Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pemberontakan Cinderella 2 (Bab 2)

25 Mei 2019   12:01 Diperbarui: 25 Mei 2019   12:19 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://fineartamerica.com 

Diantara Machiavelli

Ivan baru saja keluar dari mobilnya yang berhenti di halaman sekolah. Beberapa siswi yang melewatinya tertawa genit dan melambai ke arahnya. Ivan tampak tak peduli.

            Ivan melirik Pengawalnya yang bersiap untuk mengikutinya,

            "Tidak perlu mengikutiku kemana-mana. Tunggu saja di sini" perintah Ivan.

            "Tapi, Yang Mulia..."

            "Tidak ada tapi. Ini perintah!" potong Ivan.

            Pengawalnya hanya bisa menganggukan kepalanya,

            "Saya menerima titah, Yang Mulia" jawabnya.

            Ivan sedang berjalan menuju kelasnya, ketika Lydia dan semua anggota gengnya menghadangnya tiba-tiba.

            "Selamat pagi, Yang Mulia" sapa Lydia dengan gaya genit.

            "Selamat pagi" jawab Ivan ramah.

            "Anda tentunya masih ingat saya kan, Yang Mulia Pangeran?" tanya Lidya penuh percaya diri.

            Ivan berusaha mengingat-ingat,

            "Kalau tidak salah... kita sekelaskan?" tanya Ivan ragu.

            Lydia tersenyum senang,

            "Benar, Yang Mulia!" serunya. "Aduh... saya bahagia sekali ternyata anda masih ingat pada saya"

            Ivan tersenyum kecil. Sementara Lydia menatap teman-temannya dengan gaya angkuh,

            "Apa gue bilang, Pangeran Ivan pasti kenal kok sama gue!"

            Teman-teman Lydia terlihat mengangguk-anggukan kepala mereka dengan wajah iri.

            "Ada yang bisa saya bantuu..." tanya Ivan berusaha mengingat nama Lydia.

            "Lydia, Yang Mulia. Nama saya Lydia. Pake Y dan juga ada I" jelas Lydia.

            "Oke, Lydia. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ivan.

            "Seharusnya itu jadi kalimat saya, Yang Mulia Pangeran. Karena saya yakin, saya bisa membantu anda agar bisa mendapatkan ketenangan dan kenyamanan selama anda sekolah di tempat ini" kata Lydia dengan sombong.

            Ivan menatap Lydia dengan ekspresi tertarik,

            "Sungguh? Bagaimana caranya?" tanya Ivan penasaran.

            Lydia berlagak seperti orang penting,

            "Yang Mulia, saya akan menjelaskan pada anda betapa pentingnya peran saya dan teman-teman saya ini di lingkungan sekolah ini. Saya dan teman-teman saya, termasuk dalam tingkat hierarki tertinggi di sini. Kami telah berhasil mengkoordinir semua murid, baik laki-laki atau pun perempuan, untuk memberikan anda privacy yang anda butuhkan dan juga ketenangan yang anda inginkan. Dengan demikian, anda bisa belajar dengan tenang selama anda sekolah di tempat ini, Yang Mulia" jelas Lydia menatap Ivan penuh kekaguman.

            Ivan tersenyum kecil,

            "Kalau memang benar seperti itu, saya harus mengucapkan terima kasih padamu dan teman-temanmu. Terima kasih ya" kata Ivan ramah.

            Wajah Lydia dan teman-temannya spontan memerah karena malu. Sambil menunduk malu Lydia menjawab lirih,

            "Ah... itu biasa saja,Yang Mulia"

            Ivan tersenyum kecil,

            "Sekarang apa ada hal lain yang ingin disampaikan?" tanyanya.

            Lydia menatap Ivan penuh kekaguman,

            "Sebenarnya saya juga ingin mengucapkan selamat pada anda, Yang Mulia. Selama ini belum ada satupun siswa yang bisa menduduki peringkat 1, 2 dan 3 sekaligus dalam daftar cowok terfavorit semenjak sekolah ini dibangun. Anda merupakan yang pertama"

            Teman-teman Lydia serentak menganggukan kepala mereka mengiyakan.

            "Anda pantas mendapatkannya, Yang Mulia" sambung Lydia lagi.

            Ivan mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti,

            "Oo... rupanya kalian yang membuat daftar itu" kata Ivan.

            Lydia dan teman-temannya menganggukan kepala penuh semangat.

            Ivan kembali tersenyum ramah,

            "Kalau demikian, sepertinya saya harus kembali mengucapkan terima kasih atas penilaian yang telah kalian berikan"

            "Sama-sama, Yang Mulia" jawab Lydia malu-malu.

            Lydia lalu mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya pada Ivan.

            "Ini kartu nama saya, Yang Mulia. Di sana ada nomor HP, nomor telpon rumah saya, nomor telpon ibu saya dan juga bapak saya. Yang kurang hanya nomor telpon Pak RT di daerah saya. Jika anda membutuhkan bantuan saya... just call me anytime" kata Lydia dengan gaya genit.

            Ivan berusaha menahan tawanya dan menerima kartu nama itu. Ia lalu menatap Lydia,

            "Saya akan menyimpan kartu nama ini dengan baik"

            Lydia terlihat senang,

            "Terima kasih, Yang Mulia Pangeran" Lydia lalu memberi hormat dengan gaya anggun, "Kalau demikian, kami tidak akan mengganggu anda lagi. Dan.." Lydia terlihat malu-malu, "...sampai jumpa lagi di kelas" katanya sambil mendesah genit.

            Lydia dan teman-temannya lalu berbalik dengan berat hati, meninggalkan Ivan dan sesekali menolehkan kepala mereka menatapnya dan melambaikan tangan mereka dengan genit.

            Ivan hanya bisa tersenyum melihat hal itu. Ia kembali meneruskan langkahnya sambil mengamati kartu nama Lydia.

            Sementara itu dari arah berlawanan, Aya sedang berjalan seraya asyik membaca. Ia juga memeluk setumpuk buku. Sesekali ia mencoreti buku yang dibacanya itu dengan wajah serius.

            Semua terjadi tiba-tiba. Ivan dan Aya bertabrakan. Buku yang dipegang Aya jatuh. Ivan tanpa menatap Aya segera membantunya memunguti semua buku. Demikian juga Aya. Dia tidak memperhatikan siapa yang menabraknya dan lansung memunguti bukunya.

            "Maaf. Saya tidak sengaja" kata Ivan.

            "Tidak apa-apa" jawab Aya sambil tersenyum.

            Senyum Aya lansung membeku seketika ketika melihat siapa yang menabraknya. Ivan juga terlihat kaget. Mereka berdua serentak berdiri dan saling pandang dengan tatapan penuh permusuhan.

            "Permintaan maaf kutarik kembali" kata Ivan meletakan buku yang dipungutnya ke tangan Aya, dengan kasar.

            Ivan lalu melengos dingin, melanjutkan langkahnya menuju kelas. Aya memutar badannya dan menatap kepergian Ivan dengan wajah marah,

            "Cih... sombongnya minta ampun! Siapa yang butuh permintaan maaf lo!" serunya dengan kesal ke arah perginya Ivan.

            Aya kembali memutar badannya menuju kelasnya dan mengomel kesal,

            "Pagi-pagi sudah bikin orang bete. Mimpi apaa aku semalam! Dasar orang super menyebalkan!" Aya menghembuskan nafasnya dengan kesal, "Aiihh... kenapa juga orang 'belagu' seperti dia harus belajar di tempat ini. Apa dia tidak bisa baca?! Di depan pagar sekolah kan ada tulisan, 'tidak menerima orang sombong bin belagu bin menyebalkan minta ampun'" omelnya kesal. Aya lalu mengipas-ngipaskan buku yang dipegangnya ke wajahnya, "Ingin rasanya ku ubek-ubek mukanya itu. Dasar kecoaaa!!" teriak Aya kesal.

            Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundak Aya. Aya membeku seketika. Perlahan Aya memutar badannya dengan tegang dan wajahnya berubah pucat pasi. Di belakangnya, Aya menemukan Riska sedang menatapnya dengan wajah heran. Ekspresi Aya berubah lega seketika. Aya menatap Riska kesal,

            "Riskaaaa!! Lo mau bikin penyakit jantung gue kumaaat!" teriak Aya.

            Riska menatap Aya bingung ,

            "Lo jantungan, Ay?! Sejak kapan? Kok ndak pernah bilang sih?" tanya Riska dengan tampang bloon.

            Aya menjitak kepala sahabatnya itu pelan,

            "Cuma becanda, Neng. Just kidding!" kata Aya kembali berjalan menuju kelas.

            Riska mengikutinya dengan heran,

            "Lo kenapa sih, Ay?! Pagi-pagi ngomel-ngomel sendiri" Riska lalu memegang dahi Aya, " Badan lo nggak panas. Itu artinya ayan lo belum kambuh. Atau jangan-jangan, lo kesambet jin apaaa gitu?!" tanya Riska curiga.

            Aya menatap Riska jengkel,

            "Ayan?! Enak aja, lo. Ya! Aku tadi habis kesambet jin be-la-gu, persis kayak lo!" kata Aya menunjuk muka sahabatnya.

            Aya lalu memutar badannya dengan gusar dan kembali melangkah menuju kelas sambil menggerutu marah.

            Riska geleng-geleng kepala menatap Aya,

            "Kasihan Aya. Sepertinya penyakit gampang kesambetnya semakin parah. Ckckckc..." kata Riska dengan wajah prihatin dan mengikuti Aya menuju kelas.

            Lorong itu kembali kosong. Yang tinggal hanyalah kartu nama Lydia yang tergeletak begitu saja di lantai.

@@@

Kelas 3 IPA A masih sepi. Erick sedang asyik menulis di mejanya. Ivan tiba-tiba masuk dengan wajah kesal dan membanting tasnya ke atas meja dengan kasar. Erick yang asyik menyalin PR milik temannya, tampak kaget. Ia menatap Ivan heran,

"Apa tidak bisa lebih keras lagi dibantingnya?!"sindirnya.

Ivan menatap Erick dengan kaku. Tanpa mempedulikan Erick, ia lalu duduk dan membuka tasnya. Dari dalam tas itu ia mengeluarkan bola kesayangannya dan sebuah buku. Ivan membaca buku itu sambil meremas-remas bola karet yang ada di tangannya. Wajahnya lambat laun terlihat berubah menjadi lebih tenang.

Erick menatap bola yang ada di tangan Ivan. Erick tahu,  sepupunya ini hanya akan melakukan kegiatan yang sama (memainkan bola karet itu) hanya kalau ia sedang mencoba menahan perasaannya. Semakin kuat dia meremas bola itu, maka akan semakin tenang wajah sepupunya ini. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menatap Ivan,

"What's wrong, Bro? Apa ada yang sedang mengganggu fikiranmu?" Wajah Erick tiba-tiba berubah khawatir, "Atau jangan-jangan, ada yang terjadi dengan Tuanku Yang Mulia?" tanyanya cemas.

Ivan menatap Erick, heran,

"Apa yang membuatmu berfikir kalau ada sesuatu yang terjadi dengan Tuanku Yang Mulia?!"        

Erick mengangkat kedua bahunya,

"Entahlah. Mungkin karena aku melihatmu memegang bola itu. Kau biasanya tidak akan memerlukan itu kecuali ada hal yang sangat penting mengganggu fikiranmu. Dan menurut pendapatku, saat ini masalah penting yang bisa mengganggumu hanyalah masalah kesehatan Tuanku Yang Mulia" jelas Erick.

Ivan menatap bola yang ada di tangannya sambil melamun. Ia lalu tersenyum kecil dan menutup buku yang ada di tangannya,

"Kau benar, Bro. Kesehatan Yang Mulia merupakan masalah penting yang harusnya menggangguku" Wajahnya tiba-tiba berubah dingin, "Bukannya masalah lain yang sama sekali tidak penting!" kata Ivan tersenyum sinis dan kembali membuka bukunya.

Erick mengamati Ivan dengan seksama. Akhirnya Erick menghembuskan nafasnya, meletakan penanya dan memperbaiki posisi duduknya menghadap Ivan.

"Okey. Sekarang coba ceritakan padaku. Jika memang bukan masalah kesehatan Yang Mulia yang membuatmu seperti ini, lalu masalah tidak penting apa yang bisa membuatmu resah?" tanya Erick.

Ivan mengangkat kepalanya dari buku yang dibacanya dan menatap Erick dengan wajah bingung,

"Resah? Memangnya aku terlihat seperti itu?" Ivan tersenyum kecil, "Kau pasti sedang bercanda" Ivan kembali membaca bukunya, "Aku tidak sedang meresahkan masalah apapun"

"Bro! Jika kau berkata seperti itu pada orang lain, mereka pasti akan percaya. Tapi taktik 'aku tidak ada masalah apapun' mu itu, tidak mempan terhadapku." Erick meninju lengan Ivan dengan pelan, "Ayolah! Aku sudah mengenalmu selama hampir 18 tahun hidupku. Aku bisa melihat ada sesuatu yang kau sembunyikan, hanya dengan menatapmu dari jarak 10 meter. Kau tidak akan bisa membohongiku" kata Erick mencondongkan badannya menatap Ivan.

Erick menarik badannya lagi dan menatap Ivan dengan ekspresi menunggu. Ivan menghela nafas pelan. Ia menutup buku yang dipegangnya dan tersenyum pada Erick,

"Ya. Kau benar. Aku tidak bisa membohongimu"

 Suasana hening sesaat. Ivan terlihat seperti sedang menyusun kata-kata sambil menatap cover buku yang ada di tangannya.

"Tadi aku bertemu lagi dengan gadis itu" kata Ivan.

Erick mengerutkan keningnya dengan bingung,

"Gadis yang mana?" Wajahnya tiba-tiba berubah antusias, "Kau bertemu lagi dengan 'Cinderellamu'?!" tanya Erick.

"Bukan. Jika aku bertemu dia, aku tidak akan sekesal ini" bantah Ivan kesal.

Erick terlihat semakin bingung,

"Lalu gadis yang mana lagi?" tanyanya.

Waah Ivan terlihat geram,

            "Siapa lagi kalau bukan gadis barbar liar yang tidak kenal aturan dan pendidikan itu!"

            "Gadis barbar liar?" kata Erick bingung. Namun Erick akhirnya mengerti, "Hah.. maksudmu Aya" katanya.

            Ivan tersenyum sinis,

            "Aku tidak peduli siapa namanya. Bagiku, dia hanyalah gadis barbar liar tak berpendidikan, yang setiap hari sepertinya sengaja membuatku kesal dan memancing kemarahanku"

            Erick tersenyum kecil,

            "Aku belum pernah mendengarmu menghina orang seperti ini. Apa lagi seorang gadis."

            Ivan hanya tersenyum dingin mendengar ucapan Erick.

            Erick menggaruk kepalanya yang tidak gatal,

            "Sekarang apa lagi yang sudah dilakukan Aya padamu?" tanyanya penasaran.

            Ivan menatap Erick dengan ekspresi tidak suka,

            "Apa maksud perkataanmu?"

            "Yah, selama inikan dalam 3 kali pertemuan kalian, kau.." Erick menunjuk Ivan. "...selalu mendapat masalah. Jadi melihat wajahmu yang murung dan marah seperti ini, aku hanya menduga bahwa ada satu lagi masalah terjadi padamu."

            Ivan terlihat jengkel,

            "Aku bukanlah orang yang gampang terlibat masalah"

            Erick mengangkat kedua tangannya tanda mengalah,

            "Oke...oke! Anggaplah seperti itu. Jadi apa yang terjadi sekarang?"

            Ivan terlihat melamun,

            "Aku juga tidak tahu. Entah kenapa setiap kali melihat gadis itu, sebaik apapun perasaanku, berubah menjadi buruk se-ke-tika. Hanya dengan melihat wajahnya, cukup untuk merubah moodku dari baik menjadi jelek" kata Ivan jengkel.

            Erick mengangguk-anggukan kepalanya,

            "Menurutku itu bisa disebabkan oleh berapa alasan" 

            "Alasan apa?" tanya Ivan.

            "Alasan yang pertama, kau menyimpan dendam pada Aya atas kejadian pemukulan waktu itu. Kau adalah seorang pangeran. Jangankan dipukul, dibentak oleh orang lain saja aku rasa kau belum pernah. Lalu ada seseorang yang ternyata berani memukulmu. Seorang gadis lagi! Masih belum cukup dengan hal itu, kau juga dipermalukan oleh gadis yang sama secara tidak lansung. Untuk pertama kalinya ada yang menyebutmu maling! Wah, Bro, harga dirimu yang begitu tinggi, tiba-tiba dihempaskan ke tanah dan diinjak-injak dengan sadis" jelas Erick.

            Ivan mengernyitkan dahinya, tidak suka mendengar ucapan Erick,

            "Kau selalu menilai sebuah masalah dengan cara yang begitu dramatis" Ivan memasukan bola dan bukunya kembali ke dalam tasnya, "Jangan terlalu berlebihan, Rick" tegur Ivan.

            "Bukan aku yang berlebihan. Tapi kau!" jawab Erick.

            Ivan menghela nafas panjang,

            "Oke. Sekarang katakan alasan yang lainnya"

            "Kau tertarik pada gadis itu namun saat ini kau sedang berusaha menyangkalnya" sambar Erick cepat.

            "Whats?!" seru Ivan kaget. "Yang benar saja! Aku tidak akan mungkin dan tidak akan pernah menyukai gadis barbar yang tidak tahu sopan santun seperti dia" Wajah Ivan terlihat dingin, "Sebaiknya kau berhati-hati dengan apa yang kau ucapkan, Rick"

            Erick memalingkan wajahnya dan mengangkat bahunya dengan tak acuh,

            "Ya sudah kalau begitu. Kalau kau memang tidak tertarik padanya, kau tidak perlu gusar karena hal ini. Untuk apa kau menjadi resah seperti ini..." Ia menatap Ivan, "... hanya demi seorang 'gadis barbar yang tidak tahu sopan santun' sepertinya. Anggap saja dia tidak ada. Atau bahkan kau bisa memasukannya ke penjara dengan tuduhan menghina kerajaan. Dengan demikian dendammu akan terbalaskan. Selesai! That's it!" jelas Erick.

            Ivan terdiam untuk sesaat seperti berfikir. Ia lalu menatap Erick,

            "Itu terlalu kekanak-kanakan. Jika aku melakukan hal itu, masyarakat bisa menilaiku sebagai seorang pangeran yang tidak bisa menerima kritik" katanya. Ivan tiba-tiba tersenyum penuh perhitungan, " Lagi pula, aku bisa membereskan gadis itu sendiri"

            Erick tampak penasaran,

            "Oh ya? Bagaimana caranya? Gadis itu tidak takut dengan gelar pangeranmu"

            Ivan tersenyum licik menatap Erick,

            "Dia memang tidak takut dengan gelar pangeranku. Tapi dia pasti takut dengan sebutan 'senior' ku kan. Dia pasti juga harus mematuhi 'sumpah janji junior'"

            Erick menatap Ivan dengan wajah tak percaya,

            "Yang benar saja! Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau kau tidak butuh sumpah seperti itu"

            "Benarkah?! Kapan aku mengatakannya?" tanya Ivan dengan wajah sepolos mungkin.

            Erick hanya bisa tersenyum pasrah menatap sepupunya itu,

            "Sudahlah! Terserah kau saja!" katanya geleng-geleng kepala dan kembali menyambar buku yang tadi sedang ditulisnya. Ivan tersenyum kecil menatap Erick.

            Tiba-tiba terdengar bunyi bel masuk. Kelas 3 A mulai ramai. Lydia dengan genit melambai pada Ivan, sebelum duduk di kursinya dan menatap Ivan penuh pemujaan. Jaja dan Supardi masuk ke kelas tak lama kemudian. Wajah Jaja terlihat lesu ketika duduk di kursinya yang tak jauh dari Erick. Erick mengangkat kepalanya dari buku yang sedang ditulisnya dan menatap Jaja dengan heran,

            "Kemaren lo kemana, Jak?! Tumben-tumbennya lo bolos pelajaran kimia"

            Jaja menatap Erick dengan wajah penuh penderitaan sebelum ia kembali menundukan kepalanya dengan lesu. Supardi yang duduk di depan Jaja, menatap Jaja dengan wajah khawatir. Supardi lalu menatap Erick,

            "Kemaren Jaja meriang, Rick. Panas tinggi. Kata dokter, Jaja sedang depresi. Kayaknya gara-gara dia lagi-lagi jadi juru kunci di daftar cowok terfavorit yang baru itu, Rick" jelas Supardi dengan wajah tanpa dosa.

            Jaja spontan menjitak kepala Supardi hingga membuat Supardi mengaduh kesakitan. Erick tersenyum kecil melihat hal itu. Ia melirik Ivan, yang balas menatapnya dengan ekspresi menahan tawa.

@@@

            Di taman sekolah Aya dan teman-temannya sedang duduk sambil berdiskusi.

            "... memang unik juga istilah Machiavellis itu ya.  Aku sama sekali tidak menyangka kalau ada sejarah yang menarik di balik istilah itu. Ternyata dia adalah orang yang mengatakan kalau seorang penguasa itu harus kuat seperti singa dan cerdik seperti rubah" kata Nana.

            "Benar, Na. Nicollo Machiavelli menyatakan hal tersebut dalam karyanya yang berjudul 'Il Principe'. Menurutnya, seorang penguasa yang berhasil adalah yang bisa memadukan kekuatan singa dan kecerdikan rubah. Dengan demikian kekuasaan akan lebih langgeng" terang Rahman.

            Riska tampak bergidik,

            "Iii.... serem juga tapi ya, Man. Buasnya singa saja sudah membuat orang takut, apa lagi kalau sampai kebuasannya dipadukan dengan kelicikan rubah. Menurutku, siapa saja penguasa yang memakai prinsip ini, takutnya dia akan menjadi penguasa yang sewenang-wenang dan kejam"

            "Banyak loh, Ris, orang-orang yang beranggapan kalau prinsipnya ini menjadi pegangan setengah resmi para ditaktor terkemuka di dunia" jawab Rahman.

            Riska terlihat kaget,

            "Yang benar lo, Man?! Gila!" kata Riska.

            "Banyak yang percaya bahwa dulu, Hitler tidak pernah lupa membolak-balik buku ini sebagai bacaan menjelang tidurnya. Napoleon bahkan dikatakan selalu menyimpan buku ini di bawah bantalnya. Sementara Stalin dan Lenin, mempelajari buku ini secara khusus di sebuah universitas di Rusia. Masih ada Musollini yang malah secara terang-terangan mengakui bahwa dia adalah pengikut ajaran Machiavelli dan sering mengutip buku ini dalam pidatonya" terang Rahman.

            Nana dan Riska terlihat tak percaya,

            "Yang bener, Man?!" tanya mereka serentak.

            Rahman menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

            "Bener. Aku ndak bohong"

            Nana tampak bergidik,

            "Hitler, Napoleon, Stalin, Lenin, plus Musollini... iihhh... mereka adalah pemimpin-pemimpin yang ditakuti kan, Man. Bulu kuduk gue ampe merinding dengernya"

            Riska menatap Rahman dengan kagum,

            "Tapi lo hebat juga ya, Man. Bisa tahu semua itu" pujinya.

            Rahman tersenyum malu,

            "Nggak juga, Ris. Hanya kebetulan aku pernah baca sebuah buku menarik tentang Machiavelli. Buku itu dibuat seperti komik gitu. Di sana dipaparkan tentang kisah dan riwayat hidup Machiavelli" jelas Rahman. Wajah Rahman kembali terlihat serius menatap Nana" Na, mengenai ketakutanmu ini bisa dimengerti. Itulah sebabnya, Il Principe oleh Ernst Cassirer, seorang filusuf terkemuka, dijuluki sebagai buku tekhnik berkuasa"    

            "Oo..." jawab Nana menganggukan kepalanya.

            Riska tiba-tiba menatap Aya yang sedari tadi asyik minum teh botol,

            "Wah... tumben lo diam, Ay. Biasanya lo paling semangat kalau udah diajak diskusi masalah seperti ini"

            Aya menatap Riska,

            "Sedari tadi aku itu sedang berfikir. Dengan karya seperti Il Principe ini, pantas saja Machiavelli dipandang sebagai manusia bertampang setan"

            Nana menatap Aya kaget,

            "Yang bener, Ay?! Iii... kok serem amat sih panggilannya. Apa ndak ada yang lebih keren gitu"

            Aya tersenyum kecil,

            "Ada-ada saja kamu, Na" Aya kembali terlihat serius, "Aku juga pernah baca buku yang ada di toko buku. Di buku itu dinyatakan kalau Machiavelli itu dianggap sama jahat dan kejamnya dengan Mephistopeles, yaitu raja segala setan dalam legenda Faust. Yah, walau aku sendiri belum pernah tahu legenda itu sih. Di situ aku juga sempat baca kalau nama Machiavelli juga diabadikan dalam kamus, berupa kata sifat yang mencakup pikiran, perbuatan dan tindakan licik yang kejam, penuh tipu daya dan tidak kenal rasa kasihan. Ajarannya dianggap mengesampingkan segala nilai moral atau lebih dikenal dengan istilah 'tujuan menghalalkan segala cara'" terang Aya.

            "Nama lainnya, The End Justifies The Mean" sambung Rahman.

            Aya tersenyum pada Rahman,

            "Lo benar, Man. Dan cap ini semakin kuat melekat, setelah Shakespeare dalam naskah dramanya yakni..." Aya menatap Rahman dengan kening dikerutkan, "Lo tahu nggak, Man, dramanya Shakespeare, yang membuat seorang tokohnya menyebut 'si kejam Machiavelli' atau murderous Machiavel?" tanya Aya.

            Rahman tampak berfikir keras,

            "Aduh, aku pernah baca tuh. Kalau tidak salah...'The Wives', apa... 'The Windsor' yaa?" tiba-tiba Rahman menjentikan jarinya gembira, "Aku ingat! 'The Merry Wives of Windsor'" serunya.

            Aya tersenyum gembira,

            "Lo emang paling jago, Man, kalau dalam mengingat sejarah"

            Rahman hanya tersenyum kecil mendengarnya.

            Aya kembali menatap Nana dan Riska,

            "Semua hal ini membuktikan bahwa Machiavelli dipandang sebagai orang yang mengajarkan ajaran yang tidak bermoral. Makanya setelah Machiacelli wafat, para pembesar gereja memasukan buku ini dalam daftar buku terlarang yang dikenal dengan sebutan 'Tridentine Index' dan digabungkan dengan buku-buku terlarang lainnya seperti 'Decameron' karya Boccacio, 'Bibel Geneva' karya Gavin..."

            "'De libero Arbitio' karya Desderius Eramus. Juga tidak lupa 'Resolutioner', 'De Servo Arbritio' dan 'Deutsche Messe' yang dikarang semuanya oleh Martin Luther" sambung Rahman.

            Aya dan Rahman saling berpandangan sambil tersenyum kecil dan sama-sama mengacungkan jempol mereka. Sementara Nana dan Riska hanya bisa melongo menatap mereka.

            "Mantaps" seru Nana dan Riska bertepuk tangan dengan wajah kagum.

            "Pantas kalian selalu bisa menangin lomba debat. Kalian berdua bisa kompak gitu" kata Nana kagum.

            "Bener-bener TOP ABIZZZ" sambung Riska menunjukan kedua jempolnya.

            Rahman tersenyum jengah,

            "Ah... kalian terlalu berlebihan. Aku bisa tahu semua itu, karena kebetulan ayahku punya buku tentang Machiavelli ini. Ditambah lagi ada buku di perpustakaan tentang masa Renaisance yang sangat menarik untuk dibaca. Jadi kebetulan saja kok, aku bisa tahu tentang Machiavelli"

            "Sedangkan aku, karena pernah baca tentang gerakan Renaisance dan juga tentang gejolak politik yang ada di Firenze kota tempat Machiavelli dilahirkan di toko buku. Hanya sekilas sih aku membacanya, namun cukup untuk membuatku mengerti tentang Il Principe atau politik kekuasaannya Machiavelli. Dampak dari karyanya ini, menyebabkan Machiavelli dikenal sebagai biang penyebar moral 'menghalalkan segala cara'" jelas Aya.

            Nana dan Riska mengangguk-anggukan kepala mereka.

            Riska kemudian menatap Rahman,

            "Tapi, Man, apa benar Machiavelli bisa sejahat itu?"

            "Kalau itu sih.."

            Belum sempat Rahman melanjutkan jawabannya, Aya dengan segera memotongnya,

            "Dilihat dari karyanya itu, menurut pendapatku, Machiavelli bukan hanya jahat. Tapi dia sudah mengajarkan pada umat manusia pemikiran yang sangat berbahaya. Kebayangkan apa jadinya sebuah negara bila memiliki penguasa yang memakai prinsip Machiavelli. Bisa-bisa, akan menjamurlah penguasa-penguasa ditaktor seperti Hitler. Banyak kok yang menyatakan kalau Machiavelli itu pemikir yang berbahaya."

            "Kalau begitu, kau harus mencari buku yang kau temukan di toko buku itu sekali lagi dan kau harus memastikan untuk membacanya sampai selesai" kata sebuah suara.

            Aya, Nana, Riska dan Rahman berpaling menatap asal suara itu.

            Tak jauh dari meraka, Ivan sedang duduk santai sambil bermain game di hpnya. Sementara Erick berdiri di dekatnya, asyik memainkan bola basket.

            Erick membalas tatapan junior-juniornya itu dan lansung menunjuk ke arah Ivan.

            Ivan mematikan hpnya dan mengalihkan pandangannya menatap Aya,

            "Il Principe atau yang lebih dikenal dengan politik kekuasaan, merupakan karya yang dikarang Machiavelli pada saat ia merindukan Italia yang bersatu seperti pada masa kejayaan Roma. Saat itu, sekitar abad XVI, Italia terpecah diakibatkan seringnya terjadi perebutan kekuasaan. Hal ini tentu saja menyebabkan rakyat yang tidak bersalah menjadi semakin menderita akibat perperangan yang tak kunjung berhenti. Machiavelli menyadari fenomena ini. Saat itulah dia berpendapat, bahwa Italia baru bisa bersatu dan damai apabila muncul seorang penguasa yang kuat dan berani bertindak demi melanggengkan kekuasaannya. Menurutnya, penguasa yang kuat akan membuat musuh berfikir ribuan kali jika ingin menjatuhkan kekuasaannya"

            Ivan menyilangkan kakinya dan tampak menerawang,

            "Machiavelli menulis Il Principe ketika ia sedang berada di pengasingan dan bermaksud mempersembahkan karyanya ini pada Paus Leo X 'Geovani de Medici'. Namun karya ini malah jatuh ke tangan Lorenzo, keponakan Paus Leo X" Ivan menatap hp yang ada di tangannya setengah melamun, "Machiavelli sendiri berharap, dengan karyanya ini, dia akan diangkat kembali menjadi penasehat istana"

            Aya menatap Ivan dengan wajah sinis,

            "Jangan sok tahu. Kalau memang dia bukan pemikir yang berbahaya, kenapa  Paus Julius II menyebutnya sebagai sekutu setan dalam kejahatan. Sementara Leo Strauss menilai Machiavelli sebagai pemikir titisan setan. Masih ada Betrand Russel yang menganggap politik kekuasaannya hanya layak dibaca oleh para gangster"

            Ivan tersenyum kecil,

            "Wah... untuk seseorang yang hanya membaca sekilas di toko buku, ingatanmu boleh juga"

            Aya tersenyum sombong.

            Ivan mengangkat kepalanya dan menatap Aya dengan tenang,

            "Anggap saja mereka adalah tokoh-tokoh yang tidak memahami Machiavelli. Hanya sedikit tokoh yang bisa memahami pria ini" Ivan seperti mengingat-ingat, "Mmm.. contohnya saja Leopad Van Ranke, seorang sejarawan terkemuka asal Jerman yang mengatakan bahwa untuk memahami Machiavelli, kita harus membaca Il Principe sampai tuntas. Barulah kita akan mengerti bahwa yang ditulis Machiavelli dalam karyanya itu didorong oleh tekadnya untuk mencapai Italia yang bersatu, dari pada sekedar mengabaikan nilai-nilai moral" Ivan kembali seperti mengingat-ingat, "Masih ada Francis Bacon, seorang filusuf serta pengacara yang juga berpendapat, bahwa Machiavelli dalam Il Principe hanya mengemukakan apa yang 'benar-benar dilakukan oleh para penguasa saat itu' bukan apa yang 'seharusnya ' mereka lakukan"

            Ivan menatap Aya, yang tampak terdiam mendengarkan penjelasannya,

            "Machiavelli sendiri dengan tegas memilih kekuasaan dari rakyat atau Res Publica yang manusiawi dan lurus. Pilihannya ini tertuang dalam karyanya yang lain berjudul 'Discorsi', yakni politik kerakyatan. Di sini ia berpendapat, bahwa rakyat merupakan suara tuhan. Dengan demikian prinsip kebebasan tidak tergantung pada siapa yang memerintah, melainkan pada rasa bebas yang diinginkan warga negaranya dalam bertindak. Naskah Discorsi Nicolo Machiavelli, ditulis untuk dipersembahkan kepada Zanobi Buondelmonti dan Cosimo Rucellai. Naskah ini ditulis hampir bersamaan dengan periode ditulisnya Il Principe. Sayangnya, tak banyak yang membaca naskah ini. Jika Il Principe ditulis untuk memberi gambaran tentang yang "nyata-nyata ada", maka Discorsi ditulis untuk memberi gambaran tentang apa yang menjadi keinginan ideal Machiavelli dalam pengelolaan negara. Naskah Discorsi ini merupakan pandangan politik Machiavelli berdasar telaah Titus Livius ihwal sejarah Republik Roma. Sebelum jatuh ke dalam bentuk kekaisaran, Roma lama hidup dalam sistem republik, kira-kira hampir selama 500 tahun. Tentu saja sistem republik masa itu tidak selengkap seperti yang kita kenal sekarang, tetapi cukup jelas... di sana ada dialog dan upaya membangun konsensus antara para penguasa dengan rakyat bawahannya. Berdasar kasus-kasus yang terjadi dalam sejarah Roma itulah, Machiavelli memberi catatan-catatan, komentar serta pandangan-pandangan pribadi tentang bagaimana sebaiknya kekuasaan negara dijalankan dan dikelola" jelas Ivan panjang lebar.

            Rahman, Nana dan Riska bertepuk tangan mendengar penjelasan Ivan. Ivan tersenyum anggun pada mereka. Sementara Aya menatap teman-temannya dengan jengkel.

            "Tapi...tapi... kenapa coba sampai saat ini, semua selalu beranggapan buruk tentang Machiavelli" bantah Aya tidak mau kalah.

            Ivan tersenyum,

            "Sama seperti pepatah kita 'gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga'. Karena Il Principe lebih terkenal karena kontroversinya, maka Discorsi pun tenggelam dalam bayangnya"

            Aya seperti masih ingin membantah, namun dengan cepat Rahman menengahinya,

            "Sudah, Ay. Apa yang dijelaskan oleh Pangeran Ivan itu benar kok. Aku juga pernah baca. Sebenarnya negara yang jadi impiannya Machiavelli itu adalah yang tertuang dalam Discorsi. Sementara Il principe, adalah gambaran nyata pemerintahan Italia saat itu. Perebutan kekuasaan yang sering terjadi, membuat Machiavelli memikirkan cara agar negaranya bisa kembali damai. Menurutnya Il Principe akan bisa menjawab tantangan itu" jelas Rahman.

            Aya menatap Rahman dengan berang,

            "Kamu ini sebenarnya belain siapa sih, Man?! Kamu teman aku atau dia?!" tanya Aya sambil menunjuk Ivan.

            Rahman menatap Aya sambil geleng-geleng kepala,

            "Lo itu ada-ada saja ya, Ay. Apa hubungannya pertemanan dengan sejarah?! Aku hanya menyampaikan apa yang ku baca di buku kok. Tidak ada hubungannya dengan siapa teman siapa"

            Nana menganggukan kepalanya membenarkan Rahman,

            "Rahman benar loh, Ay. Lo nggak boleh gitu. Kalau memang nyatanya lo salah, lo harus bisa mengakui kesalahan lo. Makanya lain kali baca buku jangan setengah-setengah. Jadi ginikan" kata Nana polos.

            Aya tampak sangat jengkel melihat Nana dan Rahman membela Ivan. Aya lalu menatap Riska memohon pertolongan,

            "Lo juga belain dia, Ris?"tanya Aya.

            Riska tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal,

            "Aduh... gimana yah?! Sebenarnya aku juga tidak terlalu mengerti kalian sebenarnya sedang bicara apa.  Soalnya aku belum pernah kenalan sama om Machiavelli. Ntar deh, kalau aku ketemu sama dia, aku pasti akan menanyakan pendapat dan pemikirannya yang sebenarnya. Baru deh aku bisa pilih mau belain siapa"

            Erick, Rahman dan Nana tertawa kecil mendengar ucapan Riska. Sementara Aya hanya bisa menatap sahabatnya itu dengan jengkel.

            Ivan tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekati Aya dengan tangan di sakunya. Ia menatap Aya penuh ejekan,

            "Sungguh menyedihkan melihat seseorang yang bersikeras menyatakan dirinya benar, meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa-apa. Aku bicara seperti ini denganmu 'bagai menepak nyamuk menjadi daki'[1]. Lain kali, belajarlah untuk menerima pendapat orang lain nona.. " Ivan membaca papan nama Aya, "Ayamari Azayaka" katanya dingin. 

            Ivan tersenyum sinis sebelum memutar badannya membelakangi Aya dan berlalu pergi. Aya sekuat tenaga menahan amarahnya menatap punggung Ivan.

            Erick menghela nafas menatap Ivan. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Aya dan tersenyum,

            "Jangan marah. Dia tidak bermaksud buruk. Kau sebenarnya tidak salah 100%. Hanya saja dia, sedikit lebih tahu tentang hal ini. Soalnya di istana dia juga mendapatkan pelajaran tambahan mengenai politik, kepemimpinan dan pemikiran barat. Mengenai abad pertengahan, paling sering dia dengar"

            Aya menundukan kepalanya malu-malu mendengar ucapan Erick.

            Erick mengedipkan matanya dengan gaya jenaka pada Aya dan teman-temannya,

            "Menurutku, kalian malah hebat sekali. Mengetahui informasi sebanyak itu hanya dari membaca buku. Aihh... ternyata pepatah yang menyatakan kalau 'buku adalah gudang ilmu dan pelita hidup', sangat benar" Erick terlihat berfikir dengan seksama, "Lain kali, aku pasti tahu apa yang harus aku lakukan bila ada PR sejarah" Erick lalu menatap Rahman, "Kau pasti bisa membantuku mengerjakannya kan?!"

            Rahman hanya bisa melongo mendengar itu,

            "Kok saya, Senior?!" ia pun menunduk pasrah, "Nasib... nasib" keluhnya.

            Aya, Nana, Riska tertawa kecil melihat ekspresi Rahman. Sedangkan Erick tersenyum jenaka.

            Ivan yang berjalan cukup jauh, tiba-tiba memutar badannya menatap Erick,

            "Apa yang kau lakukan di sana? Kau tidak masuk?" panggil Ivan.

            Erick melambai santai menjawab panggilan Ivan,

            "I am coming!" serunya.

            Erick kembali menatap Aya,

            "Yang semangat...oke!" katanya sambil tersenyum.  

Aya balas tersenyum malu.

            Erick lalu berjalan mendekati Ivan dan melemparkan bola basket yang ada di tangannya. Ivan menangkap bola itu dan memainkannya. Mereka berdua terlihat asyik saling berebut bola sambil berjalan menuju kelas.

            Aya menatap kepergian Erick dengan wajah penuh kekaguman. Riska melirik Aya dan melambai-lambaikan tangannya di depan muka Aya,

            "Halloo?! Anybody homeee?" Riska lalu mengetok-ngetok kepala Aya pelan, "Spadaaa"

            Aya lansung menepis tangan Riska dengan jengkel,

            "Apaan sih?!"

            Riska tersenyum sambil berbisik pada Aya,

            "Ingat, Ay. Lo nggak boleh naksir ama Senior Erick. Soalnya dia itu adalah sepupunya orang yang lo anggap be-la-gu!"

            Aya terlihat sewot menatap Riska,

            "Siapaaaaa lagi yang sukaa?! Asal!" katanya berdiri dan berlalu dengan wajah jengkel.

            Rahman menatap Riska, bingung,

            "Aya kenapa, Ris? Apa betul dia marah sama kita-kita? Hanya karena kita belain Pangeran Ivan?!" tanyanya.

            "Don't worry, Man" jawab Riska santai. "Aya akhir-akhir ini punya penyakit baru selain ayan, yakni gampang kesambet. Nah... aku rasa, barusan dia kesambet hantunya Machiavelli"

            Rahman tertawa kecil,

            "Kalau hantunya Machiavelli masih untung, Ris. Kesambet hantunya Hitler... baru tuh bahaya"

            Riska, Nana dan Rahman tertawa terbahak-bahak.

            "Aku denger loh!" seru Aya tiba-tiba.

            Nana, Riska dan Rahman spontan menutup mulut mereka dan saling berpandangan. Mereka tampak berusaha menahan tawa mereka.

@@@

[1] Perbuatan sia-sia

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun