Mohon tunggu...
Ilham Karbela
Ilham Karbela Mohon Tunggu... Surveyor Riset

Mencatat makna di setiap jalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Dekapan Luka

24 Maret 2025   11:30 Diperbarui: 24 Maret 2025   13:36 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wanita Berjalan (Sumber: Canva/ilhamkarbela)

"Sudah benar, Pak. Kita ke stasiun Pasar Turi". Jawabku tegas.

#

Ku pandangi smartphone ku kembali. Ada 20 pesan whatsapp dari 3 orang yang berbeda. Aku tidak merespon ketiganya. Aku memilih menekan nomer keempat dari barisan pesan itu. Tanganku mulai mengetik indah tanpa keraguan.

"Aku sudah tiba"

Pukul 16.20, kurang lebih hampir dua jam perjalanan sesuai dugaanku. Aku mulai menapaki kembali jalanan kota yang sempat ku tinggalkan tiga tahun lalu. Jam segini stasiun Tawang masih terlihat begitu ramai. Begitu banyak kepala yang berlalu lalang dengan segenap aktifitasnya. Dimana-mana suara saling bersahutan terus menggema tanpa peduli orang lain terganggu atau tidak. Persis sama denganku, aku juga tidak peduli. Kakiku terus melangkah tanpa memastikan siapa yang ada di kanan kiriku. Sampai akhirnya langkahku sempat terhenti ketika melihat patung Soekarno yang berada di tengah kota ini. Tangan kanannya menunjuk ke atas seolah memastikan satu hal. Barangkali maksudnya adalah kita harus menjadi manusia merdeka. Entah kemerdekaan macam yang sebenarnya ku inginkan.

Sesekali aku mendengar sayup suara seolah memanggilku dari belakang. Sempatku ku menoleh ke belakang, tetapi yang ku dapati hanya segerombolan orang yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ah, hanya perasaanku saja mungkin, gumamku sendiri.

Aku kembali menyusuri kota. Dalam perjalanan aku mencoba meraih tekadku kembali. Meneguhkan keputusan yang telah ku ambil. Perjalanan ini tidak akan sia-sia, pikirku. Segalanya telah matang ku pikirkan. Lagi pula tidak akan ada yang peduli aku kemana. Pram tidak akan pernah mempertanyakan keberadaanku. Mama dan papa sibuk masih sibuk membesarkan jaringan bisnisnya.

Bahkan bila pun ku mati, bisa jadi mereka tidak akan peduli seperti dulu lagi. Yang ada di dalam benakku saat ini hanya Mbak Yun. Seorang perempuan yang telah ku anggap seperti saudara sendiri meski kami tidak sedarah. Hanya dia yang peduli dengan keadaanku. Bahkan saatku memutuskan bekerja di sebuah pabrik gula, dialah yang mendukungku. Tetapi soal perjalanan ini, tidak ada seorang pun yang tahu. Akhirnya ku putuskan membalas chat mbak Yun yang tidak ku gubris sejak di kereta tadi. Sebuah pesan yang ku harapkan mbak Yun mengerti maksudnya.

Mbak, aku titip Aska. Tolong rawatlah seperti anak kandung sendiri.

Aku sampai di sebuah tempat yang tak asing. Aku masih ingat ketika itu hujan begitu berambisi ingin membanjiri kota ini. Tetapi karena hujan itu juga yang menguatkan keputusanku untuk mencintai seseorang. Seseorang yang dulunya selalu setia menemaniku dalam berbagai situasi, kenangku.

Lagi-lagi aku kembali mencoba menguatkan tekadku. Kali ini dadaku berdetak sedikit lebih kencang. Apakah aku gugup? Pepohonan sekitar juga turut melambai, seolah menyuruhku terus melanjutkan langkah. Setiap jengkal yang ku lewati seakan mengulang kembali memori lama yang telah lama tertinggal. Aku memasuki cafe itu. Nyaris tidak ada yang berubah setelah ku tinggal tiga tahun yang lalu. Kali ini tidak begitu ramai. Mungkin karena tidak ada hujan seperti masa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun