"Hem begitu. Aku mungkin akan kuliah lagi, pasca saraja. Tapi gak disini, di Surabaya".
"Lo memangnya kenapa? Udah gak betah tinggal di Semarang ? Atau sudah bosan ketemu terus sama aku?" Tanya Ifan sambil mencubit pipi mulus Naila.
"Ya gak lah. Ini permintaan dari orang tuaku. Mereka gak mau lagi jauh-jauh dariku. Kalau mau lanjut kuliah harus di Surabaya katanya begitu". Jelas Naila.
Setelah menemukan buku yang dicarinya, mereka hendak pergi menuju meja. Hari itu pengunjung perpustakaan Provinsi Jawa Tengah sedang ramai. Â Rata-rata adalah mahasiswa. Beberapa pengunjung umum. Nyaris semua meja sudah terisi. Terlihat beberapa mahasiswa membaca sambil berdiri di depan rak buku. Tidak kebagian tempat. Syukurlah beberapa mahasiswa bergegas berdiri hendak pergi. Barangkali ada urusan mendadak. Meja melingkar di dekat jendela. Dari tempat mereka duduk pemandangan sawah terlihat jelas. Menyegarkan. Naila kembali berkutat dengan buku tulisnya. Menulis setiap susunan kata yang ditemukannya dari buku yang dibawa dari rak tadi.
"Kalau begitu, aku akan cari kerja di Surabaya saja". Kata Ifan memecah konsentrasi Naila.
"Aku ingin hubungan kita berlanjut. Aku gak mau LDR-an".
Kali ini tatapan Ifan membuyarkan fokus Naila. Sepasang bola mata berwarna coklat menyemburkan letupan asmara. Tidak ada ada lagi yang bisa dikatakan. Kini kedua pasang mata itu saling menatap tajam. Bukan tatapan dendam, melainkan tatapan keyakinan satu sama lain dengan balutan komitmen untuk saling menguatkan. Ah, inikah cinta sejati itu. Kata Naila membatin.
###
"Permisi mbak."
Suara itu membangunkanku kembali. Perempuan bermasker dengan baju hitam mengkilat meminta izin untuk lewat. Dia adalah penumpang nomer tiket 9ABC. Seharusnya duduk bersebelahan denganku. Tata kramanya membuyarkan kenangan masa laluku. Tak apa. Apakah masih penting mengingat masa lalu itu. Sebetulnya aku juga tak ingin mengenangnya. Ku pandangi smartphoneku, pukul 15.05. Mungkin perjalananku masih sekitar satu jam lebih. Belum seberapa. Peluhku terus bercucuran. Dadaku beberapa kali berdetak kencang. Aku baik-baik saja, gumamku sendiri. Barangkali mimpi tadi sedikit membuatku terguncang. Bersamaan dengan itu keraguanku malah kembali muncul. Benarkah keputusanku ini?
Aku berangkat tanpa diketahui oleh seorang pun. Tanpa meminta izin lebih dahulu. Barang bawaanku pun tidak seberapa. Hanya beberapa pakaian, seperangkat sholat, laptop, beberapa buku, dan tas kecil yang selalu ku bawa untuk menaruh handphone dan dompet. Untuk seusiaku sekarang ini sepertinya sudah tidak relevan lagi disebut kabur. Aku sudah dewasa. Justru seharusnya aku bersyukur. Pada akhirnya aku berani mengambil keputusan terbaik. Keputusan untuk mengejar impianku kembali.