Tapi Negeri Ini Terlambat Menjawab
Di ujung perahu panjang yang melesat membelah Sungai Kuantan, seorang anak berdiri dengan penuh keyakinan. Gerak tubuhnya mengikuti irama tabuhan gendang. Ia menari. Ia menantang arus. Ia menghidupkan sejarah.
Itulah Togak Luan, tarian sakral dalam tradisi Pacu Jalur --- budaya asli masyarakat Kuantan Singingi, Riau. Dalam sekejap, video anak penari itu menjelajah dunia digital. Viral.
Membuat ribuan pasang mata dari berbagai penjuru bumi bertanya:
"Apa ini? Di mana ini? Budaya siapa ini?"
Pacu Jalur Tak Lagi Sekadar Tradisi Lokal
Momen ini bukan sembarang viral. Ini adalah panggilan global terhadap budaya kita. Festival Pacu Jalur kini telah menjelma menjadi sorotan utama di media sosial. Dan dampaknya tak main-main.
Menurut data Agoda yang dikutip oleh akun @infopku_, kunjungan wisatawan domestik ke Pekanbaru meningkat hingga 35%, menyusul eksposur luas dari Festival Pacu Jalur.
Dampak ekonominya? Mencapai 75 miliar rupiah!
Angka ini bukan hanya statistik. Ini bukti bahwa budaya bisa menjadi lokomotif ekonomi. Bahwa satu festival rakyat mampu menggerakkan sektor pariwisata, UMKM, transportasi, hingga perhotelan.
Riau Kaya Akan Festival Berbasis Air
Dan Pacu Jalur bukan satu-satunya kekayaan budaya yang berbasis air di Riau.Â
Ada pula Festival Cian Cui di Selat Panjang (Kabupaten Kepulauan Meranti) yang menyerupai Festival Songkran di Thailand --- meriah, penuh warna, dan menjadi ajang reuni para perantau Tionghoa dan diaspora Riau.