Pagi itu udara menebarkan aroma tanah yang menenangkan. Tadi malam memang hujan cukup lebat. Tetapi lihatlah berkahnya. Pepohonan semakin rindang, kepungan asap kendaraan kini hanyut dalam deburan air langit sejak petang itu. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya. Hari ini nyaman sekali.
Secangkir teh hangat sejak tadi menunggu seruputanku. Seolah tampak kesal ku abaikan sejak Mbak Yun menghidangkannya untukku. Ada juga jajan naga sari khas Surabaya. Sebuah kombinasi manis di pagi yang ku harapkan akan berbuah manis.
Mbak Yun masih sibuk menggendong bayi gembul berusia 16 bulan. Cantik rupawan dengan senyuman manisnya. Aku berulang kali ikut tersenyum melihat bayi itu tertawa cekikan. Melihat keakraban Mbak Yun dengan sang bayi seketika kepenatan batinku menghilang.
"Hari ini kamu kerja, Nai?" Tanya Mbak Yun sembari membetulkan kain gendongannya.
"Kerja dong, Mbak. Kalau bukan aku yang kerja, siapa lagi". Jawabku dengan nada tegas.
Sesaat ada jeda. Tak ada obrolan singkat lagi. Mbak Yun melemparkan pandangannya ke arah langit pagi yang masih temaram dengan gulungan awam. Sedangkan aku hanya memandangi tanah yang masih basah sebab hujan tadi malam. Ku pandangi sekali lagi bayi itu. Ternyata Memang cantik. Mbak Yun pasti bahagia memiliki bayi itu.
Setelah menghabiskan hidangan itu, aku memutuskan berdiri. Mbak Yun juga merespon dengan cepat. Dia faham sudah waktunya aku berangkat kerja. Ku raih tangan kanannya kemudian menciumnya dengan penuh ta'zhim. Ku sempatkan juga mencium si bayi gembul dan lucu itu. Lalu bergegas berangkat menuju pabrik gula di daerah Krembangan, Surabaya.
Satu-satunya jalan yang terpaksa ku lewati saat bekerja adalah jalan gang masjid Baitussalam ini. Jalan yang menghubungkan rumah Mbak Yun dengan jalan raya utama. Setiap melewati jalan itu para ibu selalu memandangiku bak seorang wanita aneh nan menyeramkan. Ada juga yang memandangiku dengan wajah keheranan. Aku pernah mendengar obrolan mereka saat jalan menuju rumah Mbak Yun. Seorang wanita yang katanya dulu akan menjadi seorang perawat, lulusan terbaik kampus Semarang, sekarang malah kerja jadi buruh pabrik gula.
Aku benci mengakuinya. Tetapi itu memang benar. Mimpi menjadi seorang perawat sudah lama ku kuburkan dalam-dalam. Segala penyesalan itu hanya sampah yang tak bisa menjadi lembaran duit. Aku pun butuh makan. Keluarga ku pun butuh asupan gizi. Pekerjaan apapun akan ku jalani selagi halal.
Memang benar kata mama dulu. Jika aku menikah dengan Pram kehidupanku akan berubah. Iya, benar-benar berubah. Kuliahku terputus padahal tinggal selangkah lagi skripsiku selesai. Memiliki ijazah sarjana hanya isapan jempol. Berulangkali ku minta izin untuk ke Semarang menyelesaikan skripsiku tak pernah mendapatkan izin dari Pram. Papa mamaku bahkan tak bisa berbuat banyak. Istri harus ikut kata suami, begitu nasihat yang terus ku terima dari kedua orang tua kandung yang rela menghancurkan mimpi anaknya.
Ah, andai saja aku berhasil lulus sarjana mungkin aku akan bekerja di klinik, apotik atau paling tidak di puskesmas. Tempat yang lebih layak bagi orang yang bermimpi menjadi seorang tenaga medis.