat Arunika.

                "Tapi ngomong-ngomong Vin, kalau ga salah di panti Philautia kamu anak yang paling besar ya? Umurmu kan sudah 16 tahun, dan kamu pernah cerita sudah tinggal disana selama sebelas tahun. Masa tidak ada yang mau mengadopsimu?"

                Adalvino terdiam mendengar pertanyaan Arunika. Ia berpikir sejenak, karena merasa ragu untuk mengatakannya. Ia merasa tidak yakin karena ini hanya dugaannya saja. Ia kemudian menarik napasnya dalam dan membuangnya secara perlahan sebelum angkat bicara.

                "Sebenarnya aku merasa ini ada hubungannya dengan orang tuaku." Jawabnya dengan tatapan mata serius. Arunika dibuat terpaku olehnya.

                "Apa maksudmu? Coba jelaskan." Pinta Arunika.

                "Sulit untuk menjelaskannya sekarang. Tapi pokoknya, itu yang aku rasakan."

                Arunika hendak bertanya lebih jauh namun niatnya terhalang karena tiba-tiba ada dua orang yang menghampiri meja mereka.

                "Permisi, kami boleh ikut gabung disini ga? Meja lain sudah penuh soalnya." Terlihat dua orang murid menggunakan seragam dengan logo bertuliskan SMA BINAAN BANGSA. Wajah mereka sangat mirip namun rambut mereka berbeda. Yang satu panjang bahkan diikat, yang satunya lagi pendek.

                "Iya boleh, duduk aja kosong kok kursinya." Arunika menyambut dengan terbuka.

                "Terimakasih," ucap mereka berdua bersamaan.

                "Kalian kembar?" tanya Arunika dengan mata terkagum melihat dua orang kembar namun berbeda kelamin ini.

                "Iya, namaku Lea, kalau dia Leo. Aku lebih tua sepuluh menit dari Leo," Leandra, si kembar perempuan memperkenalkan diri mereka. Tak lama berselang, makanan yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba. Keempat murid olimpiade itu makan di meja yang sama sambil sesekali mengobrol.

                Suatu kebetulan yang luar biasa, Leo dan Adalvino ternyata satu kamar di hotel ini. Begitu juga dengan Lea dan Arunika yang sama-sama satu kamar. Itu karena mereka berdua juga adalah perwakilan kabupaten Jembrana. Arunika dan Adalvino senang dengan hal ini, karena Lea dan Leo kelihatannya anak yang baik.

                Mereka dikarantina selama satu minggu sebelum seleksi tingkat provinsi. Semua peserta olimpiade serasa memikul sebuah bom besar di pundak mereka yang sewaktu-waktu bisa saja meledak dan menghancurkan mereka. Seharian belajar di ruang karantina masing-masing, dijejalkan soal-soal latihan yang bahkan seharusnya belum mereka pelajari.

                Di ruang karantina 07, Adalvino dan Arunika di bimbing oleh Pak Anton dengan serius. Keheningan mengisi ruangan itu. Suara detik jam dinding yang menemani mereka. Keringat mengalir dipelipis mereka. Mata mereka fokus pada kertas yang ada dihadapan mereka. Kertas tes yang di buat Pak Anton untuk menguji kemampuan mereka.

                Sulit. Soal-soal yang ada diatas kertas itu benar-benar sulit. Namun Vino dan Aru tidak menyerah. Meski mengalami kesulitan, mereka menikmatinya. Semakin sulit sebuah soal, semakin menarik ia. Begitulah yang di rasakan kedua siswa yang gila belajar ini.

                Pak Anton melirik jam yang ada di tangannya, "Oke, waktu habis. Silahkan tinggalkan lembar jawaban kalian diatas meja. Sekarang kalian boleh istirahat. Hasil ujiannya akan bapa kirim lewat grup chat."

                "Baik pak, terimakasih." Jawab keduanya kompak.

                Adalvino memilih untuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arunika memilih untuk pergi mencari makan. Setibanya di kamar, Adalvino tersentak mendengar suara Leo yang sedang berbicara di telepon,

                "Cukup ya Ma! Kalau Mama sama Papa masih tetep mau ngambil keputusan itu, Leo sama Lea lebih baik pergi aja!" Leo terdengar sangat emosi.

                "...." Suara di telepon tidak terlalu jelas di dengar Adalvino

                "Apa? Bisa-bisanya Mama bilang kayak gitu. Apa yang harus dipilih Ma? Apa?! Leo sama Lea udah sering bilang ya, kami gaakan pernah milih mau ikut sama Mama atau ikut sama Papa!" Leo setengah berteriak. Urat-urat muncul di keningnya.

                "Demi kami? Kalau kalian memang memikirkan perasaan kami, harusnya dari awal keputusan ini gausah kalian buat! Pasti ada jalan keluar lain Ma... Kalau Mama dan Papa tetep ambil keputusan itu, kami lebih memilih untuk pergi. Sudah ya, kami harus fokus buat olimpiade lusa. Jangan ganggu kami." Leo memutuskan sambungan telepon dengan ibunya. Ia kemudian melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur lalu memijit keningnya yang terasa berkedut.

                Terdengar helaan nafas yang sangat berat. Adalvino menghampiri Leo dan duduk di sampingnya,             "Ada masalah Le?" tanya Adalvino lembut pada teman satu kamarnya itu.

                Leo terkejut karena tak menyadari kedatangan Adalvino. Ia pun ikut terduduk di pinggir tempat tidur, "Enggak kok, bukan apa-apa." Jawabnya dengan memalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya.

                "Ternyata bener ya kata kembaranmu si Lea, kamu ga bisa bohong orangnya," Adalvino terkekeh melihat tingkah Leo. "Mau cerita? Aku siap dengerin walau belum tentu bisa bantu, tapi seenggaknya perasaanmu akan lebih tenang." Adalvino memegang pundak Leo berusaha meyakinkan.

                "Sebenernya ini masalah keluarga sih Vin. Aku juga bingung mau nyeritanya kayak gimana, tapi intinya Mama Papa ku berencana untuk pisah." Terlihat raut kesedihan di wajah Leo.

                "Kamu tahu alasannya?"

                "Setahuku sih mereka ngerasa udah saling ga cocok lagi. Lucu ya, selama ini aku selalu berpikir pernikahan itu adalah hal paling serius yang akan di jalani oleh manusia. Tapi mereka dengan gampangnya ingin mengingkari janji suci mereka hanya karna alasan itu," Leo tersenyum lirih kala membayangkan keadaan rumahnya.

                "Itu sebabnya aku dan Lea belajar mati-matian, bahkan menjadikan satu sama lain sebagai saingan agar bisa mendapat banya beasiswa dan menghasilkan uang sendiri. Keluargaku memang bisa dibilang cukup kaya, tapi kami tidak mau menyentuh uang mereka." Lanjutnya lagi.

                Sepertinya Adalvino bisa mengerti perasaan Leo dan Lea. Mereka hanya memiliki satu sama lain. Orang tua yang hidup bersama mereka sedari kecil malah memberikan luka tersendiri bagi mereka. Adalvino jadi tahu, alasan mereka ikut olimpiade tak jauh beda dengan dirinya, untuk sebuah pengakuan dari orang tua.

                "Kalian beruntung, kamu dan Lea," Adalvino memasang ekspresi lembut di wajahnya. "Kalian bisa saling mengandalkan. Kalian pintar, bisa saling membantu. Dan aku yakin untuk masalah yang satu ini, kalian juga pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Semangat ya Le." Adalvino menepuk bahu Leo mencoba menyemangati.

                "Aku lemah banget ya Vin. Baru masalah kayak gini aja rasanya sudah meu menyerah. Aku tahu kamu berasal dari panti asuhan,tapi kamu terlihat jauh lebih kuat dariku." Leo menatap Adalvino, menunggu tanggapan darinya.

                "Bunda Helen sering bilang, kita harus belajar menerima luka, karena luka banyak mengajarkan betapa pentingnya menghargai sesuatu," ujar Adalvino.

                "Kamu tahu kisah tentang Kronos dari mitologi Yunani?" tanya Adalvino, Leo hanya memandanginya dengan kebingungan. Adalvino kemudian tersenyum.

                "Kronos adalah titan anak dari Uranus sang dewa langit dan Gaia sang dewi bumi. Kronos sangat berambisi terhadap kekuasaan, sampai ia bahkan tega mebunuh ayahnya sendiri dengan sebuah sabit untuk merebut kekuasaannya." Adalvino bercerita dengan pandangan lurus kea rah jendela besar di kamar hotel itu.

                "Setelah itu, Kronos mengambil Rhea sebagai istrinya. Namun Gaia yang murka karena Uranus suaminya terbunuh meramalkan bahwa keturunan Kronos akan melakukan hal yang sama terhadapnya. Mendengar itu, Kronos ketakutan. Itu sebabnya setiap kali Rhea melahirkan seorang anak, Kronos akan langsung memakannya hidup-hidup, itu terjadi sampai anaknya yang ke lima." Leo terkejut mendengar cerita kejam itu. Tapi ia penasaran dengan kelanjutannya.

                "Ketika Rhea melahirkan anaknya yang ke-enam, ia bersiasat agar anaknya ini tidak dimakan juga, ia menyembunyikan anaknya yang bernama Zeus itu ditempat Gaia dan memberikan sebuah batu yang dibalut dengan selimut untuk menipu Kronos." Adalvino menelan ludah untuk membasahi tenggorokkannya yang terasa kering lalu melanjutkan ceritanya.

                "Zeus kemudian tumbuh menjadi seorang dewa yang sangat kuat. Ia pergi menghadap Kronos dan memberikan sebuah ramuan buatan Gaia kepadanya. Sesaat seteleh diminumnya ramuan itu, Kronos memuntahkan semua anak yang telah di telannya. Karena mereka keturunan dewa, mereka tidak mati. Lalu terjadilah perang antara para titan dan dewa yang menyebabkan tergulingnya kekuasaan Kronos, tepat seperti yang di ramalkan oleh Gaia. Maka Zeus berkuasa atas langit mulai saat itu." Selesai cerita Adalvino, ia menatap ke arah Leo.

                "Apa maksudmu menceritakan kisah itu?" Leo semakin kebingungan dibuatnya.

                Adalvino tersenyum lalu kembali menatap ke arah jendela, "Itu yang kurang lebih sedang aku alami." Mata Leo membulat ketika mendengar penuturan itu. Apa maksudnya? Hal sekejam itu apakah terjadi pada temannya ini? Pertanyaan itu berputar di kepala Leo.

                "Aku mau membersihkan tubuh dulu ya." Adalvino bangkit dan pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Leo yang masih belum mengerti maksud dari Adalvino.

               

BAGIAN 5

TERUS MELANGKAH

                Akhirnya tiba juga hari yang ditunggu. Hari dimana para peserta olimpiade harus bersaing dengan peserta lain dari wilayah kabupaten yang berbeda. Semua itu demi melangkah menuju tingkat provinsi. Sebuah drum bermain di dalam dada Adalvino. Jantungnya berdegup kencang di tengah suasana riuh di aula tempat pelaksanaan olimpiade.

                Arunika menggenggam tangannya, bermaksud untuk membuatnya tenang, namun dirasainya tangan halus itu lebih bergemetar daripada tangan miliknya. Sudah lama ia tidak setegang ini. Lea datang dan duduk di samping mereka, ia hanya sendiri.

                "Dimana Leo?" Tanya Adalvino kala didapatinya hanya ada Lea saja. "Dia sedang di toilet, penyakit grogi berlebihnya kumat." Adalvino dan Arunika hanya membulatkan mulutnya tanda mengerti apa maksudnya.

                Terdengar suara dari ketua panitia melalui pengeras suara. Memberikan kata sambutan dan beberapa syarat serta ketentuan penilaian dari olimpiade ini. Penilaiannya terbagi menjadi kecepatan mengerjakan soal, ketepatan jawaban, kejelasan cara atau langkah-langkah dan yang terpenting adalah kejujuran.

                Semua hal itu sudah di ketahui oleh Adalvino dan Arunika dari Pak Anton. Kemudian ujian pun dimulai. Ujian terbagi menjadi dua, yaitu secara tertulis dan secara lisan. Untuk bagian tertulis dilakukan secara individu, lalu setelahnya dimulailah perlombaan secara lisan yang dilakukan bersama tim satu sekolah.

                Suasana tegang terus menyelimuti mereka. Tak hanya Adalvino dan Arunika saja, tapi Lea dan Leo serta para peserta lain juga merasakannya. Semua berusaha sekuat tenaga. Mengerjakan setiap soal dan menjawab semua pertanyaan dengan segala yang mereka mampu.

                Pensil dan pulpen yang bergantian menari di atas kertas, segala coretan yang ada di kertas adalah bukti seberapa keras mereka mengerahkan kemampuan mereka. Saat menjawab soal secara tertulis, Adalvino tampil sebagai orang pertama yang mampu menyelesaikan setiap pertanyaan tersebut.

                Akhirnya sampailah pada saat yang paling ditunggu-tunggu. Pengumuman yang akan menentukan siapa yang kelak akan menjadi perwakilan Provinsi Bali untuk tingkat nasional. Para peserta duduk di aula. Terdengar sedikit gaduh dari bibir yang memanjatkan doa. Adalvino memejamkan matanya, digenggamnya tangan Arunika. Keduanya berdoa dalam hati masing-masing, berharap segala usaha yang selama ini mereka lakukan akan membuahkan hasil.

                Teringat usaha-usaha yang mereka lakukan. Menyiapkan alarm pukul dua pagi hanya untuk membuka buku dan memahaminya lebih dalam. Mengerjakan soal-soal bagai neraka. Bahkan terkadang rasa mual memenuhi perutnya.

                "Kalian jangan tegang. Bapak yakin kalian pasti lolos, tak ada usaha yang tidak membuahkan hasil. Dan sejauh yang bapak tahu, kalian sudah berusaha lebih dari siapapun." Ujar Pak Anton yang duduk di samping Arunika dengan mantap.

                "Tenang Leo, kita pasti lolos. Tidak, kita harus lolos." Lea menggenggam tangan Leo dengan sangat era, sampai terlihat ada gemetar disana. Leo yang sangat takut namanya tidak disebut dapat merasakan ada jantung yang siap keluar dari telinga nya.

                "Baiklah, seperti yang sudah di beritahukan di awal, bahwa yang akan menjadi perwakilan Provinsi Bali dalam Olimpiade Nasional ke-42 adalah empat orang. Bisa jadi dari sekolah yang berbeda, bahkan dari daerah yang berbeda juga." terdengar salah satu juri berbicara di atas panggung.

                "Baiklah tanpa berlama-lama, saya akan umumkan juara harapan 1, walaupun tidak akan melangkah ke tingkat provinsi, tapi akan mendapat rekomendasi untuk masuk universitas kelak. Selamat kepada I Nyoman Pica Alexander dari Denpasar!" terdengar suara riuh dari tepuk tangan para audience.

                Yang disebut namanya pun maju kedepan untuk diberikan sebuah piagam dan medali. Meski kurang puas dengan hasil yang ia dapatkan ia cukup merasa senang untuk prestasi yang membanggakan ini,

                "Selanjutnya untuk juara empat yang akan melanjutkan ke tingkat Provinsi, selamat kepada Leandra Adnyana Ageng dari Jembrana!." Mendengar itu Lea sontak berteriak dambil menutup mulutnya. Dipeluknya kembarannya Leo, terasa haru diantara mereka.

                Lea masih tidak menyangka dengan yang di dengarnya. Leo mengusap-usap punggung kembarannya sambil berbisik di telinganya, "Selamat ya Lea," senyumnya  terukir. Terasa pelukan Lea kian erat di tubuhnya. "Udah dulu Lea, cepet maju. Jangan sampai aku yang ambil medali itu." Ucap Leo.

                Lea maju ke atas panggung dengan senyuman dan mata sedikit berkaca. Suara tepukan tangan terdengar riuh. Adalvino dan Arunika turut senang untuk kemenangan Lea. Namun suasana kembali hening kala sang juri ingin lanjut memanggil juara ketiga.

                "Untuk juara ketiga, berasal dari Jembrana juga. selamat kepada Arunika Effemia Bumantara!" Arunika mematung mendengar namanya disebut. Namun kemudian Pak Anton memintanya untuk maju tanpa berlama-lama. Sesampainya di atas panggung, Lea memeluk Arunika dan memberikan selamat kepadanya.

                "Selanjutnya untuk juara kedua, kali ini seorang laki-laki. Selamat kepada Leondre Abirama Ageng dari Jembrana!" Leo melompat sambil mengepalkan tangannya ke udara dan berlari menuju ke atas panggung.

                Dihampirinya Lea lalu di dekapnya saudarinya itu, "Akhirnya Le, dengan begini semoga Mama dan Papa dapat sadar dan berubah pikiran." Bisik Leo kepada Lea.

                "Wow, ternyata kedua anak kembar ini luar biasa! Keduanya melangkah ke tingkat yang lebih tinggi bersama! Benar-benar mengagumkan!" ujar salah satu MC dengan pengeras suara.

                Leo mencolek Lea agar memberikan telinganya, "Dengan begini aku yang menang kan? Kamu ke empat, aku kedua. Jangan lupa taruhan kita oke mbok?" Leo sukses membuat Lea kesal karena mengingat taruhan yang terjadi di antara mereka sebelum olimpiade. Yang peringkatnya lebih rendah harus mentraktir yang menang untuk makan malam selama dua minggu.

                Seperti anak kembar pada umumnya. Penuh pertengkaran. Penuh persaingan. Penuh pertaruhan. Tapi yang penting selalu kompak.

                "Baiklah, ini nama yang paling ingin di ketahui oleh semua orang. Nama dari juara pertama. Nama itu kini ada di tangan saya," ucap juri itu sambil mengangkat kertas bertuliskan nama yang hanya bisa dilihat olehnya. "Juara pertama yang akan menjadi harapan Provinsi Bali adalah...." Ia sengaja memberikan jeda yang panjang di akhir kalimatnya.

                Adalvino memejamkan matanya dan menunduk sambil mengepalkan kedua tangannya. Berdoa dalam hati, berharap namanya yang disebut.

                "Selamat kepada Adalvino Ferianto Ranggana dari Jembrana!" Pak Anton langsung memeluk murid bimbingannya itu. Mengacak-acak rambutnya lembut sebagai tanda pujian.

                "Ada apa ini, semuanya dari Jembrana! Tak di sangka kabupaten terkecil di Provinsi ini adalah gudangnya anak-anak berbakat!" Adalvino mendengar itu sambil melangkah menuju panggung. Dadanya dipenuhi dengan kebahagiaan.

                Sesampainya di atas panggung, ketiga sahabatnya itu langsung memeluknya. Saling memberikan selamat dengan penuh senyuman. Acara pun berlanjut dengan pembagian hadiah dan sesi foto. Pak Anton sebagai pembimbing juga diundang naik ke atas panggung.

                Selesai sudah tahap penyisihan yang menegangkan itu. Vino, Aru, Lea dan Leo masih bersama di lobi hotel. Mereka merasa sangat senang dan bangga pada diri sendiri. Dengan begini, aku masih bisa terus melangkah! Begitulah yang diucapkan oleh setiap mereka.

BAGIAN 6

DI PANTAI ITU

                Olimpiade tingkat provinsi akan diadakan sebulan lagi. Setelah olimpiade terakhir, Adalvino, Arunika, Leandra dan Leondre pulang ke rumah masing-masing. Tapi hari ini, mereka sedang berlibur di Pantai Legian untuk menghilangkan stress.

                Mereka tidur di villa keluarga milik Lea dan Leo. Adalvino ingat, dulu Leo pernah bilang keluarga mereka cukup kaya, namun saat melihat villa keluarganya ia sadar bahwa ini bukan hanya cukup kaya. Villa berlantai dua yang dipagari dengan pagar tinggi yang megah. Villa berwarna coklat muda dengan kolam renang di belakangnya terlihat sangat terawatt meski jarang di tempati.

                "Masih jam 9.00 pagi, gimana kalau kita pergi ke pantai? Main selancar atau banana boat sepertinya menyenangkan." Ujar Lea sambil melahap sarapannya.

                "Ide bagus. Sekalian berjemur juga mumpung belum terlalu panas." Arunika menyetujuinya. Ia sudah membayangkan bagaimana nyamannya berbaring dibawah sinar mentari pagi yang hangat. Berbaring di atas karpet putih pasir tepi pantai sambil mendengar deburan ombak.

                Para lelaki, Vino dan Leo hanya bisa mengikuti keinginan dua gadis itu. Untuk menuju ke Pantai Legian, mereka hanya perlu berjalan kaki. Keempatnya berjalan di trotoar yang mulai ramai oleh para pedagang kaki lima.

                "Aru, haruskah kamu pakai topi sebesar itu?" tanya Adalvino karena merasa kurang nyaman melihat topi besar berada diatas kepala mungil Arunika.

                "Vin, ini tuh salah satu dari perlindungan tubuh. Kita gatau kan bakal di pantai sampai kapan. Dan lagi, ini untuk fashion." Jawab Arunika. Yah sebenarnya menurut Adalvino topi itu memang sangat cocok untuknya.

                "Kamu manis banget kok pakai topi kayak gitu Arunika." Leo yang berada di belakang Arunika tiba-tiba ikut berbicara. Arunika langsung menoleh, dilihatnya Leo sedang menunjukan cengirannya. Memamerkan jajaran gigi putih yang rapi. Arunika sedikit merona dibuatnya.

                "Wah, Leo udah mulai goda-godain cewek ya sekarang," Lea menarik kuping Leo sambil sedikit mencibirnya. "Jangan macam-macam kamu. Mbok mu ini aja belum pernah deket sama cowo, jangan ngelangkahin orang yang lebih tua ya!" Lea berbicara tanpa melepaskan tangannya dari kuping Leo.

                "Lea! Lepasin Lea, malu ini di tengah jalan. Lagian lebih tua apanya? Cuma beda 10 menit doang mana bisa disebut lebih tua." Leo memasang wajah cemberut yang lucu sampai mengundang gelak tawa teman-temannya.

                Angin laut membelai wajah Arunika, membuat rambutnya berantakan karna angin yang menamparnya dari berbagai arah. Angin itu membawa terbang topi yang tadi dipakainya. Tangannya berusaha menggapai topi itu namun sia-sia. Adalvino berusaha membantu, namun topi itu digiring ke lautan.

                Adalvino ingin mengejar topi itu ke laut, namun ia mnegurungkan niatnya. Dilihatnya ada seorang pria berjalan ke arahnya sambil membawa topi Arunika. Pria berusia 40 tahunan itu hanya memakai celana renang. Ia berjalan sambil mengelap wajahnya dari air laut.

                Adalvino terpaku. Tubuhnya tak bisa bergerak. Matanya membulat dengan sempurna, ia dapat merasakan tangannya mulai dingin dan basah. Bukan karna angin maupun air laut, tapi karena sosok yang dilihatnya ini.

                "Ini topimu?" Pria itu bertanya dengan suara barintonnya.

                Adalvino masih tak berkutik. Ia hanya menatapnya tanpa berkedip sekalipun. Membuat pria yang ditatapnya ini kebingungan. Arunika yang melihat itu juga turut kebingungan. Ia kemudian berlari begitu merasakan aura ketegangan disana.

                "Aduh makasih banyak ya Bli Gus. Maaf merepotkan." Arunika berbicara dengan sangat sopan. Melihat yang berdiri di hadapannya ini bukan orang sembarangan.

                "Iya gak apa-apa dek, saya senang bisa membantu." Ucap pria itu tersenyum kemudian berlalu pergi. Arunika menundukan badannya sebagai wujud kesantunan. Gadis itu kemudian menoleh ke arah Adalvino, dilihatnya pemuda itu masih mematung disana.

                "Vino! Kamu kenapa sih, kamu sakit? Gaenak badan atau mabuk laut?" Arunika menepuk punggung Vino lalu meletakkan punggung tangannya di kening pemuda itu. Suhu tubuhnya normal. Tapi wajahnya sangat pucat.

                "Kamu kenal orang tadi Aru?" Adalvino tersentak lalu bertanya tentang pria tadi. "Apa kamu kenal sama dia?" ia bertanya lagi.

                "Aku ga kenal sih, cuma tahu aja. Dia bukan orang sembarangan. Pengusaha di berbagai sektor, transportasi, perkebunan, dan yang sedang berkembang sekarang adalah usahanya di bidang makanan. Di sekitar sini ada pusat restorannya." Jelas Arunika.

                Adalvino hanya menyimak. Fikirannya melayang entah kemana. Lagi-lagi Arunika dibuat kebingungan olehnya.

                "Hei! Ini air kelapanya udah dateng!" Leo berteriak dari bawah paying pantai di tepi sana. Arunika kemudian mengajak Adalvino untuk kembali. Mereka menikmati air kelapa muda segar yang diminum langsung dari batok kelapa itu. Semuanya gembira, kecuali Adalvino yang pikirannya sedang hanyut bagai dibawa ombak kedasar laut yang gelap.

                "Vin, aku belum ngabarin ke kamu ya, orang tuaku akhirnya membatalkan niat mereka untuk berpisah." Leo yang duduk di samping Adalvino menyeruput air kelapanya dengan mata cerah.

                "Oh ya? Selamat ya, aku ikut seneng buat kalian berdua." Vino yang mendengar hal itu turut bahagia mengetahui sahabatnya ini kini bisa berwajah ceria. Tentu saja, keluarga yang asalnya sedang berada di ujung tanduk, kini bisa kembali bahagia seperti semula.

                Leo dan Lea kemudian menceritakan semuanya. Tentang orang tuanya yang sadar bahwa mereka tidak bisa egois tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya. Tentang orang tua mereka yang sangat bangga melihat anak-anaknya berprestasi. Tentang bagaimana kedua orang tuanya itu ingin agar anak-anaknya bahagia.

                "Kalau kamu gimana Arunika? Apa usaha kamu kemaren bisa bikin orang tua kamu jadi lebih terbuka pikirannya?" Adalvino jadi teringat juga akan masalah yang harus dihadapi oleh Arunika. Arunika tersenyum,

                "Ayahku sih jadi dukung banget. Soalnya dia ternyata diem-diem nyari info gitu tentang cita-citaku buat kerja di NASA. Ayah bilang itu cita-cita keren banget. Dan ternyata perempuannya juga ga sedikit yang kerja disana. Seneng banget deh pokoknya dapet dukungan ayah." Arunika bercerita panjang lebar dengan wajah yang riang.

                "Lalu ibumu?"tanya Adalvino tepat ke intinya tanpa basa-basi. Wajah riang Arunika lenyap. Kini matanya nanar. Bibirnya tersenyum getir

                "Ibu jadi ga larang aku kuliah sih, dia jadi ngijinin. Tapi alasan dia ngijinin aku kuliah bikin hati aku bener-bener kacau," Arunika menarik nafas sebelum meneruskan. "Dia bilang wajahku sudah tersebar dimana-mana sebagai perwakilan Provinsi Bali. Tetangga juga sudah banyak yang tahu. Pasti malu kalau tahu nantinya aku malah tidak diizinkan kuliah." Matanya sayup menunjukan kepedihan.

                Lea memeluk Aru berusaha memberi ketegaran untuknya. Tak terasa waktu berlalu. Sang surya sudah berada di ujung lautan, perlahan tenggelam membuat pantulan bagai lava tumpah di atas laut berombak. Pemandangan matahari terbenan yang indah. Keempat manusia itu duduk berjajar di atas pasir putih Pantai Legian.

                Menikmati masa muda yang indah ditemani oleh deburan ombak yang menyapu tepi pantai. Angin berhembus membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Tubuh mereka kedinginan, namun hati mereka dipenuhi dengan kehangatan.

                "Sudah gelap. Ayo kita pulang." Ajak Leo kepada kawan-kawannya sambil bangkit berdiri.

                "Sekalian makan malam saja di luar." Lea turut bangkit lalu membersihkan pasir yang menempel di celananya.

                "Aru, kamu bilang di sekitar sini ada restoran milik pria tadi. Bisa kita kesana?" tanya Adalvino pada Arunika. Arunika mengangguk dan menggiring teman-temannya ke restoran itu.

                Sesampainya di depan restoran, terdapat tulisan besar yang menyala kuning di atas atap bertuliskan 'Ranggana'S Restaurant' yang sangat mencolok. Adalvino berdegup saat melihat itu.

                "Ranggana? Seperti namamu ya Vin? Adalvino Ferianto Ranggana kan?" Lea berceletuk membuat suasana tiba-tiba jadi canggung.

                "Ayo masuk, aku sudah laper banget!" Leo berusaha mencairkan suasana lalu meraih Lea kembarannya dan merangkulnya sangat kencang di ketiaknya sampai ia merasa tercekik.

                Mereka berempat masuk kedalam restoran itu lalu memilih duduk di meja yang dekat dengan kasir. Mereka memesan makanan lalu menunggu. Mereka mengisi waktu dengan cara masing-masing. Mata Adalvino berpendar ke segala arah.

                Ia sedang mencari. Sesuatu atau mungkin seseorang. Ah, ia jadi tegang saat membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Ia mencari pria tadi siang. Pria yang mengambilkan topi milik Arunika. Pria yang memiliki restoran ini. Pria yang sangat mirip dengan sosok yang ada di foto yang dulu diberikan oleh Bi Ayu.

                "Vin, kenapa? Dari tadi diperhatikan kamu sangat gelisah." Leo menegur Adalvino. Yang di tegur sedikit terkejut. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, lalu berbicara dengan pelan kepada Leo,

                "Kamu ingat cerita tentang perang antara titan dan para dewa?" tanya Adalvino. Leo hanya mengangguk. "Cerita itu pertama kali aku mendengarnya dari ibuku saat aku masih sangat kecil. Ia selalu menceritakan tentang mitologi Yunani, tapi cerita tentang Kronos dan anak-anak dewa itulah yang paling sering ia ceritakan."

                Adalvino menelan salivanya lalu melanjutkan, "Disini ada Zeus." Ucap Adalvino dengan mata serius. Zeus? Dewa petir dan langit maksudnya? Leo kebingungan.

                "Aku ke toilet dulu ya." Adalvino pun pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya. Saat ia keluar dari toilet itu, dilihatnya pria tadi pagi memakai jas. Terlihat seperti bos-bos mafia yang biasa ada di dalam film. Adalvino terkejut. Tapi, tanpa pikir panjang Adalvino mengikuti lelaki itu diam-diam.

                Ia tidak mengerti kenapa ia sampai harus melakukan ini. Pikirannya dipenuhi awan. Perasaannya kacau. Diikutinya lelaki ini sampai di bagian restoran yang sangat sepi. Tak ada orang lain yang nampak lalu-lalang. Untuk benafas pun Adalvino harus menahannya.

                Pria itu masuk ke salah satu ruangan yang ada di lantai dua restoran. Sepertinya itu adalah ruang pribadinya. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, membuat Adalvino bisa sedikit mengintip ke dalamnya. 'Uh, tidak terlihat apa-apa' batin Adalvino gusar.

                Ia mendekatkan kupingnya kea rah pintu itu, barangkali akan terdengar sesuatu disana. Ia menutup matanya untuk mempertajam pendengarannya, dan akhirnya samar-samar ia bisa mendengar suara dari balik pintu itu.

                Setidaknya terdengar ada tiga orang di dalam sana. Yang pertama suara barinton lelaki tadi, lalu suara anak kecil dan juga suara lembut ibunya. Apa? Ibu? Itu suara ibuku? Batin Adalvino berteriak kala menyadari ada suara wanita yang paling ia rindukan selama ini. Tanpa sadar, ia mendorong pintu yang ada di hadapannya untuk melihat apakah benar pemilik suara itu adalah ibunya.

                Namun apa yang dilihatnya malah membuat perasaannya terluka. Dapat ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, dihadapannya sang ibu sedang mencumbui seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun dengan begitu mesra.

                Lelaki itupun turut memanjakan anak perempuan itu. Ia sudah tahu, lelaki itu adalah ayahnya. Ayah kandung yang tidak pernah ia lihat seumur hidupnya sampai siang tadi. Dan wanita itu, ia berani bersumpah bahwa wanita itu adalah sosok 'ibu' yang selalu ia nanti kedatangannya.

                "Ibu...?" lirih Adalvino dengan mata berkaca-kaca.

                Suara Adalvino memang pelan, namun dapat terdengar jelas di ruangan itu. Ketiga orang yang nampak seperti keluarga paling bahagia di bumi itupun menoleh.

                "Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada disini?" sosok yang ia yakini adalah ayah di hidupnya itu maju sambil mengangkat telunjuknya.

                Adalvino menatap mata lelaki itu. Tidak dengan tatapan takut seperti tadi siang, tapi dengan tatapan nanar. Sorot mata yang mengisyaratkan penderitaan. Adalvino melirik ke arah sofa tempat ibunya duduk. Dilihatnya wanita itu hanya menutup mulutnya dengan mata terbelalak.

                "Ibu masih inget Vino kan?" ucap Adalvino sambil tersenyum getir dengan suara yang parau. Air mata menumpuk di kelopak matanya. "Ibu inget Vino kan bu?" tanya Adalvino lagi dengan suara yang bergetar menahan tangis. Namun percuma, air matanya malah menetes dengan deras.

                "Saya tanya siapa kamu?! Berani-beraninya kamu masuk kesini?!" pria itu kini berteriak membentak Adalvino, membuat anak perempuan yang ada dibelakangnya ketakutan dan menangis. Hal itu sontak membuat ayahnya berbalik dan berusaha menenangkan anaknya dengan sangat lembut.

                Dilihatnya wanita itu juga turut menenangkan anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Sungguh menampar hati. Pelukan yang ia berikan untuk anak itu adalah pelukan yang paling ia rindukan sepanjang hidupnya. Belaian lembut jemari diatas kepala itu juga yang ia sangat inginkan setiap harinya.

                Selama ini, Vino berpikir ibunya mungkin merasakan kerinduan yang sama dengannya. Ibunya juga mungkin menantikan hari dimana mereka bisa bertemu. Namun kenyataan tak seindah harapan. Yang ia lihat dihadapannya ini sekarang adalah fakta. Fakta bahwa perempuan nomor satu dihidupnya bahkan pura-pura tak mengenalinya.

                "Ibu.... Ini Vino, ini anak yang dulu ibu buang ke panti asuhan." Adalvino melangkah mendekati ibunya. Air matanya mengalir. Lelaki yang tadi marah-marah kepadanya kebingungan. "Anak? Apa maksudnya ini Adelia?" tanya lelaki itu pada sang istri.

                "Aku juga ga ngerti Mas. Aku gak kenal dia siapa." Deg! Bom di dada Adalvino meledak.

                Wanita itu menatap Adalvino sambil menangis dengan tatapan takut. Rasa tidak adil memenuhi dadanya. Adalvino sudah tidak bisa berfikir jernih lagi.

                "Aku anak yang sejak bayi kau titipkan pada seorang pengasuh! Anak yang kau asingkan di sebuah rumah yang tak bisa aku ingat ada dimana! Aku anak yang kau berikan jarak dengan keluargaku! Kau sembunyikan aku dari ayahku!" Adalvino berteriak dengan wajah merah padam.

                "Sebelas tahun yang lalu, aku menunggumu. Sebelas tahun yang lalu, selama berjam-jam aku duduk dengan bodohnya menunggumu datang ibu...." Adalvino menarik napasnya kasar, dadanya sesak. "Aku menunggumu penuh harap, berharap kau akan datang memeluk dan menciumku seperti yang kau lakukan pada anak itu," Adalvino menunjuk kea rah anak kecil itu dengan tatapan penuh amarah,

                "Aku menunggu cintamu, tapi apa yang kau lakukan? Kau membuangku. Sudah cukup aku menderita hidup kesepian selama lima tahun, tapi kau malah menambah penderitaanku dengan mengirimku ke Philautia!" Adalvino ambruk. Terduduk ia di lantai yang dingin. Dilihatnya sosok ibu itu menangis tanpa suara. Sedangkan lelaki tadi hanya menatapnya dengan tatapan tajam.

                "Kenapa ibu menangis? Apa ibu sudah mengingatku? Atau ibu sudah mengingat penderitaan apa yang ibu beri untukku? Jawab bu! Jawab Vino!" Adalvino kembali berteriak.

                Wanita itu tersentak, ia kian tersedu, "Maaf" ucapnya pelan.

                Adalvino menatapnya dengan tatapan sendu. "Ayah...." Tatapan Adalvino beralih kepada lelaki itu. Pria itu terkejut dengan apa yang di dengarnya tadi. Namun sesuatu di dalam hatinya merasa nyaman dipanggil begitu dengan anak ini.

                "Kau bicara padaku?" pria itu menatap Adalvino.

                "Aku hanya mencobanya. Setidaknya, sekali seumur hidup aku ingin memanggilmu dengan panggilan yang seharusnya." Air mata masih mengalir dengan deras disana.

                "Sebelas tahun aku hidup dengan penderitaan. Sebelas tahun aku harus berbagi makanan dengan adik-adik asuhku di panti. Sebelas tahun aku tidur dengan kasur tipis dan selimut usang yang selalu membuatku gatal. Tapi kalian dengan luar biasanya bisa hidup dengan nyaman diatas segala kesulitanku," Adalvino belum puas mengutarakan isi hatinya.

                "Ayah benci sama Vino? Aku dulu tidak terlalu memikirkannya karena saat itu ada ibu yang sesekali mengisi kekosonganku. Tapi ternyata ibu yang kupikir akan melindungiku, malah melakukan hal yang sama." Adalvino kini melihat ke arah anak kecil yang sedang duduk dipangkuan ibunya. "Anak itu sangat mirip dengan ibu. Cantik. Jangan lakukan hal yang sama padanya ya." Ucap Adalvino tersenyum miris.

                "Cukup! Lebih baik sekarang kamu keluar dari sini. Jangan buat keributan lebih dari ini." Lelaki itu mengusir Adalvino. Luka yang ada di dada Adalvino terasa semakin dalam dibuatnya.

                "Senang bertemu kalian." Adalvino pun berlalu pergi sesuai permintaan mereka.

BAGIAN 7

KEBENARAN

                Sudah dua minggu setelah kejadian di restoran itu. Dan mulai hari ini, Adalvino serta ketiga temannya yang menjadi perwakilan Provinsi Bali mulai menjalani karantina kembali. Semuanya sangat fokus dan belajar dengan giat. Tak jarang mereka bergadang semalaman hanya untuk memecahkan sebuah soal.

                Adalvino masih belum bisa melupakan kejadian di restoran itu. Pikirannya benar-benar kacau. Saat ini ia sedang berjalan di tepi pantai sendirian untuk menenangkan pikiran. Bimbingan hari ini memang selesai lebih cepat karena Pak Anton sedang ada perlu.

                Adalvino duduk di atas pasir putih itu sambil memandang ke kejauhan. Saat fikirannya sedang tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba sesuatu menabraknya dan bruk!

                "M-maaf k-kakk.... Aku ga sengaja...." Terlihat seorang gadis kecil sedang menangis sambil berusaha mengangkat sepeda yang menimpa kakinya.

                Adalvino terkejut saat melihat anak yang menabraknya dengan sepeda itu adalah anak yang dua minggu lalu dilihatnya di restoran. Terlihat darah keluar dari tungkai anak itu, tanpa pikir panjang Vino mengangkatnya anak itu dan membawanya ke jongko terdekat untuk membeli P3K untuk membersihkan luka itu.

                Dibersihkannya luka itu dengan hati-hati, sambil meneteskan alcohol ke atas kapas, Adalvino bertanya, "Siapa namamu?" sambil meringis menahan rasa sakit, anak itu menjawab "Caca," Adalvino tersenyum melihat ekspresi Caca yang menahan rasa pedih saat Vino membersihkan lukanya.

                "Caca sama siapa kesini?"

                "Sama papi," jawabnya polos

                "Terus papinya ada dimana sekarang?"

                "Tadi bilang mau beli jagung, tapi Caca gatau lagi papi kemana." Jawab Caca lagi lewat bibir mungilnya.

                Adalvino kemudian meminta Caca untuk menunggu dan jangan pergi kemana-mana. Ia berniat mencari ayahnya. Entah kenapa, Adalvino merasa harus bertemu dengan sang ayah.

                "Adalvino?" suara yang tak asing memanggilnya. Adalvino menoleh ke sumber suara dan didapatinya sosok yang sedang ia cari.

                "Ternyata benar Adalvino. Ada yang mau  saya bicarakan." Sang ayah pun mengajak Adalvino untuk duduk di bawah saung yang terbuat dari batang pohon kelapa.

                "Sebelumnya saya mau minta maaf." Lelaki itu menundukan kepalanya, tak berani menatap Vino.

                "Saya tidak tahu apa yang sudah kamu alami selama ini. Maaf saya tidak pernah tahu keberadaanmu." Adalvino menatap ayahnya dengan tajam, "Bukankah kamu yang tidak menginginkanku? Bukankah kamu yang ingin membunuhku duluan?" tanya Vino dengan nada yang meninggi.

                "Sepertinya kamu sudah salah paham. Salah paham seperti ibumu." Adalvino bingung dengan maksud dari perkataan ayahnya ini. "Salah paham? Apa maksudnya?"

                "Dulu, jauh sebelum saya menikah saya menjebloskan ayah saya sendiri kedalam penjara. Secara otomatis perusahaan jadi jatuh ketangan saya. Memang betul saya sangat berambisi terhadap kekuasaan. Tapi menjebloskan ayah sendiri kedalam penjara tanpa sebab itu terlalu gila kan?" Adalvino mendengarkan dengan serius.

                "Setelah beberapa tahun, saya menikah dengan ibumu. Saat itu perusahaan sudah mulai berkembang dengan pesat. Sebelum melahirkanmu, ia pernah mengandung namun keguguran. Itu salah saya. Anak pertama kami meninggal saat masih berbentuk janin karena kecelakaan yang saya lakukan. Itu benar-benar tidak bisa di hindari." Pria itu menarik nafasnya panjang sebelum melanjutkan kembali.

                "Musibah memang tidak bisa dihindari kan? Tapi ibumu menganggap aku sengaja mencelakai anak kami karena takut suatu saat nanti anak itu akan merebut kekuasaanku. Bagaimana mungkin aku berpikiran seperti itu saat aku benar-benar menginginkan seorang buah hati?" terlihat raut kesedihan diwajahnya.

                "Tak lama, ibumu mengandung lagi. Dan kali ini kandungannya lancar sampai sembilan bulan. Namun pada malam ia melahirkan, aku sedang tidak ada didekatnya karena urusan bisnis. Dan kabar yang aku dengar, anakku lagi-lagi mati. Kali ini karena terlalu banyak menelan air ketuban dan hal lain." Adalvino sedikit terkejut mendengar hal itu. Namun kemudian sang ayah kembali melanjutkan ceritanya.

                "Dan beberapa minggu yang lalu, akhirnya saya sadar bahwa anak itu tidak pernah mati. Dua minggu lalu, saat kamu datang akhirnya saya sadar bahwa selama ini Adelia sudah berbohong dan memalsukan kematianmu hanya karena takut aku akan mencelakaimu, seperti kisah Zeus." Adalvino terkejut mendengar kebenaran itu.

                "A-ayah minta maaf." Untuk pertama kalinya, ia menyebut dirinya ayah untuk Adalvino. Adalvino bingung harus menyalahkan semua penderitaannya pada siapa jika semua kesulitannya dan luka yang diterima nya ini terjadi hanya karena salah paham.

                Setelah perbincangan itu, Adalvino kembali ke hotel tempat karantina nya. Tadi ia banyak bercerita kepada ayahnya tentang kehidupannya selama ini termasuk alasannya ada disini dan mengikuti olimpiade. Entah bagaimana amarah yang selama ini menumpuk di dadanya tiba-tiba lenyap.

                Ia merasa sangat nyaman dengan ayahnya. Ia ingat tadi ayahnya menawari dirinya untuk tinggal bersama dengan keluarga mereka yang sesungguhnya. Ada keraguan saat menjawab pertanyaan itu. Ia teringat keluarga asuhnya di Philautia. Ia meminta untuk diberikan waktu agar bisa berfikir.

                Setelahnya, segala kesalahpahaman yang terjadi antara ibunya pun juga diselesaikan dengan baik. Tak ada amarah. Tak ada dendam. Entah dari mana Vino mendapatkan kedewasaan seperti ini.

                Bebannya terasa berkurang. Kini ia bisa kembali fokus dengan olimpiadenya yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Adalvino, Arunika, Lea dan Leo mendapat bimbingan bersama agar bisa meningkatkan kekompakkan tim.

                Meski olimpiade sudah di depan mata, mereka tak merasa takut sedikitpun. Mereka jusru menikmati setiap waktu yang ada untuk mengasah kemampuan mereka agar bisa membanggakan Bali. Banyak hal yang terjadi lewat olimpiade ini.

                Pertemuan tak terduga dengan Arunika. Persahabatan dengan sikembar Lea dan Leo. Masalah cara pandang orang tua Arunika yang terlalu kolot. Rencana perpisahan orang tua si kembar. Semuanya dapat dilalui dengan baik. Semua bisa dihadapi bersama.

                Kehidupan Adalvino yang rumit. Kesalah pahaman besar yang terjadi selama bertahun-tahun, semuanya berlalu bagai angin lewat. Kini semuanya dapat tersenyum gembira. Banyak hal yang tak terduga terjadi, tapi jika kita memiliki seseorang yang akan selalu ada untuk kita, semua pasti bisa dilalui sesulit apapun.

EPILOG

                Panggung dengan lampu sorot yang berada di atas kepala seorang juri menjadi pusat perhatian saat ini. Juri itu akan mengumumkan pemanang dari olimpiade tingkat nasional ini.

                "Perjalanan panjang, perjuangan yang hanya diri kalian sendirilah yang merasakannya, semuanya akan terbayarkan disini. Hanya akan ada satu tim yang dapat menjadi perwakilan Indonesia ditingkat selanjutnya, ya internasional," suara riuh langsung terdengar saat sang juri mengatakan hal itu.

                "Dan inilah nama provinsi yang berhasil mengalahkan pesaingnya yang lain. Selamat kepada Provinsi.... Bali!" suara tepuk tangan terdengar dimana-mana.

                Tim yang beranggotakan empat orang itu maju kedepan. Adalvino melihat ke samping panggung, ada Ayah, Ibu, Caca dan Bunda Helen disana. Betapa bahagianya ia, dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihinya.

                "Gak nyangka ternyata kita bisa menang ya!" Lea tampak sangat gembira.

                "Itu artinya, karantina yang melelahkan sedang menunggu kita lagi,"Leo tampak lesu membayangkan betapa lelahnya ia harus menjalani karantina.

                "Bukan. Itu artinya kita masih bisa melangkah! Jalan kita masih panjang, dan kita masih harus melalui semua itu." Arunika membangkitkan suasana dengan keceriaannya.

                "Yang terpenting kita masih bisa terus bersama. Berbagi suka dan duka, juga berbagi kemenangan sebagai satu tim." Adalvino tersenyum sambil menatap ke langit-langit.

                Ya, ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka. Merasa puas hanya karena sudah berada di titik ini hanya akan membuat usaha mereka selama ini terasa sia-sia. Kini tujuan mereka adalah internasional. Dan mereka yakin, dengan mengandalkan satu sama lain mereka pasti bisa melalui semuanya bersama.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun