Dalam beberapa kasus, klaim "deepfake" dilontarkan bahkan sebelum bukti dianalisis. Tidak peduli apakah rekaman itu bisa diverifikasi atau tidak, yang penting, kecurigaan sudah ditanamkan. Dengan begitu, rakyat yang mempercayai bukti itu bisa dianggap sebagai orang yang gampang tertipu, terpapar disinformasi, atau bahkan berniat jahat menjatuhkan pejabat. Dalam logika ini, kritik bukan lagi bentuk partisipasi demokratis, melainkan ancaman terhadap stabilitas nasional.
Ironisnya, semakin canggih teknologi pembuatan konten sintetik, semakin mudah klaim "deepfake" digunakan sebagai tameng. Keberadaan deepfake yang nyata justru dimanfaatkan untuk melindungi diri dari kebenaran yang nyata. Sebuah paradoks zaman: keberadaan kebohongan membuat kebenaran lebih mudah dibantah.
Bahasa sebagai Medan Pertarungan
Dalam pandangan yang lebih luas, wacana pejabat bukan sekadar soal retorika, tapi soal pertarungan atas realitas. Pejabat mencoba menciptakan satu versi realitas yang resmi, stabil, dan terkendali. Mereka ingin rakyat percaya bahwa inilah yang terjadi, inilah yang benar, inilah yang harus dipercaya. Tapi rakyat, terutama yang terpinggirkan, sering kali hidup dalam realitas yang berbeda. Mereka tahu bahwa harga sembako naik, bahwa tanah mereka digusur, bahwa suara mereka tidak dihitung.
Maka, ketika mereka menyuarakan pengalaman itu, mereka bukan hanya menyampaikan fakta, mereka sedang menentang tafsir resmi, sedang menciptakan counter-narrative. Dan setiap kali pejabat menyebutnya sebagai hoax, ia bukan hanya menyangkal kebenaran, tapi juga menghancurkan hak rakyat untuk menafsirkan dunia mereka sendiri.
Menuju Literasi Hermeneutik
Di tengah labirin bahasa yang penuh jebakan dan ambiguitas, satu hal yang bisa menjadi pelita: literasi hermeneutik. Bukan hanya kemampuan membaca, tapi kemampuan menafsir, meragukan, dan membongkar. Rakyat perlu diajarkan untuk tidak hanya menerima pernyataan pejabat sebagai kebenaran, tapi untuk bertanya: Siapa yang mengatakan ini? Dalam konteks apa? Apa yang tidak dikatakan? Siapa yang diuntungkan?
Karena di dunia di mana "A" belum tentu berarti "A", maka kekuatan terbesar bukan ada di tangan mereka yang berkuasa, tapi di tangan mereka yang bisa membaca di balik kata-kata. Di sanalah letak harapan: bahwa bahasa, meskipun bisa digunakan untuk menipu, juga bisa menjadi alat pembebasan. Bahwa tafsir, meskipun bisa direbut oleh kuasa, juga bisa direbut kembali oleh rakyat.
Dan mungkin, di suatu hari nanti, ketika seorang pejabat mengatakan A, rakyat bisa dengan tenang menjawab: "Kami tahu, Anda ingin kami percaya itu A. Tapi kami juga tahu bahwa untuk Anda, A bisa berarti B, C, atau bahkan D. Dan kami memilih untuk membaca sendiri."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI