Segera ku tepis angan-angan palsu itu. Sudahlah. Tak ada gunanya lagi mengenang perihal waktu yang telah lewat. Hari itu aku hanya sedang berusaha mengumpulkan tekad demi tekad. Optimis demi optimisi untuk bisa mengubah masa depanku. Bekerja di pabrik gula sebagai buruh bukanlah pekerjaan hina. Aku sangat menyukainya. Dari sana pula aku akhirnya faham, betapa banyak para lelaki yang tidak becus mengurus keluarganya sendiri sehingga akhirnya para puanlah yang harus ikut bekerja. Membanting tulang sendiri.
Mungkin mama memang benar. Kehidupanku telah berubah setelah pernikahan sialan itu. Kini aku bukan lagi anak manja yang selalu merengek ingin dibelikan ini itu. Sudah bukan lagi anak kebanggaan papa yang seriap hari selalu siap diberikan transferan uang bulanan. Segalanya telah berubah. Persis yang mama katakan dulu ketika mendorongku melepaskan cinta Ifan dan memaksaku menerima pinangan keluarga Pram. Sekarang aku menjadi tulang punggung keluargaku sendiri.
Sementara Pram, lelaki brengsek yang berhasil meyakinkan papa mamaku, entah peduli apa lagi aku dengannya. Pernikahan ini tidak pernah berhasil. Aku adalah wanita idealis, tidak pernah suka dengan patriarki. Meski kerap dimanjakan orang tuaku, tetapi aku selalu mandiri. Sedangkan Pram tak pernah mengerti arti tanggung jawab sebagai lelaki. Selalu menolak untuk hidup mandiri. Katanya harta orang tuanya masih cukup menghidupi kami. Aku menolak keras hal itu.
Pandangan idealisku ternyata memicu amarahnya. Baginya aku perempuan bodoh yang berlagak sok mandiri. Kalau bukan karena bantuan orang tua Pram, keluargaku mungkin akan menjadi pengangguran. Setidaknya itulah kalimat yang selalu ia ucapkan untuk membantah segala argumenku.
Ucapannya tentu saja memantik emosiku. Namun, perlawananku hanya berbuah kekalahan. Kalah fisik dan kalah mental. Selama pernikahan ini tidak pernah ada damai. Wajahku berulang kali mendapatkan luka memar. Pernah ku adukan kepada mama dan papa, tetapi jawaban yang ku terima hanyalah seorang istri wajib bersabar. Papa pernah memarahi karena datang ke rumah tanpa izin Pram. Aku masih ingat jelas bentakannnya, "Dosa bagi istri meninggalkan rumah tanpa izin suaminya". Lalu apa tidak berdosa seorang suami yang menghajar istrinya sampai babak belur begini. Gumamku. Papaku yang dulu agamis berubah menjadi lelaki yang egois.
"Maaf, atas nama Ibu Naila ?" Seorang pria paruh baya menyapaku dengan sopan.
"Iya pak benar" Jawabku membenarkan.
Aku bergegas masuk mobil, transportasi online yang ku pesan beberapa menit yang lalu. Biasanya aku menggunakan sepeda motor untuk berangkat bekerja. Tetapi kali ini tidak. Sepeda motor itu aku letakkan begitu saja di rumah. Lagi pula itu memang bukan milikku. Itu milik Pram. Bukan. Lebih tepatnya pemberian ayah Pram. Hari ini aku sengaja memesan kendaraan online. Tujuanku sebenarnya bukan pergi bekerja ke pabrik gula.
Sekali lagi aku memandangi Mbak Yun dan bayi itu dari kejauhan. Aku hendak menangis. Tetapi langsung ku seka dengan tangan kananku. Jangan sampai driver ini sampai juga curiga aku sedang ada masalah. Tidak boleh ada obrolan selama perjalanan ini. Gumamku.
"Lokasi tujuan sudah sesuai titik ya buk ?" Tanya driver itu memastikan.
Sekali lagi aku memastikan kembali tekadku. Sebelum semuanya menumpuk dalam penyesalan masa lalu. Sebelum semuanya terlambat untuk ku raih. Sebelum rasa sakit ini berubah menjadi dendam kesumat yang tak akan berkesudahan. Sebaiknya segera ku putus saja mata rantai belenggu patriarki ini. Tekadku kini sudah membulat.