Bahasa Pejabat Dalam Labirin Tafsir, Â Ketika "A" Belum Tentu Berarti "A"
Di sebuah ruang konferensi pers yang disiarkan secara nasional, seorang pejabat tinggi berdiri di depan deretan mikrofon dan kamera. Ia tersenyum, menyapa jurnalis, lalu membacakan pernyataan resmi. Kalimat-kalimatnya terdengar rapi, terstruktur, penuh dengan kata-kata seperti "kami mempertimbangkan semua opsi", "dalam kerangka kebijaksanaan nasional", dan "keputusan akan diambil sesuai dengan kepentingan bersama". Tidak ada kesalahan tata bahasa. Tidak ada kata kasar. Tidak ada ancaman eksplisit. Namun, di balik kehalusan itu, tersembunyi sesuatu yang lebih dalam: sebuah dunia di mana makna tidak pernah tetap, di mana kata bukan jendela kebenaran, melainkan cermin yang bisa dibengkokkan sesuai kebutuhan.
Pernyataan itu, meski tampak netral, bukan sekadar informasi. Ia adalah tindakan. Sebuah permainan bahasa yang sengaja dirancang agar bisa berarti banyak hal (atau justru tidak berarti apa-apa) tergantung pada siapa yang mendengar, kapan didengar, dan dalam konteks apa. Inilah wajah sebenarnya dari wacana pejabat: bukan komunikasi, melainkan strategi. Bukan kejujuran, melainkan pengelolaan persepsi.
Ketika "A" Bisa Berarti Apa Saja
Dalam logika biasa, jika seseorang mengatakan A, maka yang dimaksud adalah A. Tapi dalam dunia politik, aturan ini sering dibengkokkan. Sebuah pernyataan seperti "kami tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian kebijakan" mungkin terdengar seperti pengakuan biasa. Namun, bagi rakyat yang tahu bahwa "penyesuaian" sering kali berarti kenaikan harga, pernyataan ini adalah sinyal. Ia seperti lampu kuning di persimpangan: tidak langsung merah, tapi sudah mengingatkan untuk bersiap-siap. Namun, jika nanti harga benar-benar naik, pejabat bisa berkata: "Saya tidak pernah mengatakan pasti akan naik. Saya hanya bilang 'kemungkinan'." Dan jika harga tidak naik, mereka bisa berkata: "Lihat, kami tidak lakukan apa-apa."
Di sinilah letak kehebatan bahasa pejabat: ia tidak pernah salah, karena ia tidak pernah sepenuhnya jujur atau sepenuhnya bohong. Ia hidup di wilayah abu-abu, di antara makna dan maksud, antara kata dan konteks. Ia seperti bayangan yang berubah bentuk tergantung dari arah cahaya. Inilah yang dimaksud dengan ambiguitas strategis, kemampuan untuk mengatakan sesuatu tanpa benar-benar mengatakan apa-apa, sehingga tetap bisa bergerak ke segala arah tanpa kehilangan kendali.
Bahasa yang Dibentuk oleh Kuasa
Filsuf Hans-Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa kita tidak pernah membaca teks dari posisi kosong. Setiap tafsir selalu dipengaruhi oleh sejarah, pengalaman, dan prasangka kita. Tapi dalam kasus wacana pejabat, hubungan ini terbalik: bukan hanya pembaca yang membawa konteks, tetapi pembicara yang sengaja menciptakan konteks yang membingungkan. Mereka menggunakan bahasa yang tampak jelas, tapi sebenarnya dirancang untuk mengaburkan.
Ambil contoh kata "penertiban". Di permukaan, terdengar seperti tindakan yang wajar, menertibkan yang kacau, mengembalikan ketertiban. Tapi jika kata itu digunakan untuk menggambarkan penggusuran paksa terhadap warga miskin dari rumah mereka, maka maknanya berubah. "Penertiban" menjadi alat legitimasi bagi kekerasan struktural. Bahasa tidak lagi melayani kebenaran, melainkan menjadi alat untuk menyucikan tindakan yang kontroversial.
Paul Ricoeur, filsuf hermeneutika lainnya, menyebut ini sebagai "hermeneutika curiga", kita harus membaca teks dengan sikap kritis, karena di balik kata-kata yang indah bisa saja tersembunyi ideologi, manipulasi, atau penindasan. Seorang warga yang membaca pernyataan pejabat bukan hanya membaca kata, tapi mencoba membaca apa yang tidak dikatakan. Ia mencari celah, kontradiksi, dan ketidakkonsistenan. Ia tahu bahwa "kami mendukung kebebasan berekspresi" bisa jadi hampa jika diucapkan sambil menahan puluhan jurnalis karena kritik.
Ketika Rakyat Berani Menafsir Ulang
Tapi selama rakyat masih diam, bahasa pejabat akan terus berkuasa. Masalah muncul ketika rakyat mulai menolak tafsir resmi. Ketika seorang aktivis menyebarkan rekaman suara yang menunjukkan pejabat menerima suap, atau ketika jurnalis mengungkap dokumen rahasia tentang korupsi, maka terjadi pertarungan tafsir. Ini bukan lagi soal fakta, tapi soal siapa yang berhak menentukan makna.
Di titik inilah pejabat sering kehilangan kendali atas narasi. Maka, mereka menggunakan senjata terakhir: stigmatisasi. Bukan menyangkal isi rekaman, tapi menyerang sumbernya. Bukan membantah kebijakan, tapi menyebut kritik sebagai hoax. Bukan membuktikan keaslian dokumen, tapi menyebutnya sebagai deepfake.