Mohon tunggu...
Kezia AmeiliaSaktyani
Kezia AmeiliaSaktyani Mohon Tunggu... Seniman - Pelajar

Semua dimulai dari bawah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Langkah

24 Februari 2021   02:38 Diperbarui: 24 Februari 2021   02:43 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

                "Kalau lolos sampai tingkat provinsi saja pasti dapat rekomendasi buat masuk ke universitas unggulan, apalagi lolos di tingkat yang lebih tinggi kan? Aku cuma gamau terlalu ngebebani Bunda Helen, ibu asuhku di panti. Apalagi aku adalah anak tertua dipanti, yang artinya aku harus bisa bersikap dewasa dan menjadi contoh untuk adik-adikku," Adalvino tersenyum di akhir kalimatnya.

                Arunika dan Pak Anton saling tatap, hanya membayangkan apa yang harus dilalui oleh anak semuda Adalvino selama ini. Pak Anton menyadari sesuatu, yang sudah dikatakan oleh Adalvino bukanlah alasan sesungguhnya ia berada disini. Meski alasan itu benar, tapi ada alasan lain yang tidak diungkapkan oleh Adalvino.

                "Sudah nak Adalvino? Ada lagi yang mau disampaikan tidak? Bapak tidak tahu alasan pribadi apa yang kamu sembunyiin, tapi kalau kamu mau ngomong bapak pasti akan coba bantu. Oke?" Pak Anton menepuk kepala Adalvino dengan lembut sebagai wujud perhatiannya.

                "Apapun alasan kalian ikut olimpiade ini bapak yakin kalian bisa. Arunika, kamu pasti bisa! Adalvino, kamu pasti bisa!" Pak Anton menyemangati anak didiknya itu dengan penuh kehangatan.

                Adalvino yang tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah merasa senang dengan yang diucapkan oleh Pak Anton. Kekosongan dalam dirinya terasa sedikit terisi. "Iya Pak, terima kasih. Kapan-kapan aku cerita deh," ucap Adalvino.

                "Aku tahu kita belum terlalu dekat, tapi kalau kamu mau cerita aku juga siap kok jadi benteng curhatanmu, asal jangan nangis terus modus minta dipeluk aja," Arunika ikut bicara dengan sedikit candaan. Adalvino yang melihat kedua orang yang baru dikenalnya itu sangat perhatian padanya membuat hatinya tersentuh

                "Iya! Terimakasih ya, Pak Anton dan Arunika!"

                Keduanya tersenyum lembut sebagai jawaban. Adalvino yang besar dipanti asuhan mengerti betul mana orang yang benar-benar tulus, dan mana orang yang hanya pura-pura menunjukkan perhatian untuk mendapat pujian. Pencitraan. Sering kali ada donatur yang datang ke panti asuhannya hanya untuk sebuah konten, hanya untuk sebuah pujian dan hanya untuk menaikan pandangan masyarakat.

                Terkadang ia muak dengan hal itu. Entah kenapa itu terasa sangat menyinggung perasaan Adalvino. Disaat ia dan adik-adiknya kesulitan untuk makan, kedinginan dan kekurangan, orang lain malah memanfaatkan kondisinya itu untuk kepentingan mereka. Disaat Bunda Helen diam-diam berbohong bahwa ia sudah kenyang hanya agar anak-anak asuhnya makan lebih banyak, orang-orang munafik itu malah menganggapnya sebagai suatu kewajaran.

                Mereka tersenyum. Para donatur busuk itu tersenyum. Namun itulah kepalsuan. Meski bantuan mereka memang sangat dibutuhkan oleh panti, tapi ketulusan lebih penting dari apapun. Kami tak butuh dikasihani! Itulah pegangan Adalvino.

                Dari mata mereka, ia menemukan ketulusan. Sebuah kepedulian dan perhatian, bukan hanya rasa penasaran. Rasa ingin membantu, bukan rasa ingintahu untuk mengrecoki kehidupannya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun