Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi Sehabis Hujan (2)

16 April 2024   18:49 Diperbarui: 16 April 2024   18:50 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pentingnya lahan hijau sebagai sumber peresapan air (foto koleksi pribadi)

PUISI SEHABIS HUJAN (2)

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Tanah-tanah yang meranggas menanti usapan sembari benamkan zat kehidupan di dasar buana. Tetapi bagaimana bisa meresap kalau beton-beton pencakar langit menancap kokoh-mencengkram menggerus habis seluruh labirin vitamin bumi, tinggalkan sisa-sisa kejayaan leluhur.

Lihatlah, di Jakarta gunung gemunung bertingkat menutup ruang mentari yang tak mampu membantu pepohonan berfotosintesis. Kala hujan melanda, sungai-sungai gelisah terdesak hunian manusia yang mulai lunak pindah ke vertical house, biarkan sungai kembali ke habitat.

Jangan salah, secanggih apa otak insani tak pernah mampu prediksi cara alam wujudkan geliatnya yang kadang tanpa kompromi. Jangan lupa waspada apalagi terlena musim hujan ini seperti perjaka hendak melamar perawan malah terjebak utang nyawa: salah kaprah menanti hujan, duduk manis di dasar sungai kering, lupa hujan di hulu menyapu segalanya ke hilir.

Puisi setelah hujan kadang salah kamar juga salah jalan: sungai menganak truk yang sibuk mengeruk kekayaan, jalan salah tempat menjadi punggung air hanyutkan segala dusta. Ya dusta insan-insan tak tahu memangkas habis hutan-hutan peresap, menimbun habis rawa-rawa resapan.

Ingat, jangan lupa waspada kalau kau melintasi hutan-hutan yang meranggas pilu: dia tak bisa menahan tangisan langit tercurah menyapu apa saja yang menghalangi jalan alaminya. Dan kulihat sendiri, paving-paving depan rumahku terguncang bingung hendak menyingkir memberi jalan pada air-air yang menyapa-labrak membentuk kali baru di depan hidungku.

Jangan lupa sadar, bila alam membalas meski kau bisa berkelit-melicin bagai belut berbalur oli.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun